Lima Tahun Begulir, Dugaan Penghentian Kasus Korupsi e-KTP Menguak, Siapa Benar, Siapa Salah?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 1 Desember 2023 23:49 WIB
Ilustrasi - e-KTP (Foto: Dok MI)
Ilustrasi - e-KTP (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Lima tahun bergulir, dugaan penghentian kasus dugaan korupsi e-KTP menyeret mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Setya Novanto (Setnov) baru menguak.

Hal ini berawal dari pengakuan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, Agus Rahardjo, bahwa revisi Undang-Undang KPK masih berkaitan dengan perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan kasus korupsi itu.

Pihak istana pun buka suara. Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana menjelaskan, revisi UU KPK dilakukan pada 2019 atau dua tahun setelah penetapan tersangka Setya Novanto. 

Hal itu, kata dia, menunjukkan bahwa revisi UU KPK tak berkaitan dengan kasus Setnov.

"Ya revisi KPK kan terjadi tahun 2019 ya, dua tahun setelah penetapan Pak Setnov tersangka. Ini kita bisa lihat apakah itu ada hubungannya karena ini proses yang berbeda ya yang terjadi dua tahun setelah itu," kata Ari kepada wartawan, Jumat (1/12).

Ari juga mengatakan, revisi UU KPK bukan merupakan inisiatif pemerintah, melainkan inisiatif DPR. "Revisi UU KPK itu adalah inisiatif DPR pada 2019 dan bukan inisiatif pemerintah," ujar Ari.

Lebih lanjut, Ari juga membantah adanya pertemuan antara Agus Rahardjo dan Presiden Jokowi saat itu. Setelah ditelusuri, pertemuan tersebut tidak ditemukan dalam agenda Presiden. 

Dalam pertemuan itu, Agus menyebut Presiden Jokowi sempat marah dan meminta agar kasus korupsi KTP-el Setya Novanto dihentikan.

"Informasi yang saya miliki tidak ada agenda saat itu dengan Presiden," kata Ari. 

"Kalau kita lihat kenyataannya proses hukum Setnov berjalan seperti yang kita ketahui bersama pada 2017 berjalan dengan baik, sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap pada saat itu," sambung dia menegaskan.

Selain itu, dalam pernyataan resminya pada 17 November 2017, Presiden Jokowi juga dengan tegas meminta agar Setya Novanto mengikuti proses hukum di KPK dalam kasus korupsi tersebut.

Kalau teman-teman cek pernyataan resmi Bapak Presiden tanggal 17 November 2017 bahwa presiden menegaskan agar Bapak Setnov mengikuti proses hukum yang ada di KPK dan presiden yakin proses hukum itu berjalan dengan baik," kata Ari.

Mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan mengaku sempat mendengar kabar rencana Agus Rahardjo untuk mundur dari jabatannya di KPK saat itu, karena ada dugaan intervensi dalam kasus korupsi e-KTP.

Novel menyebut rencana mundur dari jabatan Ketua KPK itu hendak dilakukan Agus usai diduga diminta Presiden Jokowi untuk berhenti mengusut perkara yang menjerat Setya Novanto yang saat itu juga sebagai Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar).

"Iya saya emang pernah dengar cerita itu, saya saat itu ada di Singapura, sedang berobat. Dan, seingat saya malah Pak Agus mau mengundurkan diri itu," ujarnya kepada wartawan di markas Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat (1/12).

Di sisi lain, Novel menyebut kondisi tersebut juga semakin membuktikan bahwa revisi UU KPK yang dilakukan setelah penanganan kasus E-KTP memang sengaja dilakukan untuk melemahkan lembaga antirasuah.

"Sekarang semakin jelas. Apa yang banyak dikatakan orang, termasuk saya, bahwa Undang-Undang KPK, revisi UU KPK yang Nomor 19 itu adalah untuk melemahkan KPK," tuturnya.

Agus Raharjo merupakan Ketua KPK periode 2015-2019. Di bawah kepemimpinannya kala itu, KPK mengusut kasus besar e-KTP yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto dan banyak politikus elite lain.

Pengakuan Agus soal amarah Jokowi yang disebut meminta agar kasus itu dihentikan disampaikan dalam acara wawancara di Kompas TV. 

Status hukum Setnov sebagai tersangka diumumkan KPK secara resmi pada Jumat, 10 November 2017.