Pemecatan Bripda IMS Tak Secepat Sang Jenderal

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 4 Agustus 2023 22:06 WIB
Jakarta, MI - Pemecatan terhadap Brigadir Polisi Dua (Bripda) IMS atas kasus polisi tembak polisi yang menewaskan Bripda IDF, tidak secepat jenderal Polisi yang juga melakukan tindak pidana. Pasalnya masih ada jenderal polisi yang hingga saat ini belum juga menjalani sidang kode etik oleh tim Komisi Kode Etik Polri (KKEP). Berdasarkan catatan Monitorindonesia.com, bahwa terdapat jenderal polisi yang terlibat dugaan tindak pidana itu yakni Irjen Napoleon Bonaparte, Brigjen Prasetijo Utomo. Padahal, status dua pati itu sudah berkekuatan hukum tetap alias inkracht. Kemudian mantan Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo, mantan Kepala Biro Paminal Divisi Propam Polri, Brigjen Hendra Kurniawan dan sejumlah anggota Polri lainnya. Namun Polri tidak membutuhakn watku lama untuk memecat Ferdy Sambo dan kawan-kawan itu.  Selain itu, juga ada mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa yang sudah dipecat dari Polri. Bahkan dia lolos dari vonis mati atas kasus narkotika. Napoleon adalah terpidana kasus penganiayaan yang dilakukannya terhadap M Kece. Ia telah divonis dan dinilai terbukti melanggar undang-undang Pasal 351 ayat 1 KUHP Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). [caption id="attachment_436164" align="alignnone" width="689"] Irjen Pol Napoleon Bonaparte. (Foto: Istimewa)[/caption] Napoleon juga sebagai terpidana dalam kasus penghapusan red notice Djoko Tjandra. Polisi menduga adanya tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh Napoleon dalam kasus tersebut. Napoleon kemudian divonis terkait kepengurusan red notice di Interpol atas nama Djoko Tjandra. Napoleon terbukti menerima uang sebesar 370.000 dollar Amerika Serikat serta 200.000 dollar Singapura dari terpidana Djoko Tjandra. Uang suap itu diberikan melalui seorang perantara bernama Tommy Sumardi guna membantu kelancaran proses penghapusan nama Djoko Tjandra dari dalam daftar pencarian orang (DPO) yang telah tercatat di Direktorat Jenderal Imigrasi. Kemudian, Napoleon dinilai telah melanggar Pasal 5 Ayat 2 jo Pasal 5 Ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Akibat dari perbuatannya itu, ia lalu divonis 4 tahun penjara ditambah harus membayar denda sebesar Rp 100 juta subsider 6 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Selanjutnya Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan Napoleon. Hingga saat ini, Napoleon belum juga menjalani sidang etik oleh KKEP. Padahal, status hukumnya sudah berkekuatan hukum tetap alias inkracht. Selain Napoleon juga ada mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo yang hingga saat ini belum juga dipecat. [caption id="attachment_558292" align="alignnone" width="696"] Brigjen Prasetijo Utomo (Foto: Istimewa)[/caption] Saat itu mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo menyatakan, saat ini pihaknya tengah mempersiapkan perangkat sidang untuk memproses etik Brigjen Prasetijo Utomo yang telah divonis 3,5 tahun penjara karena terbukti menerima suap dari Djoko Tjandra. "Sedang mempersiapkan perangkat sidang," kata Sambo kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (5/5/2021) lalu. Perangkat sidang terdiri dari ketua komisi sidang dan anggota. Jika sudah rampung, nantinya bakal diajukan kepada Kapolri. Ia pun menekankan jajarannya hati-hati dalam menggelar sidang etik. "Kita harus periksa ulang," kata Sambo. [caption id="attachment_351374" align="alignnone" width="707"] Mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo (Foto: Istimewa)[/caption] Kendati demikian, ia memastikan bahwa setiap personel yang melakukan tindak pidana akan diproses melalui sidang etik. Dalam persidangan, Brigjen Prasetijo Utomo menyatakan menerima vonis atau dengan kata lain tidak mengajukan banding. Ia mengakui telah menerima uang pelicin dari Djoko Tjandra untuk menghapus red notice. Nunggu Putusan Inkracth Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri Kombes Gatot Repli Handoko mengatakan bahwa sidang kode etik terkait nasib Napoleon di Korps Bhayangkara akan dilakukan setelah perkara pidana yang menjeratnya inkrah atau berkekuatan hukum tetap. "Yang jelas kan dari Propam itu kan melakukan sidang kode etik. Tentunya, setelah dapat inkrah dari putusan pengadilan yang nanti akan dikenakan kepada pak Napoleon," kata Gatot kepada wartawan, Senin (23/5) lalu. Menurutnya, proses peradilan hukum pidana saat ini sedang berjalan sehingga pihaknya masih harus menunggu. Jika sudah rampung, maka akan ada pelanggaran kode etik yang menyertai pemberian sanksi kepada Napoleon. Putusan terkait dengan sanksi kode etik itu akan dilakukan melalui mekanisme sidang kode etik. Namun, Gatot tak menjelaskan lebih lanjut mengenai alasan pihaknya tak bisa melakukan sidang etik bersamaan dengan sidang pidana. "Nanti setelah ada putusan, itu nanti kode etik akan menyertai, sidang kode etiknya," tandasnya. Kompolnas Minta Sidang Etik Napoleon dan Prasetyo Segera Digelar Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indrati meminta Polri agar segera menggelar sidang kode etik Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utama. Hal itu untuk menghindari opini masyarakat yang menilai Polri diskriminatif. Menurut Poengky, Polri harus segera melaksanakan sidang etik terhadap dua Jenderal Polisi tersebut, agar kepercayaan publik yang sudah bagus ke Polri tetap terjaga. “Kami tunggu dan berharap sidang etik Napoleon dan Prasetijo Utomo akan segera dilaksanakan, mengingat jika tidak segera diselenggarakan sidang etik, maka akan dianggap sebagai diskriminasi perlakukan bagi yang lain,” ujar Poengky kepada Monitorindonesia.com, Jum’at (2/6/2023) lalu. Poenky menyebut, pihaknya mendorong Polri untuk mengelar sidang etik lantaran status hukum kedua Jenderal itu sudah inkracth atau berkekuatan hukum tetap. Pasalnya, kata dia, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) telah menggelar sidang kode etik kepada Irjen Teddy Minahasa yang terlibat kasus peredaran narkoba. [caption id="attachment_545551" align="alignnone" width="708"] Teddy Minahasa, Terdakwa kasus narkoba (Foto: MI/Aswan)[/caption] “Negara masih dibebani dengan membayar gaji mereka, padahal tindak pidana yang mereka lakukan telah terbukti mencoreng nama baik institusi,” pungkasnya. Tak Secepat Bripda IMS Polri bergerak cepat memberikan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) bagi tersangka kasus tewasnya Bripda Ignatius Dwi Frisco Sirage. Sanksi diberikan setelah Komisi Kode Etik Polri (KKEP) menggelar sidang etik selama 3,5 jam pada Kamis (3/8/2023). "Sanksi administratif berupa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) sebagai anggota Polri," kata Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan, Jumat (4/8). Bripda IMS, kata dia, dinyatakan terbukti menggunakan senjata api tanpa dokumen yang sah milik Bripka IGD. Akibat kelalaian Bripda IMS saat memegang senjata, Bripda Ignatius tewas terkena tembakan. "Bripda IM telah menggunakan senjata api tanpa dilengkapi dokumen yang sah diperoleh dari Bripka IGD sehingga mengakibatkan tertembaknya Bripda IDF," jelasnya. Bripda IMS dinilai melanggar Pasal 13 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri juncto Pasal 5 ayat 1 huruf b, Pasal 8 huruf c angka 1, Pasal 10 ayat 1 huruf a angka 5, Pasal 10 ayat 1 huruf f, Pasal 10 ayat 1 huruf a angka 5 juncto Pasal 10 ayat 6 huruf a dan huruf b Perpol Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri. Insiden tewasnya Bripda Ignatius terjadi di Rumah Susun (Rusun) Polri, Cikeas, Bogor, Jawa Barat pada Minggu (23/7/2023). Adapun Ramadhan mengatakan insiden itu terjadi akibat adanya kelalaian yang diduga dilakukan keduanya. "Pada hari Minggu dini hari tanggal 23 Juli 2023 pukul 01.40 WIB bertempat di Rusun Polri Cikeas, Gunung Putri, Bogor, telah terjadi peristiwa tindak pidana karena kelalaian mengakibatkan matinya orang yaitu atas nama Bripda IDF," katanya, Selasa (26/7/2023). [caption id="attachment_556543" align="alignnone" width="717"] Bripda IDF (Foto: Istimewa)[/caption] Ia mengklaim pihaknya sudah menangkap dua anggota Polri lainnya yakni Bripda IMS dan Bripka IG yang diduga pelaku dalam kasus ini. "Terhadap tersangka yaitu Bripda IMS dan Bripka IG telah diamankan untuk dilakukan penyelidikan dan penyidikan terkait peristiwa tersebut," jelasnya. "Yang pasti Polri tidak akan memberikan toleransi kepada oknum yang melanggar ketentuan atau perundangan yang berlaku," imbuhnya. Diketahui jika korban dan dua tersangka bertugas di satuan yang sama yakni Densus 88 Antiteror Polri. (Wan) #Bripda IMS