BPKN Sebut Penny Lukito Masih Bungkam Soal Kasus Keracunan Obat Sirup

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 30 November 2022 15:41 WIB
Jakarta, MI - Tim Pencari Fakta Badan Perlindungan Konsumen Nasional RI mengungkapkan hasil temuannya semntara yang menunjukkan bahwa hak-hak korban gagal ginjal akut progresif atipikal dan keluarganya belum terpenuhi. Ketua TPF BPKN, Muhammad Mufti Mubarok, mengatakan bahwa kesimpulan itu didapat setelah tim mewawancarai lebih dari 30 keluarga korban gagal ginjal akut. Tidak hanya mewawancarai puluhan korban yang dirugikan, TPF BPKN juga telah meminta keterangan dari sejumlah pihak terkait seperti Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan pedagang obat. Namun, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny Kusumastuti Lukito belum memberi keterangan langsung dan mewakilkan pada salah satu direktur BPOM. “Kami berharap Ibu Penny bisa memberi keterangan secara langsung agar TPF mendapat gambaran komprehensif soal kasus keracunan obat sirup,” ujar Mufti, Rabu (30/11). Ketua BPKN, Rizal E. Halim, mengatakan lembaganya memutuskan memperpanjang masa tugas Tim Pencari Fakta hingga 9 Desember mendatang. BPKN mempertimbangkan masih ada berbagai temuan yang perlu diverifikasi. “Kami akan menyampaikan hasil temuan secepatnya kepada publik,” ujar Rizal. Diketahui, kasus gagal ginjal akut pada anak-anak ini diduga akibat dari obat sirup mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG). Sejauh ini, Bareskrim Polri telah memeriksa pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai saksi dalam kasus tersebut. Namun Kepala BPOM Penny Lukito yang melempar tanggung jawab soal peredaran dan pengawasan obat sirup itu belum diperiksa juga. "Saksi kemarin 3 ya, nanti kita akan dalami lagi untuk kesaksiannya," kata Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Brigjen Pol Pipit Rismanto kepada wartawan, Selasa (29/11). Selain itu, Bareskrim Polri menetapkan dua korporasi sebagai tersangka kasus gagal ginjal akut. Kedua korporasi tersebut yakni PT Afi Farma (AF) dan CV Samudra Chemical (SC). Kedua korporasi tersebut diduga melakukan tindak pidana memproduksi obat atau mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu. PT AF disangkakan Pasal 196 Jo Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) Jo Pasal 201 ayat (1) dan/atau ayat (2) Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Pasal 62 ayat (1) Jo Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 2 miliar. Sementara untuk CV. SC disangkakan Pasal 196 Jo Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dan/atau Pasal 60 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Perubahan Atas Pasal 197 Jo Pasal 106 Jo Pasal 201 ayat (1) dan/atau ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Pasal 62 Jo Pasal 8 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Jo pasal 55 dan/atau pasal 56 KUHP dengan ancaman 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 2 miliar. Adapun Polri masih tengah melakukan pendalaman terhadap kemungkinan adanya dugaan supplier lain PG yang memenuhi standar mutu untuk pembuatan obat ke PT A dan melakukan pemeriksaan saksi dan ahli, serta melakukan analisa dokumen yang ditemukan. (Ode) #Penny Lukito