KPK dan Kejagung Usut Korupsi LPEI, Pengingat DPR dan Pemerintah Sahkan RUU Perampasan Aset

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 20 Maret 2024 16:19 WIB
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) (Foto: Istimewa)
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani melaporkan adanya empat perusahaan mengalami cicilan bermasalah dalam penerimaan fasilitas kredit Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan nilai Rp2,5 triliun, ke Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Senin (18/3/2024).

Keempat perusahaan itu adalah PT RII dengan dugaan fraud sebesar Rp1,8 triliun, PT SMR Rp216 miliar, PT SRI Rp1,44 miliar, dan PT PRS Rp305 miliar. Sementara di KPK, kasus ini sudah naik ke tingkat penyidikan. 

Menurut KPK, kasus ini melibatkan tiga debitur dari LPEI yakni PT PE, PT RII dan PT SMJL. Kerugian dari PT PE dengan nilai kerugian Rp 800 miliar, PT RII sebesar Rp 1,6 triliun, dan PT SMJL sebesar Rp 1,051 triliun. Adapun totalnya adalah Rp 3,4 triliun

Berangkat dari hal itu, pakar hukum pidana Universitas Pamulang (Unpam) Halimah Humayrah Tuanaya, menilai hal tersebut seharusnya menjadi alarm pengingat bagi DPR dan pemerintah agar segera mengesahkan RUU Perampasan Aset.

"Kasus korupsi ini juga hemat saya harus dijadikan momentum untuk kembali mengingatkan DPR dan Pemerintah agar segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset," kata Halimah, Rabu (20/3/2024).  

Halimah menilai pengembalian kerugian negara akan semakin mudah efektif dan efisien tanpa perlu menunggu proses hukum normal dari penyelidikan, penyidikan, hingga putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. 

Menurutnya, UU Perampasan aset juga menjadikan sistem pembuktian secara terbalik secara utuh. "Artinya Pelaku kejahatan harus membuktikan dari mana asal-usul seluruh hartanya. Ketika tidak bisa membuktikan asal-usulnya, maka harta tersebut dapat dianggap hasil dari kejahatan," ungkapnya.  

Menurutnya, kasus LPEI ini bukan perkara mudah karena menyangkut ekspor. Ia yakin Kejaksaan Agung butuh waktu panjang mengusut kasus ini.

"Pada umumnya mengembalikan aset negara yang dikorupsi tidaklah mudah. Pelaku tindak pidana korupsi kerap kali memiliki akses yang luar biasa dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan aset, hingga melakukan pencucian uang".

"Selain itu,  berbagai negara dimana koruptor menyimpan uang juga masih menerapkan kebijakan tentang kerahasiaan bank," tandasnya.