Dugaan Suap IUP: Jatam Minta Jokowi Copot Menteri Bahlil, DPR Desak KPK Turun Tangan!


Jakarta, MI - Bahlil Lahadalia selaku Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tengah menjadi sorotan publik. Pasalnya, Kepala Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi ini disebut-sebut melakukan penyalahgunaan wewenang dalam mencabut dan mereaktivasi izin usaha pertambangan (IUP) serta hak guna usaha (HGU) lahan sawit di beberapa daerah dengan permintaan uang senilai miliaran rupiah.
Dugaan penyimpangan-penyimpangan itu telah membetok perhatian Komisi VII DPR RI. Bahkan Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menyatakan pihaknya akan segera memanggil Bahlil Lahadalia.
“Kami sudah dengar berbagai dugaan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Ada yang meminta kalau mau menghidupkan kembali Izin Usaha Pertambangan (IUP) serta Hak Guna Usaha (HGU) lahan sawit harus bayar sekian, dan ada yang minta saham katanya. Ya Kami akan segera panggil Pak Bahlil," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/3).
Meski demikian, dia belum bisa memastikan waktu pemanggilan Bahlil itu. Sugeng menilai bahwa pembentukan Satgas tersebut pun mencederai tata kelola pemerintahan. Alasannya, tupoksi Satgas tersebut dalam mengevaluasi IUP milik perusahaan melampaui tugas milik tiga kementerian. "Kami sudah sejak awal tidak setuju yang namanya satgas," ujarnya.
Sementara Anggota DPR RI Mulyanto mendesak KPK memeriksa Bahlil Lahadalia. Hal ini dikarenakan, kapasitasnya sebagai Kepala Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.
Bahlil diduga melakukan penyalagunaan wewenang dalam mencabut dan mengaktifkan kembali Izin Usaha Pertambangan (IUP). Serta Hak Guna Usaha (HGU) lahan sawit di beberapa daerah.
Dalam mencabut dan memberikan kembali IUP dan HGU, dikabarkan Bahlil meminta imbalan uang miliaran rupiah. Atau penyertaan saham di masing-masing perusahaan, terkait info tersebut Mulyanto minta KPK segera memeriksa Bahlil.
"Keberadaan satgas penataan penggunaan lahan dan penataan investasi juga tumpang tindih. Harusnya tugas ini menjadi domain Kementerian ESDM karena UU dan Kepres terkait usaha pertambangan bukan Kementerian Investasi," ujar Mulyanto.
Mulyanto menilai keberadaan satgas yang dipimpin Bahlil sarat kepentingan politik. Apalagi pembentukannya jelang kampanye Pilpres 2024.
"Terlepas dari urusan politik saya melihat keberadaan satgas ini akan merusak ekosistem pertambangan nasional. Pemerintah terkesan semena-mena dalam memberikan wewenang ke lembaga tertentu,” ungkapnya.
Urusan tambang, menurut Mulyanto, harusnya jadi wewenang Kementerian ESDM tapi kini diambil alih oleh Kementerian Investasi. “Padahal terkait pengelolaan tambang tidak melulu bisa dilihat dari sudut pandang investasi tapi juga terkait lingkungan hidup," kata Mulyanto.
Terkait desakan itu, KPK menyatakan bakal mempelajarinya. “KPK mencermati informasi yang disampaikan masyarakat,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Selasa (5/3).
KPK juga akan meminta klarifikasi dari sejumlah pihak dan bakal berkoordinasi dengan kementerian Investasi. “KPK akan mempelajari informasi tersebut dan melakukan klarifikasi kepada para pihak yang dilaporkan mengetahui atau terlibat dalam proses perizinan tambang nikel,” ungkap Alex.
Penting diketahui, bahwa pembentukan satgas tersebut mengacu pada Peraturan Presiden No. 70/2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi.
Dalam Pasal 1 menyebut soal pembentukan Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi oleh Presiden Joko Widodo, dalam rangka penataan penggunaan lahan secara berkeadilan, penataan perizinan berusaha untuk sektor pertambangan, perkebunan dan pemanfaatan hutan, serta dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi untuk optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam.
Hal ini berdasarkan Keputusan Presiden No. 11/2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi. Sebagai Kasatgas, Bahlil memiliki kewenangan untuk mencabut IUP bagi perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi kriteria.
Tetapi perlu digarisbawahi bahwa izin usaha pertambangan, biasanya menjadi tugas pokok dan fungsi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Sepanjang 2022, pemerintah melalui Kementerian Investasi/BKPM setidaknya telah mencabut 2.078 IUP, yang terdiri dari 1.776 IUP perusahaan tambang mineral dan 302 IUP perusahaan tambang batu bara.
Secara total, luas wilayah lahan yang dicabut izinnya itu mencapai sekitar 3,2 juta hektare (ha) yang tersebar di seluruh Indonesia. Pencabutan IUP tersebut dikarenakan para pemegang IUP itu tidak pernah menyampaikan rencana kerjanya, padahal izin sudah bertahun-tahun diberikan.
Lantas apakah Bahlil menyalahi UU Minerba?
Sugeng Suparwoto pernah menyebut bahwa Parlemen mendapat keluhan dari pengusaha tambang terkait dengan dugaan pencabutan IUP oleh Kementerian Investasi/BKPM yang menyalahi kewenangan dalam Undang-undang No. 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
"Pencabutan IUP tanpa melalui proses dan mekanisme yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan akan berdampak pada tidak adanya jaminan kepastian hukum bagi investasi sektor pertambangan yang telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan negara juga berpotensi kehilangan penerimaan di sektor pertambanga,” kata Sugeng saat itu.
Pencabutan usaha pertambangan, tegas dia, harus dilakukan secara transparan dan melalui mekanisme atau proses yang sesuai dengan ketentuan Pasal 119 UU Minerba.
Bahwa izin dapat dicabut oleh menteri, dengan ketentuan di antaranya apabila pemegang IUP atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain.
Selain itu bisa juga karena pemegang IUP atau IUPK itu melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, atau juga pemegang IUP dan IUPK dinyatakan pailit.
"Sedangkan proses pencabutan suatu IUP berdasarkan Pasal 185 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 96/2001 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba diawali dengan penerapan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, dan pencabutan," demikian Sugeng.
Dasar Hukum Pencabutan IUP
Dasar hukum pencabutan perizinan pertambangan yang tidak berkegiatan telah diatur dalam pasal 119 UU Nomor 3 Tahun 2020. IUP dan IUPK dicabut oleh menteri jika perusahaan melanggar ketentuan sebagai berikut;
a. pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUP serta ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
c. pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.
Kemudian dasar hukum yang kedua yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 pasal 185. Dalam aturan tersebut, sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat yakni berupa.
a. peringatan tertulis
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan, eksplorasi atau operasi produksi
c. pencabutan IUP, IUPK, IPR, SIPB, atau IUP untuk penjualan.
Dasar hukum pencabutan lainnya adalah Keputusan Presiden nomor 1 tahun 2022 itu. Bahwa, dalam pasal 3 poin b memberikan rekomendasi kepada Kementerian Investasi atau kepala BKPM untuk melakukan pencabutan izin usaha pertambangan.
Sementara, jika merunut kembali pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara. Maka suatu regulasi sub sektor mineral dan batu bara memberikan kepastian hukum, kemudahan berusaha dan investasi, dan pengutamaan kepentingan nasional.
Jatam Minta Jokowi Copot Bahlil
Koordinator Advokasi Tambang Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional Melky Nahar meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencopot Menteri Investasi Bahlil Lahadalia.
“Mestinya Bahlil karena temuan ini juga viral harusnya diberhentikan dulu, atau presiden beri statement kepada penegak hukum silahkan tindak tanpa pandang bulu,” kata Melky dikutip pada Selasa (5/3).
Landasan hukum soal wewenang pencabutan IUP di tangan Bahlil telah bermasalah sejak awal, menurut Melky. Masalah itu belakangan diduga menjadi celah untuk fee atau setoran pemulihan IUP.
“Tersedia celahnya untuk transaksi sejak awal, persoalannya tidak beres di penyusunan peraturannya,” tegasnya..
Senada dengan Anggota Komisi VII DPR Mulyanto dan Sugeng, menurut Melky wewenang pencabutan dan lelang wilayah tambang semestinya menjadi domain Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif.
Hanya saja, belakangan Jokowi menerbitkan Perpres untuk menjadi dasar hukum bagi Bahlil mengambil wewenang Arifin tersebut. “Hanya saja perpres itu masih tidak kuat pengaturannya,” tandasnya.
Tetapi Bahlil sempat membantah bahwa dirinya mengenakan tarif atau fee perpanjangan IUP hingga miliaran rupiah. "Dari mana itu? Siapa yang bilang? Dari mana kabarnya? Lapor ke polisi dan tangkap itu orang," kata Bahlil di Bontang, Kalimantan Timur, pekan lalu.
Dia tegas membantah dan memastikan seluruh perizinan tidak dapat dipermainkan dengan pemberian 'amplop'. Disamping itu, Bahlil memastikan pihaknya telah mencabut sebanyak 2.078 IUP yang tidak produktif. "Oh, udah dicabut semua. Nggak bener. Semua 2.078 IUP aku udah cabut," menurutnya.
Monitorindonesia.com telah mengonfirmasi soal cabut IUP itu kepada Bahlil, namun belum merespons. Tetapi, melalui Staf Khusus (Statsus)-nya, Tina Talisa, Bahlil mengadukan salah satu media nasional ke Dewan Pers atas laporan dugaan penyalahgunaan wewenang terhadap izin tambang itu.
“Pak Menteri Bahlil keberatan karena sebagian informasi yang disampaikan ke publik mengarah kepada tudingan dan fitnah, juga sarat dengan informasi yang tidak terverifikasi".
"Kami meyakini ada unsur pelanggaran Kode Etik Jurnalistik, di antaranya terkait kewajiban wartawan untuk selalu menguji informasi dan tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi,” kata Tina dalam siaran pers tersebut. (wan)
Topik:
jatam komisi-vii-dpr bahlil-lahadalia menteri-investasi-bahlil presiden-joko-widodo iup suap-iup