Periksa Harta Kekayaan Semua Pejabat BPK! PPATK: Kami Selalu Koordinasi!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 21 November 2023 16:18 WIB
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Ivan Yustiavandana (Foto: MI/An)
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Ivan Yustiavandana (Foto: MI/An)

Jakarta, MI - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) selalu diminta berkoordinasi dengan penyidik aparat penegak hukum. Baik Kejaksaan Agung (Kejagung) maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam hal ini memeriksa harta kekayaan para pejabat negara.

Mengingat kedua lembaga ini telah menyeret pejabat Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) yakni Achsanul Qosasi (AQ) tekait dugaan korupsi BTS 4G Bakti Kominfo. Dan Anggota VI BPK Pius Lustrilanang di kasus dugaan suap pengondisian temuan terhadap laporan keungan Pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.  

"(Dorongan periksa harta kekayaan pejabat BPK) Kami kan selalu diminta koordinasi oleh penyidik dalam hal proses penegakkan hukum yang dilakukan," ujar kepala PPATK, Ivan Yustiavandana saat dihubungi Monitorindonesia.com, Selasa (21/11).

Terkait dengan kasus dugaan korupsi BTS 4G Bakti Kominfo meyeret Achsanul Qosasi, Kejaksaan Agung telah mengggandeng PPATK. PPATK mengatakan telah melakukan proses penelusuran aliran dana hasil korupsi proyek base transceiver station (BTS) BAKTI Kominfo. 

Dalam hal ini, lanjut Ivan, PPATK bekerja sama dengan Kejagung untuk menyelidiki kemana aliran dana dugaan korupsi yang merugikan negara Rp8 triliun tersebut.

"Iya sudah. Kami penuhi semua kebutuhan penyidik terkait follow the money. Kerja sama Kejaksaan Agung dan PPATK sudah sangat intens," jelasnya.

Ivan menambahkan, bahwa selama pengusutan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan BTS 4G oleh Kejagung ini, PPATK terus berkoordinasi dengan penyidik. Tidak menutup kemungkinan semua pejabat BPK akan dicek harta kekayaannya, guna mengetahui asal-usulnya.

Sebelumnya, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mendesak PPATK melacak harta kekayaan seluruh pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengetahui asal-usul harta itu. Mulai dari Ketua BPK, Wakil Ketua BPK hingga jajarannya.

Ia menegaskan bahwa soal jumlah hartanya harus dibuktikan berdasarkan bukti otentik, apalagi jika kepemilikan harta berbanding jauh dengan penghasilan yang diperoleh dari negara sebagai pejabat negara. Karena itu diperlukan pembuktian otentik yang bersifat yuridis dari kepemilikan hartanya.

"Ya hartanya harus diperiksa PPATK. Karena yang wajib LHKPN itu hanya sampai setiap eselon 2 (setingkat Direktur)," ujar Abdul Fickar Hadjar saat  dihubungi Monitorindonesia.com, Sabtu (18/11).

Padahal, lanjut Abdul Fickar, yang banyak bermain juga justru eselon-eselon di bawah Kabag hingga Kasub. Bahkan, kata dia, pejabat BPK-nya seperti Anggota III BPK Achsanul Qosasi dan Anggota VI BPK Pius Lustrilanang.

Maka dari itu, Abdul Fickar meminta PPATK agar memberikan record transaksi para pejabat BPK dari yang paling rendah. "PPATK harus memberikan record transaksi para pejabat BPK dari yang paling rendah (eselon 4 dan pimpro) sampai dengan anggota BPK-nya seperta Achsanul Qosasi dan lainnya," tegas Abdul Fickar.

Kemudian, Kejagung tambah Abdul Fickar, wajib mendalami sumber kekayaan, Achsanul Qosasi. Pasalnya ia dijerat dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). "Iya (wajib didalami sumber kekayaannya). Apalagi, jika jauh berbeda dengan profil keuangannya yang biasa. Kalau penambahan itu berasal dari kejahatan, pasti akan terlacak," lanjutnya.

Menurutnya, penelusuran terhadap kekayaan atau aset dari tersangka Achsanul Qosasi sebagai pejabat publik bukanlah hal yang sulit, meski yang bersangkutan juga berprofesi sebagai pengusaha. 

Karena setiap perubahan aset milik yang bersangkutan tentunya rutin tercatat dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Sehingga pihak Kejagung pun dapat dengan mudah mengusut aliran TPPU yang dilakukan tersangka.

Selain Achsanul Qosasi sebagai tersangka, Anggota VI BPK Pius Lustrilanang dan kawan-kawannya kini menjadi sorotan. Pius terseret kasus dugaan pengondisian temuan terhadap laporan keungan Pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.  

Kasus yang bermula dari operasi tangkap tangan KPK akhir pekan lalu itu menyeret sejumlah pihak sebagai tersangka di antaranya Pj Bupati Sorong Yan Piet Mosso dan dua pejabat BPK di Papua Barat. 

Abdul Fickar kembali menegaskan, bahwa dengan demikian tidak ada alasan lagi kepada PPATK, KPK dan juga Kejagung bekerja sama menelusuri harta kekayaan oknum BPK dan bila perlu semua pejabatnya. Apalagi diketahui sebagian anggota BPK sebelumnya terafiliasi partai politik (Parpol).

"Karena setiap penambahan (aset) yang mencolok itu menjadi dasar penetapan tindakannya sebagai TPPU. Apalagi jika dibandingkan dengan perolehan gaji resmi sebagai anggota BPK, pasti sangat kentara perbedaannya," tandas Abdul Fickar. (LA)