Antara DPR dan Presiden, Siapakah yang Pro Kepentingan Bangsa terkait RUU Perampasan Aset?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 23 Mei 2024 23:38 WIB
Azmi Syahputra, Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti (Foto: Dok MI/Aswan/Pribadi)
Azmi Syahputra, Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti (Foto: Dok MI/Aswan/Pribadi)

Jakarta, MI - Pesiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengirim Surat Presiden Nomor R22/Pres/05/2023 dan naskah RUU Perampasan Aset kepada Ketua DPR RI dengan pesan agar pembahasan dan instruksi ini menjadi prioritas utama. 

Oleh karena itu, diharapkan RUU Perampasan Aset dapat menjadi solusi yang menjadi dasar hukum yang dapat dijalankan tanpa harus menunggu selesainya proses hukum yang berjalan.

Secara sederhana, RUU Perampasan Aset bertujuan untuk menghadirkan cara untuk dapat mengembalikan kerugian negara (recovery asset) sehingga kerugian yang diderita oleh negara tidak signifikan. 

RUU ini telah melewati perjalanan yang cukup panjang sejak awal tahun 2010. Pada periode Prolegnas 2015-2019, RUU ini termasuk dalam program legislasi nasional, namun tidak pernah dibahas karena tidak masuk dalam daftar prioritas RUU. 

Dalam RUU Perampasan Aset, ada pasal penting bikin heboh, yaitu Pasal 5 ayat (2) poin a. Dijelaskan bahwa aset bisa dirampas kalau nilainya tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber kekayaan yang dimiliki tersangka. 

Artinya, kalau tersangka tidak bisa membuktikan duitnya halal, bisa langsung dirampas.

RUU Perampasan Aset
Pengunjuk rasa meminta KPK untuk membersihkan dan menangkap koruptor-koruptor pajak, mafia pencucian uang, serta birokrat-birokrat di pemerintahan yang mengkorupsi uang rakyat.

Pasal 6 ayat (1) diatur bahwa aset yang bisa dirampas minimal nilainya seratus juta rupiah atau terkait dengan ancaman hukuman penjara empat tahun atau lebih. Jadi, kalau ada aset yang nilainya besar atau terkait dengan kasus serius, langsung bisa diselidiki dan dirampas oleh penyidik atau penuntut umum.

Dan Pasal 7 ayat (1), membahas tentang prosedur perampasan aset bagi tersangka yang telah meninggal dunia, melarikan diri, mengalami sakit parah, atau bahkan menghilang tanpa jejak. Meskipun dalam kondisi-kondisi tersebut, RUU ini memberikan kewenangan untuk melakukan perampasan aset.

Hal ini bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum yang kuat, sehingga tidak ada celah bagi tersangka untuk menghindari tanggung jawab hukumnya. 

Dengan demikian, RUU ini menghadirkan instrumen yang efektif dalam memastikan bahwa pelaku tindak pidana tidak dapat mengelak dari konsekuensi hukumnya, meskipun dalam kondisi yang sulit seperti meninggal dunia, melarikan diri, sakit parah, atau menghilang.

Langkah-langkah perampasan aset ini juga turut mendukung upaya pemerintah dalam memberantas berbagai bentuk kejahatan yang merugikan negara maupun masyarakat secara keseluruhan.

Pada periode Prolegnas 2020-2024, RUU Perampasan Aset kembali dimasukkan dan Pemerintah mengusulkan agar RUU ini dimasukkan dalam Prolegnas 2020, sayangnya usulan tersebut tidak disetujui oleh DPR RI. 

Pada tahun 2023, pemerintah dan DPR RI sebenarnya mencapai kesepakatan untuk memasukkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas 2023. 

Namun sayangnya, terjadinya kendala pelaksanaan perampasan aset sendiri tidak lepas dari dua hal penting, kurangnya politik hukum negara dan eksistensi aset yang berada di luar negeri.

Berangkat dari hal itu, Monitorindonesia.com, Kamis (23/5/2024) malam berbincang dengan pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Azmi Syahputra.

Azmi menilai Presiden Jokowi dapat segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang perampasan aset. Karena DPR RI yang tak kunjung mengesahkan RUU Perampasan Aset.

"RUU Perampasan aset ini yang bergulir sejak tahun 2010, 2015, 2020, terakhir konkrit di bulan Mei 2023 di saat Presiden Jokowi mengirimkan surat Presiden termasuk naskah RUU-nya, sepertinya macet di meja DPR sebab tidak masuk dalam prioritas prolegnas dengan berbagai alasan yang kurang jelas," jelas Azmi.

RUU Perampasan Aset
Azmi Syaputra, Ketua Alpha (Foto: Dok MI/Aswan/Pribadi)

"Saatnya diuji keberanian Presiden Jokowi untuk berani mengeluarkan Perpu terkait UU Perampasan Aset. Sehingga terlihat siapa kah yang punya kepentingan termasuk rakyat akan melihat dan tahu siapakah diantara DPR dan Presiden yang pro rakyat terkait terbitkannya UU Perampasan Aset guna menyelamatkan keuangan negara dari pelaku dan berbagai modus kejahatan yang semakin trend saat ini," sambung Azmi menjelaskan.

Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) ini berpandangan, bahwa keberadaan UU Perampasan Aset ini menjadi kebutuhan yang mendesak dan adanya kekosongan hukum disaat tingginya angka korupsi dan tindak pidana lain yang terus memicu beberapa tahun terakhir yang harus diberantas tuntas.

Indikatornya, ujar Azmi, dengan adanya kecurangan, memperdagangkan pengaruh, penambahan kekayaan yang tidak wajar, termasuk penyalahgunaan kekuasaan penyelenggara negara serta ketidakjujuraan ASN dalam melaporkan kekayaannya melalui Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN).

"Khususnya praktik tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan oleh penyelenggara negara mesti dimaknai sebagai kejahatan yang serius (the most serious crime) dalam mencegah dan memberantas optimal kejahatan dimaksud," tegas Azmi.

Pun, Azmi turut menilai, bahwa perangkat hukum yang ada saat ini belum mampu secara maksimal dalam mengeksekusi pengembalian aset hasil korupsi maupun tindak pidana lain.

Mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana harus secara in rem melekat pada (kebendaannya) bukan pada orang (in personam) termasuk tidak lagi dilakukan dengan cara konvensional.

"Sebab cara konvensial memberikan ruang kesempatan bagi tersangka/terdakwa untuk menyamarkan aset miliknya agar terlepas dari proses pembuktian oleh aparat penegak hukum akibat  proses peradilan yang panjang dan mensyaratkan harus berkekuatan hukum terlebih dahulu".

Maka, tegas Azmi, perlu upaya dan Undang-Undang  khusus, spesifik terkait prosedur perampasan termasuk pengelolaannya agar dapat diamankan oleh negara atas barang yang diperoleh dari tindak pidana. 

"Termasuk melalui sistem pembalikan beban pembuktian guna mengembalikan aset dan keuangan negara," jelas Azmi melanjutkan.

Lebih lanjut, Azmi menekankan, adanya UU Perampasan aset sekalipun tersangka atau terdakwa beralasan atau berupaya melarikan diri, sakit permanen, tidak diketahui keberadaannya termasuk meninggal dunia benda hasil kejahatannya dapat disita. 

RUU Perampasan aset tak kunjung dibahas

Sebab, kata Azmi, praktik tindak pidana terutama korupsi maupun modus pencucian uang yang dilakukan penyelenggara negara bekerja sama dengan pihak lain dapat dimaknai negaralah  sebagai korban (victim state).

“Sehingga negara harus mengambil kembali aset yang dikuasai oleh pelaku tindak pidana,  korupsi atau para pelaku pencucian uang tersebut yang hasilnya berhubungan dari suatu permufakatan kejahatan," tegas Sekretaris Jenderal (Sekjen) Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) itu.

Maka dari itu, Azmi berharap kepada pemimpin nasional kedepan harus berani mewujudkan penerapan negara hukum dengan menyatakan tidak ada lagi tempat bagi siapapun pelaku untuk menyembunyikan aset atau harta dari perbuatan tindak pidana, termasuk tidak ada seorangpun yang dapat menikmati aset- aset hasil kejahatan.

Jadi, ungkap Azmi, tidak ada pilihan lain saat ini keberadaan UU Perampasan Aset menjadi urgen sekaligus perwujudan nyata dalam mewujudkan kebijakan legislasi. 

Bahkan akan teroperasionalnya lebih luas lagi kerjasama antara penegak hukum dengan segala lapisan unsur masyarakat sebagaimana amanat Pasal 41 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Melalui RUU Perampasan aset ini menjadi solusi sekaligus menjadi dasar hukum yang dapat dijalankan tanpa harus menunggu selesainya proses hukum yang sedang berjalan, terutama menghadapi keadaan  saat ini angka korupsi yang makin luas, sehingga  akan terlihat keseriusan maupun keberpihakan".

"Apakah dari DPR atau Presiden kah yang berpihak demi kepentingan bangsa dalam menyongsong upaya pemberantasan tindak pidana korupsi serta menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat?" tanya Azmi Syahputra menutup perbincangannya.

Mengapa tak kunjung selesai?
Pada 2003, Indonesia menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Melawan Korupsi dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006.

RUU Perampasan Aset atau yang juga dikenal dengan istilah asset recovery merupakan salah satu aturan yang harus ada ketika suatu negara sudah menandatangani konvensi tersebut.

Sejak saat itu hingga kini, Indonesia belum juga memiliki aturan hukum soal perampasan aset. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly sempat mengatakan bahwa pihaknya sudah selesai melakukan "harmonisasi" draf RUU tersebut.

Selain Kementerian Hukum dan HAM, ada beberapa kementerian dan lembaga lain yang juga harus melakukan harmonisasi. Ketika semua kementerian dan lembaga sudah menyetujuinya, presiden akan mengirimkan surat ke DPR untuk kemudian dilakukan pembahasan.

Pada Februari 2023, Presiden Joko Widodo meminta RUU Perampasan Aset dibahas segera. 

Sebagai salah satu ahli yang pernah terlibat dalam pembahasan RUU Perampasan Aset pada 2007 hingga 2010 lalu, pakar hukum tindak pidana pencucian uang (TPPU) Yenti Ganarsih menilai pembahasan RUU Perampasan Aset “sudah selesai” kala itu, tapi sayangnya RUU itu selalu keluar-masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR.

“Tiba-tiba [pembahasannya] melempem 2010 itu. Di tengah-tengah pembahasan Pak SBY melemah, diteruskan lemahnya sama Pak Jokowi,” ujar Yenti.

Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang, Yenti Garnasih (Foto: Ist)
Yenti Garnasih, pakar hukum tindak pidana pencucian uang (TPPU) (Foto: Dok MI/Pribadi)

Yenti yang pernah menjadi ketua panitia seleksi calon pimpinan KPK itu menduga ada pihak-pihak tertentu yang menghambat pengesahan RUU Perampasan Aset.

“Bukan rahasia umum kan, bahwa yang terlibat korupsi siapa? Semua yang menjadi fokusnya KPK, pejabat publik, penyelenggara negara yang kebanyakan dari politisi, penegak hukum,” kata dia.

Ditambah lagi, ada pihak-pihak di luar eksekutif dan legislatif "yang membonceng" agar RUU Perampasan Aset tidak disahkan.

Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter menduga terhambatnya pengesahan RUU ini disebabkan “pemerintah yang belum yakin” karena sejak dulu, surat presiden (supres) yang dibutuhkan sebagai tanda untuk memulai pembahasan di DPR tidak kunjung ada.

“Keengganannya bukan hanya dari sisi legislatif, tapi juga eksekutif. Makanya barulah di tahun ini itu masuk prolegnas prioritas, sehingga harapannya sudah tinggal jalan, tapi ini kita belum tahu kenapa eksekutif masih lambat,” kata Lalola.

Apa saja poin pentingnya?
Yenti menjelaskan RUU Perampasan Aset akan mengatur mekanisme mulai dari penelurusan, penyitaan dan pemblokiran aset yang diduga hasil kejahatan, sampai pengelolaan aset yang telah dirampas.

RUU Perampasan Aset, kata Yenti, mencakup hal-hal yang belum diatur dalam perampasan aset pada Undang-undang Tipikor maupun Undang-undang TPPU.

Dalam Undang-undang Tipikor pasal 18 disebutkan adanya uang pengganti, yang kata Yenti bisa disubsiderkan dengan hukuman penjara jika tak kunjung diganti. Itu berarti “uang tidak kembali”.

Begitu juga perampasan aset dalam Undang-undang TPPU, lanjut Yenti. “Tidak ada asset recovery. Waktu sudah dirampas tidak dimaksimalkan, tidak dikelola dengan baik, bahkan hilang. Lihat Indosurya, ada beberapa yang menjadi masalah.”

RUU Perampasan Aset memungkinkan aset-aset hasil kejahatan itu diatur dan diawasi dengan baik sehingga tidak ada lagi aset yang nilainya turun, lelangnya tidak jelas, sampai kehilangan barang bukti.

Bahkan untuk aset hasil kejahatan yang, misalnya, sudah menjadi pabrik atau hotel, akan dikelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam RUU Perampasan Aset.

”Itu tidak bisa ditutup begitu saja, akan dikelola oleh negara, hotelnya tetap jalan, hanya pengurusannya, keuangannya, langsung diberikan kepada yang berhak. Sehingga masyarakat yang bekerja di situ tidak jadi korban.

Mereka juga bagian korban karena negara tidak tegas dan tidak cerdas waktu menganggarkan dan mengamankan anggaran itu,” kata Yenti.

Yenti mengatakan kondisi penuntasan kasus korupsi saat ini “tidak menjerakan” para koruptor, bahkan setelah mereka dihukum penjara.

https://img.antaranews.com/cache/1200x800/2024/02/13/sukamiskin-1_1.jpg.webp

Apalagi kondisi Lapas Sukamiskin yang secara psikologis membuat seseorang “semakin tidak takut memulai kejahatan korupsi atau mengulang korupsinya”.

“Dan semakin tidak takut lagi karena toh pasang badan, harta kekayaannya tidak ditelusuri. Kalau ada perampasan aset, no way, tidak ada lagi yang masih bisa dipertahankan,” kata Yenti.

“Jadi sebetulnya, [hukuman] pidananya tidak terlalu berat juga tidak apa-apa, yang paling penting itu rampas semuanya, ditambah denda, termasuk dirampas dari bunga-bunga yang ada,” dia menambahkan.

Senada, Lalola Easter juga mengatakan bahwa “koruptor itu memang takutnya dimiskinkan”. Itu terbukti dalam kasus korupsi jenderal polisi Djoko Susilo, yang melakukan peninjauan kembali terhadap perampasan aset setelah dia dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi simulator SIM.

Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) Djoko Susilo terhadap perampasan asetnya, tapi dia tetap mendapatkan hukuman pidana 18 tahun penjara. Hasilnya, kekayaan yang didaparkan Djoko Susilo sebelum kasus korupsi dikembalikan.

“Karena mereka akan upayakan berbagai hal untuk mempertahankan kekayaan mereka. Jadi, kalau memang mau mencari apa kira-kira jenis hukuman yang paling menjerakan, saya menduga kuat itu pemiskinan, bukan pidana badan. Harus berubah perspektif penegak hukumnya juga,” ujar Lalola Easter.

Seperti jalan siput
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS Nasir Djamil melihat jalannya pembahasan RUU Perampasan Aset yang merupakan RUU inisiatif pemerintah itu, lambat sekali seperti jalan siput.

"Ada kekhawatiran UU ini seperti senjata makan tuan. Yang punya aset adalah orang yang punya kuasa. Yang tak punya kuasa mana mungkin punya aset," ungkap Nasir Jamil dalam diskusi Urgensi RUU Perampasan Aset, di Media Center DPR RI, Selasa (28/2/2023) lalu.

Nasir Jamil menegaskan bahwa aset biasanya dimiliki oleh orang yang punya kuasa, dan kekuasaan itu cenderung korup. Semakin besar kekuasaannya, semakin besar pula potensi untuk mendapatkan aset. Semakin besar kekuasaannya, semakin besar untuk melakukan penyimpangan.

"Jangan-jangan pemerintah menyesal  juga menyodorkan RUU ini. Namanya juga jangan-jangan, berarti bisa jadi iya dan bisa jadi tidak," kata Nasir Jamil.

Nasir Djamil
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS Nasir Djamil (Foto: Dok MI/Dhanis)

Jamil menilai RUU ini sangat strategis karena dalam dalam konteks pencegahan dan pemberantasan tindak pidana, baik pidana korupsi, terorisme atau kejahatan-kejahatan lainnya ada potensi penggelapan aset. "Maka sebenarnya rancangan undang-undang ini sangat strategis kalau kita ingin kemudian aset-aset itu tidak hilang," kata Jamil.

Dukungan PDIP
PDI Perjuangan mendukung Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu tentang perampasan aset dan pembatasan uang kartal. Karena DPR RI tak kunjung mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.

"Saya setuju dengan perkataan Presiden Joko Widodo bahwa kita membutuhkan Undang-Undang Perampasan Aset dan pembatasan uang kartal untuk menekan kasus-kasus korupsi. Kalau memang ada niat sungguh-sungguh dari Pak Jokowi, saran saya segera saja bikin Perppu pak," kata politikus PDIP Deddy Sitorus dalam videonya ditukil Monitorindonesia.com, Selasa (2/5/2024).

Menurut anggota DPR RI ini, membuat Perppu tak perlu menunggu dari DPR RI. Dia pun menyinggung saat pembuatan Omnibus Law saat itu demi kepentingan investor.

"Jadi bikin Perppu nggak usah nunggu DPR RI. Jadi itu yang saya bingung karena kalau kita dulu bikin Omnibus Law yang demi kepentingan investor untuk mengambil tanah dari milik masyarakat, bahkan dengan PTSL, kenapa tidak bikin Perppu saja," ungkapnya.

Karena, menurutnya, kewenangan legislasi itu hanya dimiliki dua oleh DPR, tiga oleh eksekutif. "Kita tunggu supaya bapak mengeluarkan Perppu untuk kedua isu itu," tegasnya. 

Adapun Jokowi sejatinya sudah menandatangani surat perintah presiden (Supres) mengenai RUU Perampasan Aset terkait dengan Tindak Pidana. Supres bernomor R-22/Pres/05/2023 telah dikirim ke DPR pada Kamis, 4 Mei 2023 untuk dilakukan pembahasan. Namun hingga saat ini tak kunjung ada pembahasan di DPR RI.

Selain Deddy, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman juga mengatakan bahwa Presiden Jokowi  bisa mengeluarkan Perppu itu jika menganggap Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset penting.

"Soal UU Perampasan Aset? Jika memang Presiden Jokowi memandang UU Perampasan Aset itu penting sebagai solusi untuk mengatasi masalah korupsi, Presiden Jokowi bisa keluarkan Perppu," ujar Benny di akun X (Twitter) pribadi dikutip Monitorindonesia.com, Selasa (2/5/2024).

Tidak Berani Tegas ke Firli Bahuri, Benny K Harman: Dewas KPK Kayak Macan Ompong
Benny K Harman, Anggota Komisi III DPR RI

Tak hanya itu, Benny juga menyentil perihal Perpu Cipta Kerja yang belum lama ini diterbitkan Jokowi. "Yang tidak penting seperti Perppu Cipta Kerja saja diterbitkan, apalagi Perppu terkait perampasan aset,"

Lebih lanjut, Benny meminta Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memberitahu Jokowi untuk segera terbitkan Perppu Perampasan Aset. (an)