Kejagung Bangun Program Rumah Restorative Justice di Beberapa Kejati

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 5 April 2022 17:06 WIB
Jakarta, MI - Jaksa Agung ST Burhanuddin membangun program rumah restorative justice atau keadilan restoratif di beberapa Kejaksaan Negeri sejak Rabu (16/3) lalu. Program itu dinilai sebagai solusi permasalahan hukum di Tanah Air. Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan (Kajati Kalsel) Mukri mengatakan, rumah restorative justice memudahkan koordinasi dalam penyelesaian perkara di luar peradilan. "Dari 13 daerah, saya minta tiap kabupaten dan kota minimal ada tiga rumah restorative justice untuk segera dibangun," kata Mukri, dikutip dari Antara, Selasa (5/4). Dia menyatakan, keberadaan rumah restorative justice sangatlah strategis dalam rangka untuk mendamaikan suatu perkara yang sifatnya ringan dalam artian tidak perlu dibawa ke pengadilan. Sehingga, sepanjang masih bisa diselesaikan di luar pengadilan, maka jaksa setempat mendorong agar keadilan restoratif diterapkan. Dia menegaskan, pada prinsipnya keadilan sejati adalah bisa diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara. Sementara proses hukum belum tentu bisa mendapatkan suatu keadilan. Maka dari itu, hanya dengan jalan perdamaian tanpa proses hukum, keadilan sejati bisa diwujudkan setelah semua pihak bersepakat tanpa ada yang merasa dirugikan. Keadilan restorativ merupakan suatu pendekatan dalam memecahkan masalah yang melibatkan korban, pelaku, serta elemen-elemen masyarakat demi terciptanya suatu keadilan. Keadilan restorativ bisa diterapkan jaksa dengan menghentikan penuntutan jika perkara dinilai lebih layak diselesaikan di luar jalur peradilan, dengan berpedoman pada Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorativ. Ada tiga syarat prinsip keadilan restoratif bisa ditempuh yaitu pelaku baru pertama kali melakukan pidana, ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun serta nilai kerugian perkara tidak lebih dari Rp2.500.000. Namun ada pengecualian jika kerugian melebihi Rp2.500.000, tapi ancaman tidak lebih dari 2 tahun, ancaman pidana lebih dari 5 tahun asal kerugian tidak melebihi Rp2.500.000 serta kepentingan korban terpenuhi dan ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun. Adapun beberapa perkara yang tidak bisa dihentikan penuntutannya dalam penerapan keadilan restoratif, yaitu pertama tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat presiden dan wakil presiden, mengganggu ketertiban umum dan kesusilaan. Kemudian tindak pidana yang diancam dengan pidana minimal dan tindak pidana peredaran narkotika, lingkungan hidup dan korporasi. Sementara itu, Guru Besar Ahli Antropologi dan Sosiologi Hukum di Universitas Brawijaya, Prof. Nyoman Nurjaya mengatakan, pembentukan rumah restorative justice sebagai satu gagasan penggabungan atau elaborasi hukum yang hidup (living law) dengan hukum yang diberlakukan (positive law). “Dimana pemecahan segala permasalahan hukum di masyarakat dapat dengan kearifan lokal (local genius) sebagai filterisasi perkara yang masuk ke pengadilan,” kata Nyoman dalam keterangannya, Senin (4/4). Menurut dia, pandangan ini sesuai dengan cita-cita hukum Nasional yang berlandaskan hukum Pancasila yakni semangat musyawarah dan gotong royong dalam mewujudkan persatuan dan keadilan. Dia menjelaskan, di beberapa negara maju, hukum seperti ini sudah lama dilaksanakan dalam rangka melibatkan korban dalam menyelesaikan masalah yang pada kenyataan yang terjadi, korban sering hanya sebatas saksi di persidangan tanpa mendapatkan hak-hak ganti rugi, rehabilitasi dan kompensasi dengan jalan damai. "Sehingga saya memandang Rumah restorative justice ke depan harus ada regulasi yang memadai dan ada pendanaan secara berkala. Sehingga eksistensinya dapat terjaga, karena dalam implementasinya pasti melibatkan berbagai pihak membutuhkan operasional yang memadai baik sarana dan prasarana keterlibatan Pemerintah Daerah sangat diperlukan," jelas Nyoman. Selanjutnya, kata dia, perlu dipikirkan ke depan pembentukan Rumah Restorative Justice ini tidak cukup dengan satu Kejaksaan Negeri memiliki satu Rumah Restorative Justice. Tetapi secara bertahap, mulai dari setiap kecamatan memiliki satu Rumah Restorative Justice. "Selanjutnya satu desa memiliki satu Rumah Restorative Justice," usul Nyoman. Sehingga sesuai dengan semangat Rumah Restorative Justice mendekatkan nilai-nilai keadilan, musyawarah, persatuan di dalam masyarakat dan kemanfaatan hukum serta kepastian hukum untuk keharmonisan dan kedamaian dapat diwujudkan. Dia menambahkan, rumah Restorative Justice sebagai ladang baru bagi akademisi untuk sarana penelitian dan edukasi tentang bagaimana keberadaan Rumah Restorative Justice dapat mengubah perilaku masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. "Namun yang paling terpenting dari semua itu adalah aparatur Kejaksaan menjaga konsistensi, integritas dan profesionalisme dalam pelaksanaan operasional Rumah Restorative Justice," tutupnya. (La Aswan)

Topik:

Kejagung