Korban Tewas Berjatuhan, Peru Berlakukan Keadaan Darurat Selama Sebulan

John Oktaveri
John Oktaveri
Diperbarui 15 Desember 2022 05:34 WIB
Jakarta, MI - Pemerintah baru Peru mengumumkan keadaan darurat nasional kemarin untuk masa 30 hari guna memadamkan demonstrasi kekerasan yang telah mengguncang negara tersebut dan memakan korban tewas menyusul penggulingan dan penangkapan Presiden Pedro Castillo seminggu yang lalu. Pengumuman keadaan darurat itu berisi penangguhan hak untuk berkumpul dan bergerak bebas di seluruh negeri. Larangan itu diberlakukan tepat sebelum liburan Natal ketika orang biasanya bepergian secara ekstensif untuk mengunjungi keluarga. “Dengan tindakan ini, kami berusaha untuk menjamin ketertiban, kelangsungan kegiatan ekonomi, dan perlindungan jutaan keluarga,” cuit Menteri Pertahanan Peru, Luis Otárola seperti dikutip TheGuardian.com, Kamis (15/12). Keputusan itu diambil dalam rapat kabinet. Dia menambahkan pemerintah belum memutuskan apakah jam malam akan diberlakukan. “Polisi nasional dengan dukungan angkatan bersenjata akan memastikan kontrol di seluruh wilayah nasional atas properti pribadi dan infrastruktur strategis serta keselamatan dan kesejahteraan semua warga Peru,” katanya. Tindakan itu dilakukan setelah sepekan kerusuhan mematikan untuk memprotes presiden baru Peru, Dina Boluarte. Pengunjuk rasa menyerukan penggantian semua anggota parlemen dan pemulihan Castillo yang dipaksa mundur setelah dia berusaha membubarkan Kongres. Dia kemudian memerintah dengan dekrit khusus sebagai upaya untuk menghindari pemakzulan atas tuduhan korupsi. “Pertama-tama, kami tidak mengenali Dina Boluarte,” kata Ronal Carrera, 32, seorang pekerja konstruksi. Dengan meneganakn topi khas tradisonal Peru. Dia telah melakukan perjalanan dari Junín, di Andes tengah Peru untuk berdemonstrasi di ibu kota, Lima. “Dia adalah pemimpin kudeta. Hingga hari ini presiden kami adalah Pedro Castillo dan sekarang kami menuntut pemulihannya," ujarnya. Sedikitnya tujuh orang, lima di antaranya remaja, tewas dalam bentrokan dengan polisi pada minggu pertama. Semuanya meninggal akibat luka tembak di tengah tuduhan represi polisi oleh Amnesty International dan kelompok hak asasi manusia nasional. “Peru tidak bisa dibanjiri darah,” kata Boluarte pada hari Rabu. Dia mengatakan Peru telah mengalami pengalaman itu di tahun 80-an dan 90-an dan dia tidak ingin kembali ke sejarah yang menyakitkan itu. Dia merujuk pada konflik internal berdarah negara itu dengan gerilyawan Shining Path di mana hampir 70.000 orang Peru terbunuh. Boluarte kemudian menambahkan bahwa pemilihan umum bisa dijadwalkan pada Desember 2023.