Pakar Hukum Universitas Trisakti Sebut Film Dirty Vote Bermanfaat Ditonton Masyarakat: Agar Tak Pilih Preman!

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 12 Februari 2024 20:36 WIB
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar (Foto: Dok MI)
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai bahwa film Dirty Vote wajib atau bermanfaat untuk ditonton masyarakat. Film berdurasi satu jam 57 menit itu, kata dia, bakal membuka mata. Bagaimana kecurangan terjadi di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Film ini menampilkan tiga pakar hukum tata negara, yaitu Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Feri Amsari dari Universitas Andalas, dan Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Ketiga pakar tersebut menjelaskan berbagai kelemahan, manipulasi politik, dan kecurangan yang terjadi dalam sistem Pemilu di Indonesia.

Jusuf Kalla telah menyatakan film yang disutradari Dandhy Laksono itu malah belum berhasil membongkar seluruh kecurangan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Dalam hal ini masih 25 persen dari apa yang sebenarnya terjadi.

"Tidak ada aturan yang mengarang, karena itu analisa dan pendapat atas realitas politik yang terjadi. Bahkan menurut pak JK itu belum apa-apa, masih ada realitas yang lebih mengarah pada kecurangan pemilu," kata Abdul Firkar Hadjar saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Senin (12/2) malam.

"Itu justru bermanfaat bagi masyarakat untuk menentukan pilihan, agar tidak memilih preman," imbuhnya.

Sementara itu, pakar hukum UM Surabaya, Satria Unggul Wicaksana  menyebut, setidaknya ada beberapa catatan yang perlu disampaikan terkait pesan yang ingin disampaikan dalam film tersebut. 

Pertama, kata dia, gabungan suara Jokowi dan Prabowo di pulau Sumatera menunjukkan gejala politik transaksional antara elit politik.

Kedua, penunjukkan 20 PJ Gubernur dan 82 Pj Wali Kota/Bupati oleh Presiden Jokowi dianggap sebagai praktik politik balas budi dan menciptakan loyalitas pada petahanan.

Ketiga, kasus penunjukan oleh Tito Karnavian untuk Pejabat  Gubernur Papua dianggap mengabaikan aturan yang ada. "Ini melambangkan penguasa yang berlaku sewenang-wenang," kata Satria.

Lanjut Satria, yang keempat adalah dugaan pelanggaran pakta integritas oleh Bupati Sorong memperlihatkan tipu daya dan ketidakjujuran pejabat publik.

Kelima, deklarasi GBK oleh 8 organisasi kepala desa (mewakili 81 juta pemilih) diduga sebagai upaya mobilisasi massa untuk kepentingan politik tertentu.

Keenam, lanjut dia, maraknya kasus korupsi dana desa menguatkan fakta penyelewengan anggaran untuk dukungan politik pada Pemilu. 

"Apalagi ada politik transaksional," katanya.

Ketujuh, banyaknya tekanan dan intimidasi kepada-kepala desa agar mendukung capres incumbent menunjukkan politik ala orde baru masih berlangsung.

Lalu kedelapan adalah penyalahgunaan bantuan sosial oleh pejabat seperti Airlangga dan Zulhas untuk kepentingan politik nyata terjadi di lapangan.

Kesembilan, ungkap dia, soal peningkatan tajam bansos menjelang Pemilu dibanding masa pandemi mengindikasikan pengaruh politik uang dan pembelian suara.

Kesepuluh, soal data by name by address Kemensos tidak dipakai dalam penyaluran bantuan menunjukkan indikasi kecurangan.

Kesebelas, soal keterlibatan sejumlah menteri dan timses capres dalam kampanye politik, di luar aturan yang ada, merupakan bentuk pelanggaran netralitas aparatur negara. 

Lanjut, yang keduabelas adalah ketidaknetralan Presiden dalam Pemilu, termasuk menggunakan fasilitas negara untuk berkampanye, melanggar UU dan menodai martabat kepresidenan.

Selanjutnya, ketigabelas adalah kegagalan Bawaslu mengawasi berbagai pelanggaran Pemilu menunjukkan lemahnya pengawasan independen atas kontestasi politik. 

"Beragam pelanggaran KPU, dari verifikasi partai hingga dianggap berpihak pada parpol tertentu, mencederai integritas penyelenggaraan Pemilu," katanya menyebut poin keempatbelas ini.

Lebih jauh, Satria mengungkap poin yang kelimabelas, bahwa banyaknya masalah integritas di MK, seperti isu benturan kepentingan hingga putusan kontroversial, menodai legitimasi MK sebagai the guardian of constitution.

"Upaya intimidasi dari tim kampanye diharapkan tidak terjadi, aktivitas jurnalisme investigatif adalah bagian dari kebebasan Pers yang dilindungi dalam UU Pers dan kebebasan berpendapat dari pinsip hukum dan HAM," demikian Satria dalam poin keenambelas.

Adapun film Dirty Vote sebelumnya memaparkan sejumlah kejanggalan di balik perubahan Undang-undang Pemilu yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres). Termasuk peristiwa kunci gugatan yang diajukan Almas Tsaqibbirru.

Dirty Vote merupakan sebuah film dokumenter yang digagas oleh tiga ahli hukum tata negara. Film yang mengungkap berbagai instrumen kekuasaan telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu dan merusak tatanan demokrasi.

Akar masalah yang diungkap tiga ahli hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari dalam film Firty Vote adalah saat Mahkamah Konstitusi (MK) membahas perkara uji materi UU Pemilu tentang batas usia capres cawapres.

Zainal Arifin Mochtar mengungkapkan, pada 29 September 2023 terjadi peristiwa kunci dalam kasus gugatan Almas Tsaqibbirru di MK.

"Entah karena alasan apa Almas Tsaqibbirru mencabut permohonannya. Sehari kemudian permohonan dimasukkan kembali padahal itu hari Sabtu atau hari libur," ungkap Zainal Arifin Mochtar.

Pada hari libur tersebut, Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman berkantor serta meminta panitera untuk masuk kerja. Anwar Usman adalah ipar Presiden Joko Widodo sekaligus paman Gibran Rakabuming Raka yang belakangan menjadi cawapres Prabowo Subianto.

Menurut Zainal, saat penetapan atau pencabutan penetapan dikeluarkan, seharusnya dilakukan pembacaan sidang penetapan pencabutan perkara.

Biasanya kalau dicabut bukannya dikeluarkan cepat penetapan ya, itu uniknya perkara ini sehingga disebut kunci," lanjut Zainal.

Nah, yang aneh di sini, ungkap Zainal, prosedur itu tidak terjadi. Malah kemudian digelar sidang yang berbeda pada tanggal 3 Oktober.

"Disebut berbeda karena sidang ini disebut sebagai sidang konfirmasi permohonan Almas, kemudian menyatakan bahwa sebenarnya dia tidak punya keinginan untuk mencabut, tetapi itu keinginan kuasa hukumnya," tutur Zainal dalam film Dirty Vote yang ditayangkan di kanal Youtube yang sama pada 11 Februari.

Pada saat yang sama, sidang konfirmasi permohonan tidak ada dalam hukum acara MK. "Jadi ini disebut unik, karena memang tidak terdapat di dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi," jelas Zainal.

"Nah, setelah praktik tidak ada dalam hukum acara itu, karena kasus Almas tetap dilanjutkan atau permohonan Almas tetap dilanjutkan, masuklah RPH (rapat pemusyawaratan hakim) kedua permohonan Almas," lanjutnya.

Saat itu Anwar Usman masih berpartisipasi dalam RPH, yang akhirnya dilakukan sampai tiga kali. "Biasanya RPH berulang kali itu adalah tanda bahwa permohonan itu memang njelimet atau ada pertarungan perkara yang penting, atau barangkali karena memang pemohon menghadirkan sebuah logika yang canggih dan pembuktian yang luar biasa," beber Zainal.

Zainal mengemukakan pendapatnya bahwa tak ada logika argumentasi yang memadai bahwa gugatan uji materi ini perlu diperdebatkan secara hukum, bahkan sampai menggelar RPH untuk membahas permohonan.

Dia lanjut memaparkan, sidang yang ada adalah hakim sibuk memperdebatkan permohonan Almas saja. Akan tetapi tidak pernah membuka itu ke publik dan itu dilakukan berulang kali karena sidang substansi sudah selesai di tanggal 29 Agustus. (wan)