Baru Saja Disahkan, Dubes AS Sudah Khawatir dengan Pasal-pasal Moralitas di KUHP Baru!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 6 Desember 2022 21:39 WIB
Jakarta, MI - Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) disahkan menjadi Undang-undang. Pengesahan itu dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan pengambilan keputusan atas RUU KUHP, pada hari ini, Selasa (6/12). Meski sudah disahkan, KUHP itu sendiri terus mendapat kritikan dari berbagai pihak. Tak hanya orang Indonesia asli, WNA pun ikut mengkritik pasal-pasal yang dianggap kontroversial. Salah satunya adalah pasal di KUHP Indonesia yang melarang kumpul kebo. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Sung Yong Kim, menilai aturan yang terjadi di ranah rumah tangga antara orang dewasa bisa saja berdampak negatif pada iklim investasi di Indonesia. "Kami tetap khawatir bahwa pasal-pasal moralitas yang mencoba mengatur apa yang terjadi dalam rumah antara orang dewasa yang suka sama suka dapat berdampak negatif terhadap iklim investasi di Indonesia," kata Kim dalam forum US-Indonesia Investment Summit, Selasa (6/12). Bagi Kim, langkah mengkriminalisasi keputusan pribadi individu semacam itu bakal sangat menentukan bagi pihak yang akan berinvestasi di RI. Larangan kumpul kebo itu, menurut Kim, berpeluang mengurangi investasi asing, pemasukan dari sektor pariwisata, serta kunjungan lainnya di Indonesia. Dengan begitu, Kim mengaskan kepada pemerintah Indonesia semestinya melanjutkan dialog dan memastikan penghormatan terhadap seluruh pihak, termasuk orang-orang LGBTQI+. "Penting untuk melanjutkan dialog dan memastikan saling menghormati satu sama lain, termasuk orang-orang LGBTQI+. Negara-negara seperti Indonesia dan AS dapat saling belajar tentang cara memastikan masyarakat inklusif untuk semua," katanya menegaskan. Diketahui, Kim pernah melontarkan pernyataan tersebut di hari ketika DPR meresmikan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang dalam rapat paripurna, Selasa (5/12) lalu. Akan tetapi, beleid itu pun kini sah menggantikan KUHP sebelumnya yang merupakan warisan kolonialisme Belanda di Indonesia. Padahal, sejak awal penggodokan, undang-undang itu sudah mengundang banyak kritik lantaran memuat sejumlah aturan yang dinilai kontroversial. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, sebelumnya mengatakan bahwa pengesahan ini merupakan momen bersejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia. Setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP produk Belanda, saat ini Indonesia telah memiliki KUHP sendiri. “Kita patut berbangga karena berhasil memiliki KUHP sendiri, bukan buatan negara lain. Jika dihitung dari mulai berlakunya KUHP Belanda di Indonesia tahun 1918, sudah 104 tahun sampai saat ini. Indonesia sendiri telah merumuskan pembaruan hukum pidana sejak 1963,” jelas Yasonna usai rapat paripurna DPR RI. Menurut Yasonna, produk Belanda ini dirasakan sudah tidak relevan lagi dengan kondisi dan kebutuhan hukum pidana di Indonesia. Hal ini menjadi salah satu urgensi pengesahan RUU KUHP. “Produk Belanda tidak relevan lagi dengan Indonesia. Sementara RUU KUHP sudah sangat reformatif, progresif, juga responsif dengan situasi di Indonesia,” katanya. Yasonna menjelaskan KUHP yang baru saja disahkan telah melalui pembahasan secara transparan, teliti, dan partisipatif. Pemerintah dan DPR telah mengakomodasi berbagai masukan dan gagasan dari publik. “RUU KUHP sudah disosialisasikan ke seluruh pemangku kepentingan, seluruh penjuru Indonesia. Pemerintah dan DPR mengucapkan terima kasih kepada masyarakat atas partisipasinya dalam momen bersejarah ini,” pungkasnya.

Topik:

KUHP Dubes AS