Jika Diminta Setop Kasus E-KTP, Harusnya Agus Raharjo Terapkan Pasal Perintangan Penyidikan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 1 Desember 2023 13:31 WIB
Eks Ketua KPK, Agus Raharjo (Foto: Ist)
Eks Ketua KPK, Agus Raharjo (Foto: Ist)
Jakarta, MI - Jika Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Agus Rahardjo mengaku pernah dipanggil dan diminta Presiden Joko Widodo alias Jokowi untuk menghentikan kasus korupsi e-KTP yang menjerat Setya Novanto, seharusnya dia bisa menerapkan pasal perintangan penyidikan (obstruction of justice).

"Kalau dia menganggap Pak Jokowi melakukan intervensi, kenapa saat itu dia tidak bicara ke publik. Bahkan dia bisa saja menerapkan pasar rintangan penyidikan terhadap Pak Jokowi, kan dia masih menjabat ketua KPK aktif," kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman kepada wartawan, Jum'at (1/12).

"Karena, sekali kalau tuduhan tersebut baru disampaikan sekarang, publik pasti menanyakan apa motif sebenarnya?Kalau dari segi hukum, apa yang dia sampaikan sama sekali tidak mempunyai nilai pembuktian karena tidak ada saksi yang dia sebutkan," tambah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.

Selain itu, Habiburokhman menilai apa yang disampaikan Ketua KPK tahun 2015-2019 itu tak ada unsur pembuktian saksi dan bukti lain. "Yang dia sampaikan tidak mempunyai nilai pembuktian apapun, karena hanya mengacu pada keterangannya sendiri tanpa ada saksi saksi dan bukti lain," kata Habiburokhman.

Diketahui, bahwa Setnov saat itu menjabat sebagai Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, salah satu parpol pendukung Jokowi. Ia diumumkan menjadi tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017. Sebelum mengungkapkan peristiwa itu, Agus menyampaikan permintaan maaf dan merasa semua hal harus jelas.

Dalam kasus ini, Pengadilan sudah memvonis bersalah kepada 8 orang yang terlibat dalam kasus korupsi e-KTP. 

Mereka adalah Sugiharto, 5 tahun penjara (vonis 22 Juni 2017), Irman: 7 tahun penjara (vonis 20 Juli 2017), Andi Naragong: 8 tahun penjara (21 Desember 2017), Setya Novanto, 15 tahun penjara (divonis 24 April 2018, kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) setahun setelahnya).

Lalu, Anang Sugiana Sudiharjo, 6 tahun penjara (divonis 30 Juli 2018, inkracth setelah banding dan PK), Made Oka Masagung,10 tahun penjara (divonis 5 Desember 2018, mengajukan PK dan ditolak pada 2020) 

Selanjutnya, ada Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, 10 tahun penjara (divonis 5 Desember 2018) dan Markus Nari, 6 tahun penjara (divonis 11 November 2019).

Tak sampai disitu, dalam perkembangannya, kasus ini muncul beberapa perkara baru.

Pertama pemberian keterangan palsu oleh mantan anggota DPR Miryam S Haryani dalam persidangan. Ia kemudian divonis bersalah dengan hukuman 5 tahun penjara pada 13 November 2017. 

Pada perkara ini, Markus Nari juga ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap menghalangi penyidikan dan penuntutan KPK dengan mempengaruhi Miryam untuk memberikan keterangan palsu. 

Perkara kedua adalah saat KPK menganggap ada pihak-pihak yang menghalang-halangi penyidikan perkara korupsi e-KTP untuk Setya Novanto. 

Dua orang ditetapkan sebagai tersangka yaitu pengacara Novanto, Fredrich Yunadi dan dokter di Rumah Sakit Medika Permata Hijau, dr. Bimanesh Sutarjo. 

Fredrich Yunadi awalnya dihukum 7 tahun penjara namun diperberat menjadi 7,5 tahun di tingkat kasasi pada 2021. Sementara itu Bimanesh harus menjalani hukuman 4 tahun penjara setelah mengajukan banding atas putusan vonis 3 tahun penjara. 

Selanjutnya, KPK mengumumkan 4 tersangka baru dalam kasus korupsi e-KTP. 

Keempatnya adalah Miryam S Hariyani, Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI periode 2010-2013, Isnu Edhi Wijaya, Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik Husni Fahmi, dan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, Paulus Thanos. 

Terbaru, KPK melakukan penahanan kepada Isnu Edhi Wijaya dan Husni Fahmi pada 3 Februari 2022. Keduanya ditahan di Rutan Cabang KPK pada Pomdam Jaya Guntur, Jakarta. (LA)