Firli Bahuri dan Eddy Hiariej Uji Keabsahan Proses Hukumnya, ICW Singgung Praperadilan Budi Gunawan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 11 Desember 2023 02:43 WIB
Firli Bahuri (kanan) dan  Eddy Hiariej (Foto: Dok MI)
Firli Bahuri (kanan) dan Eddy Hiariej (Foto: Dok MI)
Jakarta, MI - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Firli Bahuri dan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharief Hiariej alias Eddy Hiariej akan menguji keabasahan proses hukum melalui sidang praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada hari ini, Senin (11/12).

Keduanya adalah tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan, suap, dan penerimaan gratifikasi. Firli Bahuri ditangani oleh Polda Metro Jaya soal dugaan pemerasaan tehadap mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYl), sedangkan Eddy soal dugaan suap dan gratifikasi yang beberapa waktu lalu diusut KPK. 

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa dalam sidang praperadilan, selain memastikan bukti yang dihadirkan bisa membantah argumentasi tersangka. Maka penting lembaga pengawas kode etik hakim mengawasi proses persidangan agar berjalan mandiri atau bebas dari intervensi pihak manapun.

Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, sekalipun mengajukan permohonan praperadilan merupakan hak dari setiap tersangka, upaya hukum itu kerap digunakan sebagai jalan pintas untuk terbebas dari jerat hukum. 

Proses persidangan cepat ditambah adanya perluasan objek praperadilan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 membuat gerombolan koruptor silih berganti menguji keabsahan proses hukumnya. 
 
"Tak jarang, proses persidangan dinilai banyak pihak ganjil dan putusannya pun akhirnya mengabulkan permohonan para tersangka," kata Kurnia, kemarin.
 
Kurnia lantas menyinggung, keganjilan putusan praperadilan sempat terjadi pada Komjen Pol (Purn) Budi Gunawan pada 2015 lalu. Hakim tunggal PN Jakarta Selatan Sarpin saat itu mematahkan penetapan tersangka yang dilakukan KPK.

"Bukan cuma itu, Sarpin juga bermanuver melalui putusannya dengan mengatakan Budi bukan merupakan aparat penegak hukum," jelas Kurnia.
 
Selain Budi, kejanggalan proses persidangan praperadilan di PN Jakarta Selatan juga tampak dalam permohonan tahap I mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto. Bagaimana tidak, hakim Cepi Iskandar saat itu sempat menolak unjuk bukti yang disodorkan oleh Biro Hukum KPK.
 
"Bahkan, pertanyaan yang diajukan Cepi melebar dengan mempersoalkan status kelembagaan KPK, Ad-Hoc atau permanen. Keganjilan ini bukan tidak mungkin akan kelihatan kembali dalam persidangan praperadilan Firli dan Eddy," beber Kurnia.
 
Pun demikian, Kurnia menekankan PN Jakarta Selatan dikenal banyak mengabulkan permohonan tersangka korupsi. Dalam catatan ICW, dari rentang waktu 2015-2021 setidaknya terdapat sembilan tersangka yang dikabulkan permohonannya oleh hakim tunggal di PN Jakarta Selatan.
  
Oleh karena itu, ICW mendesak Komisi Yudisial (KY), mengambil peran dengan mengirimkan tim guna memperhatikan setiap agenda persidangan yang berlangsung terkait praperadilan Firli dan Eddy. Hal ini juga sejalan dengan penerapan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a UU KY. 
 
Di mana dalam dua aturan itu, tambah Kurnia, disebutkan bahwa dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh KY. 

"Hal ini penting guna memitigasi hal-hal di luar proses hukum terjadi dalam persidangan Firli dan Eddy," demikian Kurnia. (LA)