Anggota Densus 88 Buntuti Jampidsus, Kepentingan Perkara Terorisme atau Motif Lain?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 26 Mei 2024 00:01 WIB
Baju hitam diduga IM Anggota Densus 88 yang tertangkap pengawal Jampidsus Kejagung, Febrie Adriansyah
Baju hitam diduga IM Anggota Densus 88 yang tertangkap pengawal Jampidsus Kejagung, Febrie Adriansyah

Jakarta, MI - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) Febrie Ardiansyah diduga dibuntuti oleh anggota Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 antiteror Polri.

Anggota Densus 88 tersebut disebutkan tertangkap basah saat Febrie sedang makan malam di sebuah restoran Perancis di kawasan Cipete, Jakarta Selatan pada Minggu (19/5/2024).

Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menduga anggota Densus 88 Antiteror Polri itu pasti mempunyai motif dan kepentingan. 

"Apakah kepentingannya dalam kerangka penyidikan perkara terorisme atau motif lain. Ini yang harus diselidiki. Yang sangat mungkin motif pribadi atau kelompok," kata Abdul Fickar Hadjar saat dihubungi Monitorindonesia.com, Sabtu (25/5/2024) malam.

Jika kepentingannya soal dinas, lanjut Abdul Fickar, maka sebenarnya bisa dilakukan secara terbuka dan formal (resmi) dengan memanggil dan meminta keterangan dari Jaksa yang dikuntit. 

Dengan tidak secara resmi dilakukan permintaan keterangan, maka motifnya diragukan sebagai motif dinas untuk kepentingan umum. 

"Saya kira ini harus ditertibkan oleh Kapolri, jangan sampai status Densus 88 ini disalah gunakan secara pribadi baik untuk kejahatan atau kepentingan oknum atasan tertentu, atau kejahatan lainnya," ungkapnya.

Menurut Abdul Fickar, nampaknya ada kaitannya dengan kasus yang tengah ditangani oleh Jampidsus.

Maka dari itu, Kapolri harus memberi penjelasan terbuka agar tidak menimbulkan spekulasi didalam masyarakat. "Seolah-olah ada pejabat Polri yang terlibat kasus yang kemudian mengerahkan Densus 88 itu," tutup Abdul Fickar Hadjar.

Adapun anggota Densus yang tertangkap berinisial IM dan berpangkat Bripda. IM diduga merujuk pada nama Iqbal Mustofa. 

Saat itu dia diduga menyamar sebagai karyawan perusahaan BUMN dengan inisial HRM.

Berdasarkan informasi yang diterima, dia saat itu tengah menjalankan misi 'Sikat Jampidsus'.

Tak sendiri, IM diduga menjalankan misi bersama lima orang lainnya yang dipimpin seorang perwira menengah kepolisian.

Apakah ini bentuk intimidasi?

Banyak pihak menilai bahwa aksi pengintaian itu diduga sebagai bentuk intimidasi anggota Polri terhadap institusi Kejagung.

Pengamat keamanan dari Centre for Strategic and International Studies, Nicky Fahrizal, mengatakan jika benar ada anggota Densus 88 mengintai Jampidsus dan tertangkap, hal itu merupakan pelanggaran terhadap UU No 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Sebab, dalam tataran operasional, tugas Densus 88 berada di bawah rezim UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, bukan menguntit aparat hukum, seperti pejabat Kejaksaan Agung.

”Dilihat dari aspek hukum, Densus 88 tidak bisa dikerahkan untuk urusan lain, kecuali berkaitan dengan terorisme dan kontra terorisme. Kalau ada kasus yang berhubungan dengan spionase atau kegiatan memata-matai, sudah tentu ini pelanggaran terhadap UU tersebut,” kata Nicky.

"Kalau ada kasus yang berhubungan dengan spionase atau kegiatan memata-matai, sudah tentu ini pelanggaran terhadap UU tersebut,” imbuhnya.

Menurut Nicky, marwah Densus 88 bisa terganggu dan kepercayaan publik terhadap lembaga itu juga akan berkurang.

Selama ini, mereka dipercaya untuk menanggulangi aksi teror, kontraradikalisasi, dan kontraterorisme.

”Jampidsus itu kan pejabat tinggi yang mengerjakan penindakan hukum tindak pidana krusial, seperti korupsi dan pencucian uang," jelasnya.

Artinya, tambah dia, Mabes Polri, dalam hal ini Kapolri dan Komandan Densus 88, harus mengklarifikasi. Sebab, ini mempertaruhkan kepercayaan publik.

Bakal rumit?

Pengawasan Densus 88 terhadap Jampidsus Febrie dianggap tidak berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan terorisme.

Artinya, unit khusus kepolisian itu sudah digunakan untuk urusan yang bukan bidangnya.

Nicky menyebut bahwa kegiatan spionase sesama aktor penegakan hukum, yaitu Polri dan kejaksaan, justru bisa menimbulkan preseden yang buruk.

Padahal, seharusnya kedua aparat penegak hukum ini bisa berkoordinasi, melakukan sinkronisasi dan kolaborasi.

Namun, anehnya, yang terjadi justru adalah semacam kompetisi yang berbahaya.

Ini juga bisa berarti tata kelola penegakan hukum di Indonesia ini sedang hancur-hancurnya kalau melihat situasi seperti itu karena antaraktor penegakan hukum ini kan tidak sinkron.

"Tambah lagi, yang harusnya mengawal pejabat tinggi kejaksaan ini kan kalau tidak polisi organ internal pengaman kejaksaan. Karena ini melibatkan polisi militer menjadi lebih rumit,” bebernya.

Menurut Nicky, dilibatkannya polisi militer untuk mengawal Jampidsus Kejagung bisa berujung runyam karena yurisdiksi yang berbeda.

Polisi militer seharusnya dilibatkan untuk penegakan hukum pidana militer atau kedisiplinan militer.

Adapun, karena kejaksaan berada dalam yurisdiksi penegakan hukum sipil, seharusnya mereka dikawal oleh kepolisian.

”Kalau dibiarkan bisa merunyam di kemudian hari karena yurisdiksi polisi militer ada di korps kehakiman militer atau oditur militer," katanya.

"Kalau kemudian polisi militer ini berhadap-hadapan dengan kepolisian bisa rancu dan berbahaya,” imbuhnya.