Permendag 8/2024 Tak Kunjung Direvisi, Industri Tekstil Kian Terpuruk


Jakarta, MI - Pemerintah kembali menunda revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Penundaan yang berlarut-larut ini memicu kekhawatiran dari pelaku industri, khususnya di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), yang kini berada di ambang krisis.
Dampak dari ketidakpastian kebijakan ini tak bisa dianggap sepele. Selain mengganggu kelangsungan usaha, sektor TPT juga terancam gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang bisa memicu efek domino terhadap daya beli masyarakat dan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Mohamad Dian Revindo, Ph.D, menjelaskan bahwa meskipun kontribusi TPT terhadap PDB manufaktur nasional sekitar 5,8%, sektor ini menyerap tenaga kerja hingga 18,35%.
Fakta tersebut menunjukkan jika sektor TPT menjadi penopang industri manufaktur dan benteng penyedia lapangan kerja.
“Peran ini sangat penting di tengah maraknya PHK dan banyaknya pengangguran. Jangan lupa bahwa total 3,9 juta pekerja di seluruh industri TPT adalah juga konsumen yang harus dijaga daya belinya untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Melindungi pekerjaan mereka juga sekaligus melindungi daya beli/konsumsi masyarakat,” tutur Revindo dalam keterangannya kepada media di Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Menurutnya, seharusnya seluruh pemangku kepentingan memiliki komitmen untuk menjaga daya saing industri TPT ini.
Isu daya saing ini, kata dia memang menjadi ranah pelaku usaha dalam bentuk menghadirkan produk yang efisien, kebaruan teknologi, desain, pemasaran, dan lain sebagainya. Namun ada yang menjadi ranah kebijakan publik, kata dia, khususnya yang terkait kebijakan industri dan perdagangan.
Sorotan terhadap Isu Impor Tekstil
Salah satu persoalan krusial yang perlu menjadi perhatian adalah pengelolaan impor TPT, yang semestinya diarahkan untuk menjamin praktik perdagangan yang adil dan transparan.
Menurut Revindo, Indonesia sebagai anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memang tidak bisa sepenuhnya menutup diri dari perdagangan bebas.
Namun, hal itu sah-sah saja selama pelaksanaannya dilakukan secara adil, tanpa praktik dumping, subsidi terselubung, misklasifikasi produk atau under invoicing.
“Untuk itu kita perlu memperkuat manajemen impor untuk menjamin industri dalam negeri terlindungi dari praktek impor yang ilegal, tidak fair atau tidak transparan. Strategi ini juga lebih murah dibandingkan dengan insentif dan subsidi bagi industri, apalagi di tengah defisit APBN yang dibatasi tidak boleh melampaui Rp 616,3 triliun,” jelasnya
Ia menambahkan, praktek impor yang tidak sehat sangat memukul perekonomian dari dua sisi. Pertama, kerugian keuangan negara karena hilangnya pemasukan tarif impor. Kedua, kerugian perekonomian karena memukul industri tekstil dan pakaian jadi dalam negeri.
Salah satu titik krusial dalam pengelolaan impor TPT adalah pendataan dan pemeriksaan arus barang masuk. Oleh karenanya, perlu dilakukan penguatan kembali fungsi pabean, dimana barang impor yang keluar dari pelabuhan seharusnya sudah melalui custom clearance sehingga dapat dipastikan kesesuaian klasifikasi tarif dan volume barang.
“Revisi Permendag 8/2024 sebaiknya mengarah ke aspek ini, sehingga kita dapat melindungi industri TPT dalam negeri dari praktek yang tidak fair tanpa menutup diri terhadap perdagangan internasional. Tanpa langkah serius ini, kita khawatir industri TPT akan semakin terpukul, semakin banyak PHK, dan konsumsi melambat, yang pada gilirannya memperlambat pertumbuhan ekonomi,” tandasnya.
Industri Tekstil dalam Kondisi Terpuruk
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana, menyebutkan bahwa kondisi industri TPT saat ini tengah berada dalam situasi yang memprihatinkan.
Ia menyebut industri ini sedang “sakit”, utamanya akibat dampak dari Permendag yang diterbitkan pada tahun lalu itu membuat produk impor, khususnya produk pakaian jadi, semakin masif di Indonesia.
"Dengan adanya penundaan (revisi Permendag 8/2024) ini maka semakin menguatkan adanya hidden agenda dalam meloloskan barang jadi ke dalam negeri. Ini sangat merugikan pelaku usaha industri TPT," tuturnya, dikutip dalam keterangan resmi, Kamis (26/6/2025)
Data API mencatat jika dalam dua tahun terakhir terdapatsekitar 60 perusahaan tekstil padat karya yang harus gulung tikar dengan jumlah karyawannya mencapai puluhan ribu.
Selain itu, industri TPT dikenal sebagai sektor padat karya yang mampu menyerap jutaan tenaga kerja, khususnya di daerah-daerah dengan tingkat pendidikan rendah hingga menengah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat bahwa mayoritas tenaga kerja di sektor ini berasal dari lulusan SD (23,22%), diikuti oleh lulusan SMA (21,38%) dan SMP (17,47%).
Dengan latar belakang tersebut, Danang, mendesak pemerintah untuk segera memberikan kejelasan terkait revisi Permendag 8/2024. "Dengan semakin lama menunda maka semakin berat buat industri yang pada akhirnya bisa berdampak terhadap peningkatan jumlah PHK," pungkasnya.
Topik:
permendag-82024 industri-tekstil