PT SSN Monopoli Proyek di Muba dengan Lewat Pintu Belakang

mbahdot
mbahdot
Diperbarui 3 November 2021 12:58 WIB
Monitorindonesia.com - PT Selaras Simpati Nusantara (SSN) diduga memonopoli proyek di Pemkab Musi Banyuasin (Muba) lewat jalur pintu belakang. Untuk menelusuri dugaan monopoli proyek PT SSN itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa tujuh orang saksi para Selasa, 2 November 2021. Kasus yang libatkan PT SSN ini membuat Mereka semua dipanggil untuk mendalami proses pemberian suap pengadaan barang dan jasa. "Seluruh saksi hadir dan dikonfirmasi antara lain terkait dengan beberapa proyek pekerjaan yang (dimonopoli) dilakukan oleh tersangka SUH (Direktur PT Selaras Simpati Nusantara (SSN) (Suhandy) di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Musi Banyuasin," ujar pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Rabu (3/11/2021). Sebanyak tujuh orang yang diperiksa penyidik kemarin merupakan pegawai negeri sipil (PNS) Musi Banyuasin. Mereka yakni Danang Eko Suwandi, Wedyanto, Sandey, Hendra, Hazabirin, Hardiansyah, dan Suhendro. Ali enggan memerinci lebih lanjut proyek-proyek PT SSN yang diselidiki penyidik. Namun, kuat dugaan proyek itu dimenangkan PT SSN dengan bantuan khusus. "Diduga adanya pengaturan dalam memenangkan perusahaan tersangka SUH untuk mengerjakan proyek dimaksud," ujar Ali. KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus ini. Mereka, yakni Dodi, Kadis PUPR Musi Banyuasin Herman Mayori, pejabat pembuat komitmen (PPK) Dinas PUPR Musi Banyuasin Eddi Umari, dan Direktur PT Selaras Simpati Nusantara Suhandy. Dodi, Herman, dan Eddi dijerat Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Sementara itu, Suhandy dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. [03/11, 09:26] Chandra Medcom: KPK Ulik Penerimaan Gratifikasi di Pemkab Sidoarjo Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa pihak swasta Johan Tedja Surya pada Selasa, 2 November 2021. Dia diminta menjelaskan tentang dugaan penerimaan gratifikasi di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo. "Yang bersangkutan hadir dan dikonfirmasi antara lain terkait dengan dugaan penerimaan gratifikasi oleh pihak yang terkait dengan perkara ini," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Rabu, 3 November 2021. Ali enggan memerinci lebih jauh pertanyaan penyidik ke Johan. Alasannya untuk menjaga kerahasiaan proses penyidikan. Dugaan penerimaan gratifika ini merupakan pengembangan dari kasus korupsi yang menjerat mantan Bupati Sidoarjo Saiful Ilah. Saiful sendiri sudah divonis tiga tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya. Saiful dinyatakan terbukti bersalah dan meyakinkan menerima suap terkait sejumlah proyek infrastruktur pada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Sidoarjo. "Memutuskan bahwa terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana menerima suap dengan ancaman hukuman tiga tahun penjara dan denda senilai Rp200 juta, subsidair enam bulan kurungan, serta uang pengganti Rp250 juta," kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Tjokorda Gede Artana saat di Pengadilan Tipikor Surabaya, Senin, 5 Oktober 2020. Terdakwa Saiful Ilah dijerat dengan pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Nomor 20 Tahun 2001, juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun hal yang memberatkan, terdakwa dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam hal pemberantasan korupsi. "Terdakwa tidak berterus terang atau berbelit-belit dalam menyampaikan keterangan di persidangan dan tidak kooperatif," jelasnya

Topik:

-