Dugaan Akuisisi Murah 51% Saham BCA, PEPS: Harus Dicari Tahu Aktornya


Jakarta, MI - Skandal BLBI-BCA kembali mencuat, menyisakan banyak pertanyaan. Salah satunya terkait dugaan manipulasi harga saat Djarum Group mengakuisisi 51 persen saham BCA, yang disebut-sebut dibeli jauh di bawah nilai sebenarnya.
Proses akuisisi tercatat senilai Rp5 triliun, padahal hasil penilaian appraisal pada saat itu menetapkan nilai aset BCA mencapai Rp10 triliun. Selisih yang signifikan ini menimbulkan sorotan tajam dari berbagai pihak.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menilai kemunculan isu lama ini tak lepas dari dinamika politik dan ekonomi nasional saat ini.
“Itu yang harus dicari tahu (aktornya), ini urusan lebih dari 20 tahun yang lalu. Ada yang memainkan isu ini, sekaligus pengalihan isu atas kondisi ekonomi yang sedang sekarat. Kalau harga kemurahan pasti yang untung pembeli,” ujar Anthony saat dihubungi di Jakarta, Selasa (26/8/2025).
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR, Abdullah, menekankan perlunya pemerintah menuntaskan megaskandal BLBI-BCA. Ia menyoroti dugaan manipulasi dalam akuisisi 51 persen saham BCA oleh Djarum Group yang disebut dibeli dengan harga terlalu murah.
Menurut Abdullah, untuk mengusutnya tidaklah rumit. "Karena sudah ada temuan Pansus BLBI yang dibentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD)-RI. Dalam hal ini, KPK jangan tumpul mengusut kasus ini. Mulai lakukan penyelidikan dan penyidikan dugaan korupsi BLBI-BCA," tegasnya di Jakarta, dikutip Senin (18/8/2025).
BCA Angkat Bicara
Sekretaris Perusahaan BCA, I Ketut Alam Wangsawijaya, membantah kabar yang menyebut pembelian 51 persen BCA hanya Rp5 triliun, disebut juga angka penjualan itu merugikan karena nilai pasar perusahaan Rp117 triliun.
“Angka Rp 117 triliun yang sering disebut dalam narasi merujuk pada total aset BCA, bukan nilai pasar perusahaan. Nilai pasar ditentukan oleh harga saham perusahaan di bursa efek, dikalikan dengan jumlah total saham yang beredar. Seiring BCA yang sudah melaksanakan Initial Public Offering (IPO) pada tahun 2000, maka harga saham BCA terbentuk berdasarkan mekanisme pasar,” jelasnya dalam keterangan ke Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (20/8/2025).
Ia menegaskan, nilai pasar sejatinya dihitung dari harga saham di bursa dikalikan dengan total saham beredar. Sejak resmi tercatat di bursa pada tahun 2000, harga saham BCA sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme pasar.
“Pada saat proses strategic private placement dilakukan, nilai pasar BCA berdasarkan harga saham rata-rata di Bursa Efek Indonesia adalah sekitar Rp10 triliun. Angka inilah yang menjadi acuan valuasi saat transaksi berlangsung, bukan sekitar Rp117 triliun. Dengan demikian, nilai akuisisi 51 persen saham oleh konsorsium FarIndo yang menang melalui tender, merupakan cerminan dari kondisi pasar saat itu,” tuturnya.
Ketut menyampaikan, tender dilakukan Pemerintah RI melalui BPPN dengan cara transparan dan akuntabel. Dia juga turut meluruskan soal tudingan adanya utang kepada negara sebesar Rp60 triliun.
“Terkait informasi BCA yang memiliki utang kepada negara Rp60 triliun yang diangsur Rp7 triliun setiap tahunnya adalah tidak benar. Di dalam neraca, BCA tercatat memiliki aset obligasi pemerintah senilai Rp60 triliun, dan seluruhnya telah selesai pada tahun 2009 sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku,” imbuhnya.
Dorongan agar pemerintah mengambil alih paksa saham BBCA disampaikan oleh Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN), Sasmito Hadinegoro. Gagasan ini kemudian mendapat dukungan dari Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi Teknologi DPP PKB Ahmad Iman Syukri.
Isu tersebut berkaitan dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat krisis 1998, yang berujung pada pelepasan 51 persen saham oleh pemerintah yang saat itu dipimpin Megawati Soekarnoputri.
Tak hanya itu, anggota Komisi III DPR, Abdullah, juga mendesak pemerintah menuntaskan skandal BLBI-BCA, termasuk mengungkap dugaan permainan dalam akuisisi 51 persen saham BCA oleh Djarum Group.
Topik:
bca blbi saham-bca djarum-group