Ada Apa dengan Polri 'Keseringan' Tak Profesional Tangani Perkara?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 29 Januari 2023 21:00 WIB
Jakarta, MI - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali dikritik habis-habisan sejumlah kalangan masyarakat, praktisi hukum hingga elit politik. Pasalnya, institusi kepolisian sudah 'keseringan' tidak profesional dalam menangani perkara yang berdampak pada reputasinya sendiri. Baru-baru ini, terjadi peristiwa kecelakaan maut yang terjadi di Jakarta dan Cianjur tidak dapat diterima logika publik karena penuh dengan akrobatik kejanggalan yang diduga melibatkan oknum kepolisian. Anehnya, kecelakaan di wilayah hukum Polda Metro Jaya yang melibatkan mantan anggota Polri dan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) M Hasya Attalah Syaputra yang meninggal dunia justru ditetapkan sebagai tersangka. Sementara mantan anggota Polri itu adalah AKBP Eko Setia Budi Wahono yang malah disebut-sebut dapat pembelaan dari pihak Kepolisian itu sendiri, tidak dijadikan sebagai tersangka. Alasan polisi, kecelakaan yang terjadi di Jalan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan disebabkan oleh kelalaian mahasiswa tersebut, maka status tersangka dilekatkan kepada dirinya. Meski demikian, masyarakat saat ini sudah semakin cerdas menilai kinerja kepolisian. Pengamat Kepolisian dari ISESS, Bambang Rukminto menilai kejanggalan proses penanganan perkara ini justru menjadi tantangan bagi institusi Polri. Sebab, tegas dia, publik telah menaruh curiga bahwa proses penyelidikan tidak dilakukan secara profesional. “Itu ujian bagi profesionalisme Polri. Makanya, transparansi dan akuntabilitas itu sebuah keniscayaan dan tantangan bagi Polri,” kata Bambang kepada wartawan, Minggu (29/1). [caption id="attachment_518875" align="alignnone" width="678"] Bambang Rukminto[/caption] Menurut Bambang, tanpa ada itu semua, polisi (malah) akan semakin menjadi bulan-bulanan publik, yang akan semakin menggerus kepercayaan. Status Tersangka Hasya Harus Dicabut Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Habiburokhman meminta pihak kepolisian agar mencabut status tersangka Hasya agar nama baiknya dan keluarganya dapat terehabilitasi. [caption id="attachment_491425" align="alignnone" width="1600"] Habiburokhman Politikus Partai Gerindra (Doc MI)[/caption] Menurut dia, penetapan seseorang sebagai tersangka merupakan rangkaian proses pidana yang arahnya adalah persidangan. Sedangkan penetapan tersangka terhadap Hasya tidak perlu. "Karena kasus disetop ya menurut saya penetapan tersangka terhadap Hasya tidak diperlukan," tegas politikus Partai Gerindra itu. Polisi Keliru Abdul Fickar, Pakar Hukum dari Universitas Trisakti blak-blakan menyebut polisi keliru menetapkan Muhammad Hasya Atallah Syaputra mahasiswa UI sebagai tersangka. Pasalnya, tegas Fickar, orang yang sudah meninggal tidak bisa lagi ditetapkan tersangka. Kepolisian itu keliru yang hidup itu karena kelalaiannya menyebabkan kematian orang lain. Yang sudah meninggal itu tidak bisa ditetapkan sebagai tersangka karena sudah bukan subjek hukum lagi. Jadi polisi keliru itu," kata Fickar, Minggu (29/1). Seharusnya AKBP Eko Setia Budi Wahono Jadi Tersangka Fickar menegaskan, polri seharusnya menetapkan purnawirawan Polri berpangkat AKBP sebagai tersangka dalam kecelakaan tersebut. Hal itu sesuai dengan pasal 359 KUHP. [caption id="attachment_379317" align="alignnone" width="800"] Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar. (Foto: MI/Wawan)[/caption] "Jika di jalan umum ada lebih dari satu orang berhadapan tabrakan maka yang hidup itu bisa dikenakan pasal 359 KUHP selain UU lalu lintas," lanjut Fickar. "Karena kelalaiannya menyebabkan kematian orang lain. Tidak ada istilah "karena kelalaiannya menyebabkan kematian diri sendiri" itu tafsir keliru pasal 359 KUHP," sambungnya. Fickar menjelaskan pengadilan yang mempunyai wewenang dan memutuskan atau membebaskan purnawirawan Polri tersebut. Sebaliknya, Polri sebagai penyidik tidak berhak memutuskan hal tersebut. "Kepolisian itu tugasnya memproses peristiwa pidananya ditingkat penyidikan dan mengajukannya ke pengadilan langsung sebagai perkara sumir atau tipiring atau melalui Jaksa penumtut umum kejaksaan yang akan mengajukan ke pengadilan, karena itu yang mempunyai kewenangan seorang bersalah atau tidak bersalah itu pengadilan bukan kepolisian," ungkap Fickar. Keluarga yang tidak puas, kata Fickar, bisa menuntut polisi baik secara administratif ke Kompolnas ataupun ke Kapolri. Termasuk, tuntutan balik secara hukum melalui praperadilan. "Dengan tuntutan praperadilan, orang tua korban bisa meminta perkara dibuka lagi menyatakan penetapan tersangka terhadap korban tidak sah dan menetapkan sang penabrak yang hidup sebagai tersangka," pungkasnya. Selain itu, terjadi juga peristiwa kecelakaan yang menewaskan seorang mahasiswi di Cianjur, Jawa Barat. Dalam peristiwa tersebut, polisi menetapkan seorang sopir yang diduga milik seorang polisi. Polda Jawa Barat menyatakan, pengemudi tabrak lari tersebut ditetapkan sebagai tersangka setelah dilakukan gelar perkara hasil dari penyelidikan. Janggal Awalnya, beredar dugaan jika mobil Innova milik petinggi polisi yang menabraknya. Namun, hal ini dibantah Kapolres Cianjur AKBP Doni Hermawan yang berbalik menuding pengemudi mobil Audi A8 berwarna hitam sebagai penabrak korban. [caption id="attachment_518790" align="alignnone" width="666"] Tangkapan Layar CCTV mobil hitam Audi penabrak Mahasiswa Unsur, Cianjur (Foto: MI/Repro)[/caption] Doni juga menyebut bahwa mobil tersebut memaksa masuk iring-iringan polisi. Kejanggalan ini tak kunjung menemukan titik terang karena pengemudi mobil Audi itu muncul ke publik dan mengklarifikasi segala isu tentangnya. Melansir akun Instagram @majeliskopi08, sosok pengemudi itu bernama Sugeng yang mengaku bekerja sebagai sopir untuk mobil tersebut. Ia mengungkap jika saat itu, majikannya juga ada di dalam mobil. Lalu, alasan mengapa mobilnya bisa masuk ke dalam iring-iringan polisi karena memperoleh izin dari bos. Hal ini juga ditegaskan oleh pihak perwakilan korban. Ia mengatakan bahwa bos yang dimaksud adalah suami dari wanita dalam mobil. Adapun suaminya itu disebut sebagai salah satu petugas negara. "Nah kejadiannya Audi itu bisa masuk (iring-iringan) karena memang ada izin," kata perwakilan korban. "Ini kan suaminya yang punya mobil itu kan juga petugas yang lagi... petugas negara. Jadi dia masuk mungkin supaya bisa cepatlah gitu, atau barengan lah," sambungnya. Mobil Audi A8 Hitam itu juga disebut perwakilan korban, berjarak sekitar dua mobil dari sepeda motor Selvi yang mulai oleng. Sugeng kemudian menepi demi menghindari kecelakaan. Setelahnya, terlihat dua mobil hitam lain yang melaju kencang. "Yang nabraknya bukan mobil itu (Audi A8) tapi penabraknya mobil yang lain. Warna (mobil terduga penabrak Selvi) hitam, (jenis) mobilnya nggak tahu," ungkap perwakilan korban. Meski begitu, dipastikan bahwa mobil yang menabrak Selvi berasal dari rombongan iring-iringan polisi. Di sisi lain, Sugeng mengaku warga sempat mengejar mobil yang dibawanya karena dikira menabrak korban. Ia kemudian menjelaskan mobil itu tidak memiliki bekas benturan dan warga yang mengejar pun meminta maaf karena salah paham. Sugeng sendiri juga tak bisa memastikan apakah mobil yang diduga menabrak korban itu merupakan bagian dari iring-iringan pejabat polisi atau bukan. Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat Kombes Ibrahim Tompo di Bandung, Jumat, mengatakan polisi hingga kini terus mendalami kasus tabrak lari tersebut. Ia menambahkan jika proses penyelidikannya akan transparan. [caption id="attachment_503661" align="alignnone" width="674"] Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Ibrahim Tompo (Foto: Doc MI)[/caption] "Kecelakaan yang terjadi di Cianjur pada Jumat pekan lalu ini betul-betul jadi atensi kita untuk kita ungkap, tidak ada hal-hal proses penyidikan atau penyelidikan yang akan kita tutup-tutupi ke publik," kata Ibrahim.