LPSK Meminta Kehadiran Negara dalam Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Berat 

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 11 Desember 2022 13:31 WIB
Jakarta, MI - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) meminta kehadiran negara dalam pemulihan korban Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berat. LPSK ingin penguatan tersebut dapat terlaksana melalui pembentukan lembaga semisal Komisi Reparasi. Demikian disampaikan Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo memperingati Hari HAM sedunia yang jatuh pada 10 Desember. Antonius menjelaskan, LPSK merupakan lembaga yang ditunjuk Negara untuk memberikan pemulihan kepada korban PHB sesuai amanat PP No 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. "Selama 2012-2021, LPSK telah melakukan pemulihan korban PHB melalui 4567 layanan berupa program perlindungan bantuan medis, dan bantuan rehabilitasi psikologis dan psikososial," ujar Antonius, Minggu (11/12). Antonius menjelaskan, pemulihan korban PHB yang diberikan oleh LPSK, berasal dari berbagai peristiwa seperti peristiwa G 30 S 1965/66, Penghilangan Paksa 97/98, Tanjung Priok 1984, Talangsari, Jambu Keupok, Simpang KKA dan Rumah Geudong. Ia juga menuturkan, LPSK paling banyak memberikan bantuan medis keoada para korban PHB di atas. "Hingga 2021, bantuan medis merupakan bentuk pemulihan terbanyak diakses korban. Hal ini berkorelasi dengan kebutuhan kesehatan dan usia korban yang sudah rentan, khususnya korban Peristiwa 65/66," terang Antonius. Antonius mengungkapkan, langkah pemulihan yang dilakukan negara terhadap korban, belumlah sebanding dengan penderitaan yang telah mereka alami. Menurutnya, korban PHB membutuhkan tuntutan keadilan di dalam arti keadilan yang sepenuh-penuhnya. "Keadilan penuh yang dimaksud adalah keadilan dalam bentuk pengakuan atas kesalahan Negara, keadilan dalam arti penyesalan dan permintaan maaf dari Negara, keadilan dalam arti penuntutan dan penghukuman para pelakunya, dan keadilan dalam arti Negara mengembalikan kehidupan para korban yang telah rusak," jelas Antonius. "Indonesia sudah waktunya membentuk semacam Komisi Reparasi yang bertugas melakukan reparasi korban dengan melibatkan Kementerian/Lembaga terkait dan dengan tetap memperhatikan mandat Undang-undang," pungkas Antonius.