Kata Maaf Pegawai KPK Pungli: "Tobat Sambel"?


Jakarta, MI - Sebanyak 78 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terbukti bersalah dalam perkara pungutan liar (pungli) di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK melaksanakan sanksi permintaan maaf secara serentak di Gedung Juang KPK, Jakarta, Senin (26/2).
Berdasarkan Peraturan Dewas KPK Nomor 3 Tahun 2021, jenis sanksi berat untuk pegawai berupa sanksi permintaan maaf secara terbuka langsung.
Namun menurut ahli hukum, ini hukuman yang tidak adil, karena pungli sesungguhnya nerupakan tindak pidana atau kejahatan. Kata maaf mereka bahkan rawan "tobat sambel".
Jika tidak dilakukan pemecatan dan proses hukum pidana kepada pegawai KPK yang terlibat tindak kejahatan itu, pasti mereka akan berbuat lagi jika ada kesempatan, menurut pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar.
"Ini tidak hanya menjatuhkan wibawa KPK, tapi juga wibawa seluruh penegak hukum," kata Abdul Fickar saat dikonformasi Monitorindonesia.com, Kamis (29/2).
Oknum KPK itu merupakan orang yang mengurusi lembaga pemberantasan korupsi "jadi tidak pantas oknum-oknum koruptor ini masih bercokok di KPK".
Keropos
Sementara itu, menurut Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM), Zaenur Rohman, hal ini menunjukkan bahwa KPK sudah “hancur dari berbagai sisi”, mulai dari kepimpinan hingga pengawasan yang lemah.
“Dari sisi internal terjadi pengeroposan nilai integritas karena pimpinan KPK itu sendiri yang memberi contoh buruk. Dari sisi dasar hukum, KPK-nya sendiri bukan lembaga negara yang independensinya tinggi berdasarkan UU No. 19 2019, dari revisi Undang-Undang KPK,” kata Zaenur.
Oleh karena itu, menurut Zaenur KPK perlu “di-install ulang” dengan memecat para pegawai dan pimpinan yang terbukti melakukan pelanggaran serta melakukan review terhadap sistem yang ada.
“Kalau dulu KPK terkenal sangat kuat di dalam menjunjung nilai integritas, bahkan air putih saja ditolak kalau itu diberikan oleh pihak-pihak yang ada kaitannya dengan tugas KPK.
“Sekarang jangankan menolak air putih, bahkan keluarga dari tahanan pun dipungli, ini artinya sudah sangat jauh berbeda antara KPK dulu yang dibangun di atas nilai-nilai integritas,” ujarnya.
Ia khawatir bahwa jika terus dibiarkan, kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah itu akan semakin jatuh. Tanpa adanya kepercayaan publik, KPK akan sulit melakukan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang efektif.
Berdasarkan hasil survei Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) pada akhir Desember 2023, tingkat kepercayaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terendah kedua di antara beberapa lembaga negara.
Posisi lembaga antikorupsi ini berada sedikit di atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan angka 58,8%.
“Karena pemberantasan tidak selalu dalam arti penindakan, tapi juga dalam arti pencegahan. Itulah karena tidak ada keteladanan, susah untuk memasarkan nilai-nilai integritas,” kata Zaenur.
Kendati demikian, para pegawai KPK itu tentunya memiliki alasan-alasan tertentu.
Dharma Ciptaningtyas, pegawai tidak tetap atau PKWT sejak 2018, mengaku menerima gaji yang tak layak selama bertugas di Rutan lembaga antirasuah itu.
Selama 5 tahun bekerja hingga kemudian menjadi ASN, gajinya hanya mengalami kenaikan sebesar Rp100 ribu. Hal itu pun terjadi saat perpanjangan PKWT pada 2018.
Pengakuan Dharma Ciptaningtyas itu dibacakan Dewas KPK dalam sidang pada Kamis (15/2) lalu.
"Bahwa Terperiksa Dharma Ciptaningtyas bekerja di KPK diterima sebagai Pegawai Tidak Tetap sejak 2018 sampai dengan sekarang menjadi ASN, namun gaji Terperiksa Dharma Ciptaningyas dari 2018 sampai dengan Oktober 2023 hanya naik sebesar Rp 100 ribu, naiknya pun di 2018 saat perpanjangan PKWT".
"Menjadi pertanyaan Terperiksa Dharma Ciptaningtyas, lembaga sebesar KPK memandang petugas rutan seperti apa, padahal petugas rutan bekerja di rumah tahanan dengan risiko tinggi. Bahwa jika kelakuan para Terperiksa sekarang ini membuat malu KPK, maka sebaiknya tidak ada rumah tahanan KPK".
Pengakuan pun datang juga dari kawannya, Martua Pandapotan Purba. Martua mengaku pekerjaan yang dilakukannya tak sebanding dengan gajinya yang tak kunjung naik.
"Bahwa Terperiksa XVII Martua Pandapotan Purba di KPK sudah sejak 2012, sebenarnya hati Terperiksa XVII Martua Pandapotan Purba ini sedih sekali karena dari dulu sudah kerja jujur, beban makin naik, tapi gaji tidak naik. Kemudian ditugaskan di rumah tahanan sejak 2021 mendapatkan "godaan" atas kejujuran dari gaji. Utang juga makin membeludak. Dulu tugas Terperiksa XVII Marta Pandapotan Purba menerima tamu, tidak pernah menerima uang karena menjaga integritas".
Tak hanya itu saja, sebabnya ternyata ada beban kerja yang berat. Petugas rutan lainnya, Restu Maulana Malik mengaku, beban kerja yang berat yang sebelumnya disampaikan KPK justru tidak sesuai dengan gaji yang diterimanya.
"Bahwa sesuai dengan pemberitaan di media massa, KPK telah melakukan konsultasi terkait dengan beban kerja di rumah tahanan KPK yang mempunyai pressure yang tinggi karena dipaksa bergaul sehari-hari dengan tahanan, lebih sering bertemu tahanan daripada dengan keluarga, sehingga Terperiksa XIV Restu Maulana Malik ada kedekatan dengan tahanan".
"Dengan beban kerja tersebut, Terperiksa XIV Restu Maulana Malik merasa apa yang didapat oleh Terperiksa XIV Restu Maulana Malik tidak sesuai, apalagi dengan adanya kelas jabatan sekarang untuk kelas jabatan penjaga rutan KPK hanya di kelas jabatan 5, Terperiksa XIV Restu Maulana Malik merasa itu kurang layak atau kurang tepat".
Tekanan
Pengakuan lainnya turut disampaikan petugas Rutan KPK bernama Asep Saipudin. Ia merupakan petugas yang sejak awal masuk melalui jalur pegawai tidak tetap (PTT) yang setiap tahunnya ada perpanjangan. Namun, saat ditawarkan uang bulanan, Asep mengaku sempat mendapat tekanan dari atasannya.
Pengakuan itu dibacakan Dewas KPK dalam sidang pada Jumat (16/2) lalu.
"Bahwa Terperiksa II Asep Saipudin awal masuk di KPK melalui jalur PTT yang setiap tahun ada perpanjangan. Awal mula saat ditawarkan uang bulanan, Terperiksa II Asep Saipudin pernah mendapatkan pernyataan dari Saudara Hengki yang mengatakan, 'Kamu mau diperpanjang tidak kontraknya? Kalau mau diperpanjang, ikut saja".
"Sehingga, Terperiksa II Asep Saipudin merasa sebagai bawahan ikut saja, yang penting kontrak sebagai PTT bisa diperpanjang".
Tempat yang Salah
Nazar juga petuga Rutan KPK, mengungkapkan bahwa dirinya sejak awal bekerja selalu berkomitmen menjaga integritas. Beberapa kali, ia melakukan razia di dalam Rutan KPK dan menemukan sejumlah barang-barang yang dilarang. Namun, meski disingkirkan usai razia, barang tersebut tetap kembali ditemukannya ada di dalam rutan.
"Bahwa Terperiksa XI Nazar, awal bertugas di rutan KPK memiliki komitmen untuk bersih dan berkomitmen tidak mau menerima pungli. Saat itu, Terperiksa XI Nazar melakukan penyitaan-penyitaan barang, namun pada akhirnya barang-barang tersebut kembali lagi ke dalam rutan dan tidak tahu masuk dari mana".
Pada akhirnya, ia pasrah dengan keadaan tersebut. Bahkan kemudian ikut dalam praktik tersebut. Diketahui bahwa salah satu modus pungli itu adalah menyelundupkan handphone.
"Terperiksa XI Nazar merasa secara tidak langsung, sudah melakukan pekerjaan dengan benar tapi hasilnya seperti sia-sia, sehingga Terperiksa XI Nazar akhirnya mengikuti arus."
"Bahwa Terperiksa XI Nazar tidak menggunakan hak untuk mendatangkan pembela hukum dan saksi yang meringankan karena Terperiksa XI Nazar berharap hal ini menjadi pertimbangan bagi Majelis atas sikap Terperiksa XI Nazar yang kooperatif dan memberikan yang terbaik bagi Terperiksa XI Nazar ke depannya".
Petugas Rutan KPK, Kinsun Kase juga mengaku bahwa jika sejak awal Rutan KPK sudah bersih, maka para petugas yang menjadi terperiksa tak akan seperti sekarang.
"Bahwa petugas Rutan KPK yang ditugaskan awalnya adalah orang-orang yang berintegritas tetapi masuk di tempat yang salah. Menurut Terperiksa XIX Kinsun Kase, jika Rutan KPK sejak awal sudah bersih maka para Terperiksa tidak akan seperti ini".
"Oleh sebab itu, Terperiksa XIX Kinsun Kase mohon pertimbangan Majelis agar kalau bisa masalah ini dipertangungjawabkan, [bahwa] kami ini dipaksa, dituntut, dan diintimidasi apa kemauan 'mereka".
Tak hanya itu, petugas lainnya bernama Rahmat Kurniawan mengungkapkan alasannya melakukan pungli. Ia merasa kapasitasnya tak sebanding dengan power yang dimiliki oleh para tahanan koruptor yang mempunyai materi dan pendidikan yang tinggi.
"Bahwa Terperiksa XVI Rahmat Kurniawan masuk KPK setelah melewati beberapa tahapan proses yang rumit, setelah diterma Terperiksa XVI Rahmat Kuriawan diberikan induksi dan di-plotting ke unit kerja kami masing-masing, saat itu Terperiksa XVI Rahmat Kurniawan membawa semua mata pelajaran induksi".
"Dengan yang terjadi saat ini, bukan kemauan Terperiksa XVI Rahmat Kurniawan karena basic kami sebelumnya hanya sebagai security yang pendidikannya paling tinggi SMA, dan berhadapan dengan tahanan yang memiliki power, materi, dan pendidikan yang tinggi serta mengetahui psikologis Terperiksa XVI Rahmat Kumiawan pada saat bertugas di rutan KPK".
Kata Maaf Saja?
Pada Senin, (26/2/2024) kemarin, di aula Gedung Penunjang Merah Putih KPK, para pegawai yang bersalah berbaris dengan memakai kemeja putih dan celana hitam. Mereka kemudian menyatakan permintaan maaf, mengakui telah melanggar etik dan berjanji tidak akan mengulanginya.
"Dengan ini saya menyampaikan permintaan maaf kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau Insan KPK atas pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku yang telah saya lakukan, berupa menyalahgunakan jabatan dan/atau kewenangan yang dimiliki termasuk menyalahgunakan pengaruh sebagai Insan Komisi baik dalam pelaksanaan tugas, maupun kepentingan Pribadi dan/atau golongan".
Sekretaris Jenderal KPK Cahya H. Harefa mengatakan hukuman meminta maaf secara terbuka itu merupakan pelaksanaan dari putusan yang dibuat oleh Dewan Pengawas KPK. Sebelumnya, Dewas telah menggelar sidang etik dengan 90 pegawai yang menjadi terperiksa atas dugaan menarik pungli dari tahanan. Putusan dibacakan pada 15 Februari 2024.
Dari 90 orang, sebanyak 78 dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman meminta maaf secara langsung dan terbuka. Sementara 12 pegawai lainnya diserahkan kepada Sekjen KPK karena pelanggaran mereka dilakukan sebelum Dewas terbentuk pada 2019. Sekjen yang kemudian akan menentukan hukuman untuk 12 pegawai.
"Saya selaku Insan KPK, merasa prihatin dan berduka karena sebagai dari insan KPK dijatuhi hukuman etik sebagai akibat dari perbuatan yang menyimpang dari nilai-nilai," kata Cahya.
KPK menyatakan pengusutan kasus pungli rutan KPK ini belum berhenti. Sekretariat Jenderal sudah membentuk Tim Pemeriksa yang terdiri dari unsur Inspektorat, Biro SDM, Biro Umum, dan atasan para pegawai. Tim dibentuk untuk menindaklanjuti kasus rutan dan penerapan sanksi kepada para pegawai.
Secara paralel KPK juga sedang menangani dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para pegawai. KPK menyebut sudah menyepakati menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan.
Topik:
pungutan-liar pungli-rutan-kpk pegawai-kpk-pungli kpk pegawai-kpk-minta-maaf