Polisi Periksa Sejumlah Saksi Terkait Kasus Penistaan Agama Panji Gumilang

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 6 Juli 2023 10:56 WIB
Jakarta, MI - Bareskrim Polri terus mendalami kasus penistaan agama yang diduga dilakukan pemilik Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Zaytun Panji Gumilang. Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro mengatakan, penyidik memeriksa sejumlah saksi, guna menelisik perkara yang sudah naik ke tahap penyidikan. "Penyidik melakukan pemeriksaan beberapa saksi hari ini," kata Djuhandhani Rahardjo kepada wartawan, Kamis (6/7). Namun, Djuhandhani tak menyebut secara pasti jumlah saksi yang diperiksa. Identitas para saksi pun masih disembunyikan. "Saksi kita lindungi identitasnya untuk kasus ini," ungkap Djuhandhani. Dijelaskan Djuhandhani, pihaknya telah melakukan tindak lanjut usai kasus naik ke tahap penyidikan. Selain memeriksa saksi, penyidik juga telah memberitahu pihak Kejaksaan. "Kemarin naik penyidikan dan SPDP (surat perintah dimulai Penyidikan) kami kirim ke Kejaksaan," jelasnya. Dalam kasus ini, Panji dipersangkakan Pasal 156 A Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penistaan Agama. Polisi menggelar perkara tambahan pada Rabu siang, 5 Juli 2023 dan ditemukan unsur pidana ujaran kebencian mengandung suku, agama, ras dan antara golongan (SARA) serta berita bohong yang diduga juga dilakukan Panji. "Ditemukan oleh penyidik pidana lain dengan persangkaan tambahan yaitu Pasal 45a ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang ITE dan/atau Pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana," pungkasnya. Pasal 45A ayat (2) UU ITE berbunyi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar. Sedangkan, Pasal 14 Nomor 1/1946 mengatur terkait berita bohong. Beleid itu menyebutkan barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 10 tahun.