KPK Panggil Sri Mulyani, BPK Pasang Badan?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 23 Juni 2022 16:28 WIB
Jakarta, MI - Belakang ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami kasus dugaan korupsi pengurusan Dana Insentif Daerah (DID) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan, Bali. Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun telah memanggil seorang saksi dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Pemeriksaan saksi tersebut dilakukan hari, Selasa (17/5) lalu. Yakni Sri Mulyani menjadi saksi dalam kasus dugaan korupsi pengurusan Dana Insentif Daerah (DID) Kabupaten Tabanan, Bali itu. Namun Lembaga antirasuah itu mengeklaim bahwa ternyata salah memanggil saksi, sehingga akan mencari keterangan dari pihak lain. KPK menyatakan surat panggilan atas nama Sri Mulyani bukan berprofesi ASN di IPDN. Menanggapi hal itu, Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3I) Tomu  Pasaribu, mengatakan bahwa seharusnya KPK harus jelas memangil saksi dalam sebuah kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor). Dan sebenarnya, kata Tomu, Bupati Tabanan juga sudah diperiksa dan dalam persidangan, ia menyebut ada keterlibatan anggota BPK. Namun yang dicari KPK sebagai saksi itu adalah Sri Mulyani yang dulunya memang pegawai Institusi Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Bandung. Bukan Sri Mulyani Menteri Keuangan, lanjut Tomu, tapi Sri Mulyani yang beberapa tahun lalu dipindahtugaskan ke BPK yang kemungkinan bisa menjadi saksi kunci dalam kasus tersebut. "Tidak menutup kemungkinan saya katakan dia termasuk saksi kunci atas keterlibatan terhadap seseorang yang sedang di sidik oleh KPK sebagai lembaga independen yang sangat kuat, kok bisa salah mengirimkan surat," kata Tomu dalam Podcast Monitor Indonesia, dikutip pada Kamis (23/6). Yang menjadi pertanyaan sekarang, kata Tomu, adalah apakah KPK serius menangani kasus ini? "Pernyataan KPK itu sendiri akan mencari saksi lain artinya kalau disisi hukum ini kan kalau di Indonesia permainan kata-kata bijak akhirnya ini itu terjebak ternyata nanti yang diperiksa itu bukan Sri Mulyani itu lagi karena sudah ada saksi lain lebih cenderung mengantisipasi di sini," jelasnya. Tomu melanjutkan, bahwa Sri Mulyani yang dibahas KPK sebenarnya dulu di IPDN dipindahkan oleh seseorang di BPK. Untuk itu, bagi Tomu, KPK akan lebih gampang mencari seseorang di BPK, karena BPK itu tidak banyak anggotanya didalam. " Teman saya aktivis dulu, mengatakan setiap ada tugas Sri Mulyani ini ikut, setiap tugas diluar negeri, yang ikut dengan anggota BPK lainnya, makanya saya bilang ini kasus lama dan tidak mungkin tidak diketahui oleh KPK," katanya. Kenapa KPK, kata Tomu, begitu lama menangani kasus yang sangat jelas runtutan dan garis benang merahnya. " KPK selalu mengatakan kurang orang, sementara OTT kadang dilancarkan begitu cepat, sementara yang ini kenapa lama," katanya. Atas hal ini, Tomu menilai KPK sudah terjebak dalam politik praktis yang terlalu berani mengatakan akan mencari saksi lain yang sampai saat ini belum juga terungkap. "Artinya kalau dikatakan kalimat mencari saksi lain, karena salah sasaran surat yang mereka kirimkan untuk memakai Sri Mulyani mereka mencari saksi lain, nggak bisa dong harus Sri Mulyani, makanya saya bilang Sri Mulyani sekarang ada di BPK itu," jelasnya. "KPK ini sebenarnya tidak sulit namun dibikin seolah-olah sulit cuman dibikin seolah-olah sulit, apa sih yang tidak bisa di zaman canggih ini dia menangkap orang aja waktu cepat dengan OTT bisa, masa nggak bisa mengambil hasil rapat Badan anggota BPK nggak bisa, ada notulennya kok," sambungnya. Sebenarnya, kata Tomu, masalah ini hanya pintu kecil, yang artinya bahwa anggota BPK posisinya hanya sembilan. Namun, jika pola penanganan kasus terus seperti itu pasti akan menjamur. Apalagi kata dia, salah melayangkan surat pemanggilan. Dan sangat mustahil KPK itu tidak mengetahui di mana Sri Mulyani. "Makanya kalau bagi saya ini suatu permainan skenario hukum yang seolah-olah mau teruskan dan pada intinya mau dihentikan," pungkasnya. Dalam perkara ini, Bupati Tabanan periode 2010-2015 dan 2016-2021, Ni Putu Eka Wiryastuti (NPEW), resmi ditahan KPK pada Kamis (24/3). Ni Putu Eka diduga merogoh kocek Rp 600 juta dan 55.300 dolar AS agar pengajuan DID sebesar Rp 65 miliar dikabulkan. Selain Ni Putu Eka, KPK juga menetapkan dua orang lainnya sebagai tersangka. Yaitu I Dewa Nyoman Wiratmaja (IDNW) selaku dosen dan Rifa Surya (RS) selaku Kepala Seksi Dana Alokasi Khusus Fisik II, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tahun 2017. Ni Putu Eka dalam melaksanakan tugasnya mengangkat I Dewa Nyoman sebagai Staf Khusus Bidang Ekonomi dan Pembangunan. Sekitar Agustus 2017, ada inisiatif Ni Putu Eka untuk mengajukan permohonan DID dari pemerintah pusat senilai Rp 65 miliar. Untuk merealisasikan keinginannya tersebut, Ni Putu Eka memerintahkan I Dewa Nyoman menyiapkan seluruh kelengkapan administrasi permohonan pengajuan DID dan menemui serta berkomunikasi dengan beberapa pihak yang dapat memuluskan usulan tersebut. Adapun pihak yang ditemui I Dewa Nyoman, yaitu Yaya Purnomo selaku mantan Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman, Direktorat Evaluasi Pengelolaan dan Informasi Keuangan Daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Rifa Surya yang diduga memiliki kewenangan dan dapat mengawal usulan DID untuk Kabupaten Tabanan Balik tahun 2018. Yaya Purnomo dan Rifa Surya diduga mengajukan syarat khusus untuk mengawal usulan DID pada I Dewa Nyoman dengan meminta sejumlah uang sebagai fee dengan sebutan "Dana Adat Istiadat" dan permintaan tersebut lalu diteruskan I Dewa Nyoman kepada Ni Putu Eka dan mendapat persetujuan. Nilai fee yang ditentukan oleh Yaya Purnomo dan Rifa Surya diduga sebesar 2,5 persen dari alokasi dana DID yang nantinya akan didapat oleh Kabupaten Tabanan di tahun anggaran 2018. Selanjutnya sekitar Agustus-Desember 2017, diduga dilakukan penyerahan uang secara bertahap oleh I Dewa Nyoman kepada Yaya Purnomo dan Rifa Surya di salah satu hotel di Jakarta. Pemberian uang oleh tersangka Ni Putu Eka melalui tersangka I Dewa Nyoman diduga sejumlah sekitar Rp 600 juta dan 55.300 dolar AS. [Ode]

Topik:

KPK BPK