Natalius Pigai Nilai Pasal Penghinaan Pejabat Negara Karena Pemerintah Amatir Memahami Esensi Bernegara

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 4 Juli 2022 17:56 WIB
Jakarta, MI - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi perbincangan dikalangan masyarakat dikarenakan eksistensi mengenai pasal penghinaan yang terjadi pada Presiden dan Wakil Presiden. Pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden itu dimuat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Pasal 218 dan Pasal 219 a. Dalam pasal tersebut akan dipidana maksimal 3 tahun 6 bulan setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah. Lebih lanjut jika tindakan tersebut dilakukan melalui sarana teknologi informasi, maka ancaman hukumannya menjadi 4 tahun 6 bulan. Menanggapi hal itu, mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai menilai pasal penghinaan pejabat Negara karena pemerintah presiden Jokowi amatir memahami esensi bernegara. Kata dia, Presiden tidak punya hak dalam pasal penghinaan dalam RKUHP itu sebab presiden itu sudah dilindungi dari segalanya mulai dari sisi hukum,sisi otoritas kewenangan, pengamanan (Paspampres) hingga partai politiknya. "Seorang penguasa itu, dia sudah kawin dengan negara, akta nikahnya itu berupa SK, maharnya itu gaji, statusnya itu adalah pejabat negara, kalau dia sudah kawin dengan kekuasaan maka seluruh kekayaan, kewenangan otoritas melekat kepada yang bersangkutan, maka hak asasi manusia itu kenapa rakyat yang disebut pemegang HAM supaya supaya mereka mengelola mengatur hak hukum HAM itu untuk mengatur supaya mereka bisa deliver semua kebijakan menyangkut perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia kepada warganya," jelas Natalius Pigai dalam unggahan videonya melalui akun twitternya seperti disaksikan Monitorindonesia.com, Senin (4/7). Dalam suasana seperti begini, lanjut Natalius Pigai, menghina seorang Presiden itu, Presiden tidak punya hak Karena dia sudah kawin dengan negara dan negara telah melindungi Presiden itu dengan segalanya. "Dari sisi hukum dari sisi otoritas kewenangan Paspampres sampai oleh partai-partai politik dia sudah terlindung secara otomatis, karena itu kenapa harus dia diberikan privilese khusus yang milik rakyat, dia bisa mengandukan kepada rakyat, tidak bisa, itu namanya Epius power menggunakan kewenangan dan otoritasnya untuk mengancam rakyat," jelasnya. Hukum HAM hadir, kata Natalius, waktu Turki menyerang Armenia, karena takut Turki dengan ottomannya bisa menghancurkan rakyat Armenia, maka dihadirkannya Hukum HAM untuk mengerem turki dengan kekuasaan otoritasnya. "Itu prinsip hukumnya begitu, karena itulah, maka menurut saya RKUHP ada pasal-pasal krusial," ucapnya. Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej sebelumnya menyatakan, bahwa pemerintah tidak akan menghapus pasal penghinaan presiden dalam draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), kendati pasal tersebut menuai kritik. "Tidak akan kami hapus. Tidak akan," ujar pria yang akrab disapa Eddy Hiariej itu di Kompleks Parlemen, Senayan pada Selasa, (28/6). Eddy menampik bahwa pasal tersebut dibuat untuk membatasi kritik. Ia menuduh orang-orang yang beranggapan demikian sesat berpikir. "Itu orang yang sesat berpikir, dia tidak bisa membedakan antara kritik dan penghinaan. Kan yang dilarang itu penghinaan, bukan kritik. Jadi yang menyamakan penghinaan dengan kritik itu sesat pikir," ujar Eddy.
Berita Terkait