Kasus PT CLM Sempat Seret Eks Wamenkumham Eddy, Eks Mensos Idrus Marham: Waktu Itu Saya Sarankan Diselesaikan Secara Kekeluargaan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 1 Februari 2024 03:53 WIB
Idrus Marham hanya sehari menjadi Komisaris PT CLM (Foto: MI/Ist/Net)
Idrus Marham hanya sehari menjadi Komisaris PT CLM (Foto: MI/Ist/Net)

Jakarta, MI - Mantan Menteri Sosial Idrus Marham telah menjalani pemeriksaan sebagai saksi dalam kasus dugaan suap Direktur PT Citra Lampia Mandiri (CLM) Helmut Hermawan. Setelah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Idrus Marham mengaku pernah menjabat sebagai komisaris PT CLM.

"Posisi pernah menjadi komisaris CLM satu hari. Jadi, saya pada 4 Juli 2022 diangkat dalam rapat RUPS luar biasa, tetapi tanggal 5 Juli saya sudah mengundurkan diri," kata Idrus usai diperiksa penyidik KPK, di Jakarta, Rabu (31/1).

Ia mengaku mundur dari posisi komisaris PT CLM karena merasa bekerja bukan di bidangnya. Untuk itu, ia menyarankan sosok lain yang kredibel di bidangnya guna mengisi jabatan tersebut. "Kalaupun ada yang mau dibantu, tanpa jadi komisaris pun bisa," katanya.

Idrus mengisahkan awal dirinya ditunjuk sebagai komisaris yakni lewat rapat luar biasa. Idrus mengaku, meski hanya sehari menjabat komisaris di PT CLM, dirinya mengetahui ada sengketa kepemilikan di perusahaan tersebut.

"Waktu itu saya sarankan supaya diselesaikan dengan baik secara kekeluargaan. Kalau di dalam proses hukum, ada yang namanya restorative justice, itu saran saya dulu," ucapnya.

Dalam kasus ini, penyidik KPK telah menahan Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri (CLM) Helmut Hermawan (HH) atas perannya sebagai tersangka pemberi suap.  Sementara untuk tersangka penerima suap belum dilakukan penahanan.

Selain itu, KPK juga telah menetapkan tiga tersangka penerima suap, yakni mantan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej (EOSH), pengacara Yosi Andika Mulyadi (YAM), dan asisten pribadi EOSH Yogi Arie Rukmana (YAR). 

Meski demikian, pihak KPK belum melakukan penahanan terhadap ketiganya. Namun, Hakim PN Jakarta Selatan telah membatalkan status tersangka mantan Wamenkumham Eddy Hiariej. Ia telah memenangkan gugatan praperadilan terhadap KPK.

Duduk Perkara

Sebelumnya Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata menjelaskan konstruksi dugaan suap yang sempat menjerat Eddy Hiariej berawal dari terjadinya sengketa dan perselisihan internal di PT CLM pada  2019 hingga 2022 terkait status kepemilikan.

Menurut dia, untuk menyelesaikan sengketa tersebut, Helmut selaku Direktur Utama PT CLM berinisiatif mencari konsultan hukum.

Ia pun kemudian memilih Eddy sebagai konsultan. Alex menjelaskan sebagai tindak lanjut atas hal tersebut, sekitar April 2022 dilakukan pertemuan di rumah dinas Eddy yang dihadiri Helmut bersama staf dan PT CLM. 

Hasil pertemuan tersebut dicapai kesepakatan yaitu Eddy siap memberikan konsultasi hukum untuk AHU PT CLM.  Menurut Alex, Eddy kemudian menugaskan Yosi dan Yogi sebagai representasi dirinya.

Alex mengatakan bahwa besaran uang yang disepakati untuk diberikan Helmut kepada Eddy sejumlah sekitar Rp 4 miliar.

Alex juga menjelaskan bahwa Helmut juga mengalami permasalahan hukum di Bareskrim Polri. Atas situasi itu Eddy menyatakan bersedia dan menjanjikan proses hukumnya dapat dihentikan melalui SP3 dengan adanya penyerahan uang sejumlah sekitar Rp 3 miliar. 

Selain itu tim penyidik KPK juga menemukan bahwa Helmut juga meminta bantuan Eddy selaku Wamenkumham pada saat itu untuk membantu proses buka blokir hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT CLM. 

Atas kewenangan Eddy memuluskan proses buka blokir hasil RUPS. Ia mengatakan bahwa Helmut kembali memberikan uang sejumlah sekitar Rp 1 Miliar untuk keperluan pribadi Eddy maju dalam pencalonan Ketua Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PP Pelti). 

KPK menurut dia, menjadikan pemberian yang sejumlah sekitar Rp 8 miliar dari Helmut pada Eddy melalui Yogi dan Yosi sebagai bukti awal untuk terus ditelusuri dan didalami hingga dikembangkan. 

Dalam perkara ini Helmut sebagai pihak pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (wan)