Mantan Jaksa Pertanyakan Urgensi Revisi UU Kejaksaan

mbahdot
mbahdot
Diperbarui 23 November 2021 19:27 WIB
Monitorindonesia.com - Revisi UU Kejaksaan yang sedang bergulir di DPR mengundang pertanyaan banyak pihak, tak terkecuali mantan jaksa. Eks Kajati Kaltim Ahmad Djainuri turut mempertanyakan urgensi DPR bersama pemerintah merevisi UU Kejaksaan. Djainuri mengaku tidak memahami arah politik hukum yang hendak dicapai melalui RUU Kejaksaan. Sejauh ini dia menilai UU No 16 tahun 2004 masih memadai dan dapat dibuktikan dari capaian kinerja Korps Adhyaksa. “Revisi sebaiknya dilakukan dengan membandingkan kinerja atau capaian Kejaksaan selama ini, kalau ditemukan kekurangan dan mendesak untuk diperbaiki, banyak pihak mungkin bisa  melihat substansi persoalan yang mengharuskan UU Kejaksaan direvisi,” kata mantan jaksa Djainuri, Selasa (23/11/2021).  Mantan Direktur Uheksi Jampidsus ini mengusulkan pemerintah bersama DPR fokus pada pengesahan KUHAP terlebih dulu. Pengesahan KUHAP lebih esensial untuk memastikan hukum acara atau payung hukum bagi Korps Adhyaksa menjalankan tupoksinya. Djainuri juga menyinggung tidak tepat pemerintah menyetujui pembahasan RUU Kejaksaan yang menjadi inisiatif DPR untuk memastikan implementasi restorative justice (keadilan restoratif). Alasannya, penerapan keadilan restorative cukup dilakukan melalui Peraturan Jaksa Agung yang sekarang ini sudah diterapkan pada sejumlah perkara. Posisi Jaksa Agung Sekalipun UU Kejaksaan harus direvisi, mantan jaksa ini  mengusulkan pembahasan fokus untuk memperkuat posisi Jaksa Agung. Dia mendukung revisi dilakukan untuk mempertegas Jaksa Agung harus dijabat dari kalangan karier yang memahami psikologi jaksa dan anatomi Kejaksaan sebagai institusi. Djainuri juga menolak usulan yang meminta Jaksa Agung tidak ditunjuk Presiden melainkan dipilih oleh tim independen melalui mekanisme seleksi. Aturan tersebut justru membuat posisi Jaksa Agung sebagai pejabat negara menjadi lemah. Menurutnya, Jaksa Agung merupakan pejabat negara yang berlaku dalam sistem Presidensial. Artinya pengangkatan Jaksa Agung menjadi hak prerogatif Presiden sebagaimana yang telah berlaku di Indonesia. “Kalau revisi untuk mempertegas Jaksa Agung haruslah kalangan karier yang memiliki integritas teruji, saya bisa memahami,” ujar dia. Selain itu, Djainuri juga mengusulkan lebih baik pemerintah bersama DPR memastikan jaksa dapat menjalankan tugasnya dengan proporsional mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku, ketimbang merevisi UU Kejaksaan. Misalnya pada bidang koordinasi antara penuntut umum dengan penyidik. “Jangan sampai jaksa diminta membuktikan perkara bodong,” tukas mantan jaksa itu. Pembahasan RUU Kejaksaan sudah masuk pada tingkat rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan berbagai pihak di Komisi III DPR. Ketua Panja RUU Kejaksaan, Adies Kadir menilai, RUU Kejaksaan difokuskan untuk memperkuat institusi Kejaksaan menjadi independen.