Transaksi Siluman di Kemenkeu, Marwah Kepemimpinan Jokowi Rontok?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 19 Maret 2023 18:03 WIB
Jakarta, MI - Kritikus Faizal Assegaf menilai transaksi "siluman" senilai Rp300 triliuan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagaimana diungkapkan Menko Polhukam Mahfud MD dari data PPATK mempertaruhkan marwah kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. “Kalau mau tanya baik buruknya presiden Jokowi, tanya aja Mahfud MD, dengan mengungkap 300 triliuan itu sudah rontok marwah kepemimpinan Presiden Jokowi,” kata Faizal Assegaf dalam videonya seperti dikutip Monitor Indonesia, Minggu (19/3). Menurutnya, oknum-oknum yang terlibat dalam kasus transaski siluman di Kemenkeu itu adalah manusia-manusia tidak punya rasa malu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ia menegaskan, orang-orang itu harus dihadapi dengan cara-cara yang luar biasa, sebab, kejatahan yang mereka lakukan adalah kejahatan yang luar biasa. Oleh karena itu, ia mengajaka kepada seluruh mahasiswa dan masyarakat pada umumnya untuk turun ke jalan menuntut pertanggung jawaban Menkeu Sri Mulyani. “Saya tidak mau berteori, saya menghimbau kepada mahasiswa, seluruh orang-orang beriman, orang baik, bersatu turun ke jalan, tangkap Sri Mulyani, borgol beliau ke kantor polisi terdekat,” tegas Faizal Assefaf. Bahkan, dia mengaku akan bertanggung jawab dengan pernyataan yang disampaikannya. Karena, awal mula mencuatnya dugaan transaski sebesar Rp300 triliun di Kemenkeu itu adalah dari Menkopolhukam Mahfud MD. Menurutnya, apa yang disampaikan oleh Mahfud MD bukan retorika dan tidak bisa dianggap biasa-biasa saja. Masyarakat, kata dia harus mendukung dan merespon dengan serius. Bila perlu, masyarakat harus menyeret Sri Mulyani ke penjara untuk dimintai pertanggungjawabannya. “Ini angka yang diucapkan oleh Menkopolhukam Mahfud MD. Bukan orang biasa. (Mahfud MD) orang yang tau isi perutnya kekuasaan dalam sistem, kekuasaan yang saat ini berkuasa,” katanya. Faizal Assegaf menegaskan pernyataan Mahfud MD soal Rp300 triliun harus direspon dengan serius jangan dianggap retorika. Negara kata Faizal Assegaf harus didukung oleh seluruh rakyat untuk menangkap Sri Mulyani dan menjebloskannya ke penjara. "Kenapa membiarkan penumpukan uang yang begitu banyak setelah diungkap oleh Menkopolhukam, baru dia sekarang membantah, ngeles, meminta lagi data mana, hasil auditnya mana," pungkasnya. Publik dikejutkan dengan kabar adanya rekening senilai Rp 300 triliun, milik pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) usai kasus Rafael Alun Trisambodo mencuat. Kabar tersebut dilontarkan oleh Mahfud MD saat menghadiri acara Universitas Gadjah Mada (UGM ), Yogyakarta, Rabu (8/3) lalu. Ketua Tim Penggerak Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ini mengatakan, kabar adanya rekening gemuk itu diperoleh berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan pihaknya. Menurut Mahfud MD, pegerakan uang mencurigakan dalam rekening itu, mayoritas berasal dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dan Bea Cukai. "Saya sudah dapat laporan yang pagi tadi. Terbaru malah ada pergerakan mencurigakan sebesar Rp 300 triliun di lingkungan Kemenkeu yang sebagian besar ada di Ditjen Pajak dan Bea Cukai," kata Mahfud MD. Mahfud MD mengklaim, dirinya mengantongi data-data terkait transaksi keuangan yang mencurigakan itu. Namun, dia enggan membeberkan kepada publik. "Kenapa saya bicara kepada saudara, karena kita kan tidak bisa sembunyi-sembunyi di era sekarang," tegasnya. Namun kini ada perbedaan pendapat Mahfud MD dengan PPATK. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa dirinya tidak mengetahui secara pasti, adanya rekening milik pegawainya senilai Rp 300 triliun. Bendahara negara itu baru mengetahui, ketika Menko Polhukam Mahfud MD menyambangi Kementerian Keuangan pada Sabtu (11/3/2023) lalu. Ani menyampaikan, adanya perbedaan data yang disampaikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kepada Kementerian Keuangan dan Menko Polhukam. "Terkait data PPATK Rp 300 Triliun transaksi mencurigakan sampai siang ini saya belum pernah menerima data dari PPATK. Informasi yang disampaikan PPATK ke Menkeu/Kemenkeu tidak sama dengan yang disampaikan kepada Pak Mahfud dan yang disampaikan ke APH," kata Sri Mulyani. Perbedaan data tersebut menurutnya, harus diluruskan oleh Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana kepada publik dan Kementerian Keuangan. "Pak Ivan Yustiavandana Kepala PPATK perlu menjelaskan data tsb ke masyarakat agar tidak simpang siur," lanjutnya. Menurut Sri Mulyani, Kemenkeu menerima data transaksi mencurigakan milik Rafael Alun hanya senilai Rp 50 sampai Rp 125 juta yang dihimpun dari 4 rekening di tahun 2016 sampai 2019. Sedangkan data yang disampaikan PPATK terkait transaksi mencurigakan Rafael Alun senilai Rp 300 miliar. "Sementara Informasi PPATK tentang RAT yang dikirim ke pak Mahfud dan APH sejak 2013 menyangkut transaksi belasan miliar rupiah jauh lebih besar. Data ini tidak disampaikan kepada Menkeu/Irjen Kemenkeu," tegasnya. Bahkan, Sri Mulyani meluruskan informasi PPATK ke Itjen Kemenkeu dari tahun 2007 sampai 2023 total berjumlah 266 menyangkut 964 pegawai. Adapun 185 informasi tersebut, kata Ani, adalah atas permintaan Itjen Kemenkeu dan hanya 81 inisiatif dari PPATK "Dari informasi tersebut, 352 pegawai menerima hukuman disiplin (126 kasus). 86 kasus dilakukan pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket). 16 kasus dilimpahkan ditindaklanjuti APH. 31 kasus tidak dapat ditindaklanjuti karena pegawai pensiun, tidak ada informasi atau menyangkut pegawai non Kemenkeu," terangnya. PPATK sebelumnuya menyatakan nilai transaksi mencurigakan Rp 300 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terjadi bukan karena adanya korupsi yang dilakukan oleh pegawai Kemenkeu. Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana mengatakan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Kemenkeu merupakan salah satu penyidik tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang. “Dengan demikian, setiap kasus yang terkait dengan kepabeanan, maupun kasus yang terkait perpajakan, kami sampaikan kepada Kementerian Keuangan. Kasus-kasus itu yang secara konsekuensi logis memiliki nilai yang luar biasa besar, yang kita sebut kemarin Rp 300 triliun,” ucap Ivan di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (14/3). Ivan mengatakan angka Rp 300 triliun merupakan potensi tindak pidana awal pencucian uang yang harus ditangani oleh Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal. “Saya pikir clear, ini bukan tentang penyimpangan atau tindak pidana korupsi yang dilakukan pegawai Kemenkeu,” tegasnya. Ivan menambahkan, pihaknya terus melakukan koordinasi mengenai upaya untuk terus melakukan koordinasi sehingga bisa menangani dengan baik kasus yang ditangani bersama antara PPATK dan Kemenkeu. “Ini bisa kita tangani secara baik, tidak hanya dengan Kementerian Keuangan, tapi juga dengan aparat penegak hukum lain,” tutur Ivan. Menurut dia, PPATK sudah menemukan potensi awal tindak pidana pencucian uang namun nilainya tidak mencapai Rp 300 triliun. Bahkan hal tersebut sudah ditangani oleh Kemenkeu secara baik. “Memang ada satu-satuan kasus yang dikoordinasikan, kami peroleh langsung dari Kementerian Keuangan, terkait dengan pegawai. Kami menemukan sendiri terkait dengan pegawai, tapi itu nilainya tidak sebesar itu, nilainya sangat minim,” kata Ivan. Sementara itu, Inspektur Jenderal Kemenkeu, Awan Nurmawan Nuh mengatakan pada prinsipnya angka Rp 300 triliun bukan berasal dari korupsi atau TPPU pegawai di Kementerian Keuangan. Dia menekankan pihaknya berkomitmen untuk melakukan pembersihan bersama-sama dengan PPATK. “Mengenai informasi-informasi pegawai (yang terindikasi tindak pidana), kami tindak lanjuti secara baik. Intinya, ada kerja sama antara Kementerian Keuangan dan PPATK begitu cair,” katanya. #Transaksi Siluman di Kemenkeu#Rp 300 T