Ternyata Ini Peran AKBP Doddy Prawiranegara di Kasus Irjen Teddy Minahasa

Rekha Anstarida
Rekha Anstarida
Diperbarui 17 Oktober 2022 10:44 WIB
Jakarta, MI - AKBP Doddy Prawiranegara merupakan mantan Kapolres Bukit Tinggi, yang terlibat dalam kasus narkoba yang menjerat Irjen Teddy Minahasa. Adapun dalam kasus ini, Doddy berperan mengganti barang bukti dengan tawas. Dari hasil pemeriksaan dalam perkara itu, Teddy berperan sebagai pengendali. Diketahui, Polres Bukittinggi hendak memusnahkan 40 kilogram sabu, namun Teddy memerintahkan untuk menukar sabu sebanyak 5 kilogram dengan tawas. “Dari keterangan saudara D (Doddy Prawiranegara), itu betul adalah perintah dari Bapak TM,” kata Dirnarkoba Polda Metro Jaya Kombes Mukti Juharsa. Teddy juga diduga memerintahkan Doddy menjual sabu kepada salah seorang bandar yang telah ia kenal sebelumnya, yakni Linda seberat 2 kg. Penjualan hanya dilakukan 2 kg lantaran kondisi keuangan Linda terbatas. Sebanyak 2 kg barang itu dibeli Linda dari Dody senilai Rp300 juta atau SGD 241.000. Setelah barang berpindah tangan kepada Linda, barang haram tersebut diduga dijual kembali ke Kapolsek Kalibaru Kompol Kasranto. Setelah itu diberikan lagi kepada dua orang anggota polisi berinisial J dan A. Sementara itu, tiga kilogram sabu yang belum terjual berada di kediaman Doddy dengan berat total kurang dari 2 kg. Diketahui, Irjen Teddy Minahasa telah ditetapkan sebagai tersangka kasus peredaran gelap narkoba berdasarkan hasil gelar perkara. Dalam kasus ini, total ada 11 tersangka, lima tersangka adalah anggota aktif Polri, yakni Irjen Pol Teddy Minahasa, AKBP Doddy Prawiranegara yang merupakan mantan Kapolres Bukittinggi, Kapolsek Kalibaru Kompol KS , personel Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) Polres Metro Jakarta Barat Aiptu J, dan personel Polsek Kalibaru Aipda A. Sedangkan enam tersangka lainnya merupakan warga sipil yang masing-masing berinisial HE, AR, L, A, AW, dan DG. Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 114 Ayat 3 sub Pasal 112 Ayat 2 Jo Pasal 132 Ayat 1 Jo Pasal 55 UU Nomor 35 Tahun 2009 dengan ancaman maksimal hukuman mati atau minimal 20 tahun.