Akhir Kasus Vina Tak Kunjung Usai: Kenapa Harus Menunggu 8 Tahun?


Jakarta, MI - Profesionalitas Kepolisian Republik Indonesia (Polri) khususnya jajaran Polda Jawa Barat kembali diuji dengan kembali mencuatnya kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita alias Vina dan Muhammad Rizky Rudian alias Eki.
Adapun kasus pembunuhan dua sejoli itu kembali mencuat setelah 8 tahun berlalu, usai diangkat ke film layar lebar dengan judul Vina: Sebelum 7 Hari.

Mengapa polisi baru 'ujug-ujug' menangkap orang diduga pelaku yang menjadi buronan yang seolah sukar. Padahal, semestinya bukan hal yang sulit dilakukan oleh polisi.
Buronan dalam waktu delapan tahun membuat muncul spekulasi di media sosial yang menuding bahwa satu buron adalah anak dari perwira polisi. Namun, tuduhan itu dibantah oleh Polda Jawa Barat.
Pihak kepolisian harus mempertanggungjawabkan proses penyelidikan kasus ini untuk menanggapi dugaan “salah tangkap” yang diungkap oleh salah satu terdakwa baru-baru ini.
Hanya saja, pembuktian polisi saat menangani kasus ini terlalu bertumpu pada pengakuan dan kesaksian para terdakwa, yang disebut bisa saja muncul akibat intimidasi.
Dalam kasus penyidikan kasus ini, Polres Cirebon menetapkan 11 orang tersangka dengan rincian delapan orang ditahan dan 3 orang masuk dalam pencarian orang (DPO) atau buron.
Pegi Setiawan bersama dengan dua nama lain, Andi dan Dani, masuk dalam daftar buron dalam kasus pembunuhan yang viral tersebut.
Namun, dalam konferensi pers pada Minggu (26/5/2024), Polda Jawa Barat mengumumkan dua nama tersebut dihapus dari daftar buron.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat, Kombes Pol Surawan, beralasan dua nama tersebut dihapus karena delapan pelaku yang sudah diamankan sebelumnya hanya "asal sebut" dan identitas keduanya belum dapat dibuktikan.
“Ada yang [menyebut] tersangka [buron] tiga nama berbeda, ada menerangkan lima, ada satu. Setelah dilakukan pendalaman, dua nama yang disebutkan selama ini, itu hanya asal sebut [oleh para tersangka]," kata Surawan.
Hingga kini, total sembilan orang telah dijadikan tersangka dalam kasus pembunuhan Vina. Perkembangan terbaru kasus pembunuhan ini menambah daftar panjang kejanggalan di balik penyelidikan polisi.
Keluarga Vina, melalui kuasa hukum Putri Maya Rumanti, mengaku kecewa dengan keputusan penghapusan dua nama tersebut dan mendesak kepolisian berpegang pada amar putusan pengadilan yang menetapkan bahwa DPO dalam kasus Vina berjumlah tiga orang.
“Di dalam amar putusan ini sudah jelas sebagai DPO yang harus dicari. Jadi pertanyaannya siapa yang paling bertanggung jawab atas kematian Vina dan Eky kalau dua DPO itu dihilangkan?" kata Putri.
Sementara, sosok Pegi juga hadir dalam konferensi pers tersebut. Ia terlihat beberapa kali menggeleng-geleng kepala saat polisi menjelaskan perannya dalam kasus Vina.
Di depan media dan kepolisian, ia membantah keterlibatannya dalam pembunuhan Vina dan Eky. "Saya tidak pernah melakukan pembunuhan itu. Ini fitnah. Saya rela mati," tegas Pegi.

Peryantaan Pegi ini tak berbeda jauh dengan postingannya di aku Fecebook @Pegi Setiawan pada 1 September 2016 silam. "ya allah ngga tau apa apa tentang masalah ini.. kenapa saya kena getah nya?? Cobaan yang engkau berikan begitu berat ya allah!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!," kata Pegi dikutip Monitorindonesia.com, Jum'at (31/5/2024).
Unggahan itu pun membetok perhatian pengamat hukum, Ferdiansyah. "Ini patut digali, pada saat ditangkap, fitnah atau ditumbalkan? Korban atau dikorbankan? Adakah dan siapakah yang ditutupi, dilindungi dalam kasus ini," kata Ferdi begitu disapa Monitorindonesia.com, Jum'at (31/5/2024) malam.

Demi mencapai tujuan hukum, kepastian kemanfaatan dan keadilan hukum, Ferdi mendesak Propam Mabes Polri agar memanggil dan meriksa penyidik yang melakukan BAP terpidana. "Dari foto-foto yang beredar, para terpidana kasus ini diduga mengalami kekerasan fisik. Pihak kepolisian seharusnya tak lupa pada fokus ini. Dan jika perlu, bentuk tim pencari fakta kasus ini," tegas Ferdi.
Polisi, tambah Ferdi, harus membuktikan akuntabilitas penyelidikannya dalam kasus ini untuk menjawab berbagai klaim dan kejanggalan yang mengemuka yang mengindikasikan bahwa pembuktian yang tidak cukup kuat terkait keterlibatan para terdakwa.
"Propam Polri dan Direktorat Kriminal Umum Polri harus menelusuri dan memeriksa kembali apakah penyidikan kasus ini pada 2016 lalu sudah berjalan sesuai prosedur. Kasus ini harus diusut tuntas agar masyarakat tak ragukan kinerja polisi," tandas Ferdi alumni Universitas Halu Oleo itu.
Mantan kuasa hukum kasus pembunuhan Brigadir Nofriasnyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), Kamaruddin Simanjuntak ikut buka suara terkait kasus ini.
Dirinya berada di pihak keluarga Vina, di mana menuntut sebuah keadilan untuk menangkap seluruh pembunuh Vina. Kamaruddin Simanjuntak meyakini bahwa ada oknum yang menyembunyikan para pelaku, mengingat salah satu pelaku diduga anak mantan petinggi Polri.
Pun dia mendesak penegak hukum untuk segera menangkap tanpa melihat latar belakang para pelaku. Kamaruddin Simanjuntak juga menyayangkan akan penegak hukum yang kurang maksimal dalam menangani kasus Vina ini.

Dirinya juga menyebutkan tak kunjung ditangkapnya pelaku dan tak adanya keadilan adalah salah satunya karena kelemahan penegak hukum yang hanya lulusan SMA.
Melihat kasus ini, Kamarudin meminta agar latar belakang pendidikan penegak hukum harus diperhatikan minimal memiliki ijazah S1. “Kelemahan penegak hukum cuma tamat SMA. Harus betul-betul diperhatikan jangan sampai kasus seperti ini berulang-ulang. Penegak hukum harus S1,” kata Kamaruddin saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Jum'at (31/5/2024).
Kamaruddin menegaskan agar penegak hukum tidak main-main dan jangan pernah mengulang kasus serupa. Sementara itu, Polda Jabar menegaskan bahwa pihaknya tak pernah berhenti menangani kasus ini dan mencari pelaku.
Kuasa hukum Pegi siapkan saksi kunci
Pegi, melalui kuasa hukumnya, Sugianti Iriani, akan mengajukan gugatan praperadilan. Menurut Sugianti, penetapan Pegi sebagai tersangka tidak sesuai prosedur dan merupakan “salah tangkap”. Karena penyelidikan seharusnya dimulai dari awal, bukan mengikuti alur delapan tahun lalu.
Sugianti mengatakan, ia bersama tim kuasa hukum Pegi berencana menghadirkan dua saksi kunci ke sidang praperadilan.
Pihaknya juga akan mendaftarkan kasus ini ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) agar para saksi mendapatkan perlindungan. “Kami siap mendaftarkannya ke LPSK karena kasus ini sudah viral. Kami harus siap-siap untuk perlindungan saksi,” jelas Sugianti.

Ia kembali menekankan bahwa Pegi tidak terlibat dalam pembunuhan Vina. Sugianto berdalih kliennya itu berada di Bandung saat peristiwa pembunuhan terjadi pada 27 Agustus 2016 lalu.
Sugianti bilang bahwa ada banyak saksi yang mereka temui dan mengaku bersama Pegi di Bandung saat pembunuhan terjadi. Selain itu, Pegi juga masih menerima gaji pada 26 Agustus 2016.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Jawa Barat Komisaris Besar Jules Abraham Abast menegaskan, kepolisian akan bertindak transparan.
"Kalau terkait opini yang saat ini dibangun, kami minta seluruh warga masyarakat untuk menahan diri. Kami akan bekerja sebaik mungkin, secara transparan. Nanti ada waktunya akan kami sampaikan," ujar Jules baru-baru ini.
Korban salah tangkap
Delapan orang telah divonis bersalah di pengadilan karena dinyatakan terbukti membunuh Vina dan Eky. Salah satunya adalah Saka Tatal, yang sudah bebas usai menjalani masa tahanan selama tiga tahun delapan bulan.
Saka mengaku menjadi “korban salah tangkap” dan menyatakan dia “tidak ada di tempat kejadian” pada malam Vina dan Eky meninggal dunia. Dia juga mengklaim disiksa oleh polisi agar mau mengaku bersalah dalam kasus ini.
Akan tetapi, klaim itu berbeda dengan fakta-fakta persidangan yang terangkum di dalam putusan Pengadilan Negeri Cirebon bahwa Saka turut memukul Eky bersama para terdakwa lainnya.

Pengacara yang mendampingi Saka, Titin Prialanti mengaku “sudah menempuh beragam cara” sejak masa-masa persidangan untuk membuktikan klaim itu. Titin pernah melaporkan dugaan penghalangan bertemu dengan keluarga dan kuasa hukum, pemaksaan pengakuan sebagai pelaku, serta dugaan penyiksaan oleh penyidik ke Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Jawa Barat pada 7 September 2016.
Kemudian dia juga melaporkan hal itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tanggal 13 September 2016, serta ke Komisi Yudisial pada 23 November 2016. Laporan itu tidak membuahkan hasil dan proses hukum terus berjalan.
Baru belakangan ini, setelah kasus Vina kembali mengemuka, Saka mengaku ke publik bahwa dia menjadi “korban salah tangkap”. “Saya ingin nama saya baik lagi seperti dulu, enggak dicap masyarakat, dipandang sebelah mata sebagai narapidana,” ujar Saka.
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing membenarkan bahwa lembaga ini pernah menerima laporan tersebut. Uli mengatakan Komnas HAM telah meminta klarifikasi Irwasda Polda Jawa Barat untuk memeriksa penyidik atas dugaan penyiksaan dan penghalang-halangan kunjungan keluarga.
“Kami belum menerima jawaban Polda Jawa Barat,” kata Uli terkait permintaan klarifikasi itu.
Kini, Komnas HAM kembali bersurat ke Polda Jawa Barat untuk meminta keterangan mengenai perkembangan pencarian tiga orang buronan, tindak lanjut proses hukumnya, serta memastikan perlindungan dan pemenuhan hak atas keadilan dan kepastian hukum terhadap keluarga korban.
Dipukuli, disetrum dan dipaksa mengaku bersalah
Saka Tatal, terpidana yang telah bebas, mengaku dirinya tidak ada di tempat kejadian pada Sabtu, 27 Agustus 2016, ketika Vina dan Eky meninggal dunia.
“Saya ada di rumah paman sama kakak saya, sama paman saya, silang rumah tiga rumah dari sini. Saya di situ dari sebelum magrib sampai jam 10 [malam] lewat,” kata Saka.
Sekitar pukul 23.00, dia pergi ke bengkel karena radiator motor milik temannya rusak. “Sebelum saya berangkat ke bengkel, saya kan mau lewat jalan layang tuh, ada polisi baru nyampe. Saya di tengah jalan berhenti melihat di atas ada polisi, saya kira ada razia, saya sama teman saya enggak pakai helm sama sekali,” beber Saka.
Ketika melihat ada keramaian itu, Saka mengaku melanjutkan perjalanannya ke bengkel. Dua orang itu yang menurut pihak Saka menjadi saksi bahwa dia tidak ada di tempat kejadian. Kuasa hukumnya, Titin mengatakan bahwa kedua orang tersebut turut mereka hadirkan di pengadilan sebagai saksi yang meringankan.
"Kami hadirkan [kedua saksi], tapi dicecar oleh hakim, 'Mana ada bengkel malam-malam buka?'" kata Titin.
Menurut versi Saka, dia mengaku berada di rumah neneknya pada 31 Agustus 2016. “Saya duduk di rumah nenek sama teman-teman saya juga,” kata dia.
Saka kemudian disuruh mengisi bensin oleh saudaranya bernama Eka Santi, yang merupakan salah satu terdakwa pembunuhan. Setelah mengisi bensin, Eka Santi meminta Saka mengantarkan motornya ke SMP 11. Ini adalah lokasi penangkapan para terdakwa.
“Pas baru sampai di situ, yang lain selain Eka Santi itu sudah ditangkap. Saya ke situ nyamperin. Kenapa saya nyamperin? Karena saya mau kembalikan motor, terus sudah, saya mau main. Habis nyamperin, langsung dibawa. Enggak ada keterangan saya ini salah apa, enggak ada. Enggak ngomong apa-apa, langsung dibawa. Enggak ada penjelasan sama sekali, langsung dibawa ke Polresta Cirebon,” ungkap Saka.
Menurut pengacaranya, Saka juga ditangkap tanpa ada surat perintah penangkapan. Selama di tahanan, Saka mengaku disiksa. Dia dipukuli, disetrum, dan dipaksa mengaku bersalah.
“Awalnya saya enggak ngaku terus, kekeuh. Kurang dari seminggu lah saya akhirnya mengakui, karena disiksa terus. Kalau saya pribadi, masih ingatlah kejadian itu. Sampai sekarang masih membekas,” kata Saka.
Menurut Saka, dia bahkan "tidak mengenal Vina dan Eky" dan "tidak mengetahui kejadiannya di mana".
Secara terpisah, orang tua dari terdakwa bernama Sudirman juga masih meyakini anaknya tidak bersalah.
Ayah dari Sudirman, Suratno menyebut anaknya memiliki "keterbelakangan mental". “Waktu kejadian umur [Sudirman] 20 tahun. Sudirman ini hanya lulus SD, tidak meneruskan karena anaknya keterbelakangan mental,” kata Suratno.
Oleh sebab itu, dia menyatakan anaknya "tidak pernah terlibat geng motor seperti yang dituduhkan". Sudirman juga disebut "baru belajar mengendarai motor" saat kasus itu terjadi.
“Ditangkapnya setelah tiga hari kejadian. Demi Allah waktu kejadian itu anak saya di rumah. Anak saya keterbelakangan mental, tidak pernah bergaul, pendiam. Makanya waktu ditangkap itu saya kaget,” ujar Suratno.
Kepada Suratno, Sudirman bercerita bahwa dia "disuruh mengaku sebagai salah satu pembunuh Vina dan Eky". “Sampai sekarang, delapan tahun, kalau saya besuk [di penjara], saya tanya, dia selalu bilang dipaksa untuk mengaku melakukan [pembunuhan],” kta Suratno.
Fakta persidangan
Fakta-fakta persidangan yang tercantum dalam salinan putusan dalam kasus Saka mengungkapkan keterangan yang berbeda. Saka disebut turut memukul korban Eky menggunakan tangan sebanyak satu kali, sehingga mengenai pipi Eky.
Kronologi kejadian yang terungkap menurut fakta persidangan menyebut bahwa Saka terlibat setelah diajak jalan-jalan menggunakan motor oleh salah satu terdakwa bernama Eka Sandi. Mereka berkumpul dan minum minuman keras berupa tuak, namun Saka disebut tidak ikut minum.
Saat itulah kelompok geng motor XTC melintas, di antaranya Eky yang membonceng Vina. Para terdakwa disebut melempari dan mengejar Eky dan Vina. Eky dan Vina dipepet di sebuah jalan layang, dan di situ kedua korban disebut dipukuli. Di sinilah Saka disebut memukul Eky.
Setelah itu, para pelaku membawa Vina dan Eky ke belakang sebuah showroom mobil. Namun Saka tidak ikut karena disuruh pulang oleh kakaknya.
Menimbang fakta-fakta persidangan itu, Saka divonis delapan tahun penjara. Hakim turut mempertimbangkan status Saka sebagai anak berusia 16 tahun pada saat itu. Bukti-bukti keterlibatan Saka antara lain batang bambu, sepeda motor, ponsel, dan batu.
Keterbelakangan mental
Terpidana Sudirman yang oleh orang tuanya disebut mengalami keterbelakangan mental – disebut turut memperkosa Vina berdasarkan berkas pengadilan. Sudirman divonis hukuman penjara seumur hidup.
Di dalam salinan putusan kasasi Mahkamah Agung, disebutkan bahwa Andi, Dani dan Pegi turut mengejar Vina dan Rizky menggunakan sepeda motor.
Andi disebut memukul Rizky dengan tangan kosong sebanyak lima kali sehingga mengenai bagian wajah sebelah kiri.
Pegi memukul tubuh Rizky dua kali dengan tangan kosong. Dani memukul Rizky menggunakan kayu, sehingga mengenai bagian rahang belakang sebelah kanan. Pegi dan Dani juga disebut memukul Vina dengan tangan kosong.

Kemudian mereka membawa Vina dan Rizky ke lahan kosong di belakang sebuah showroom mobil. Di sana, Pegi disebut memukul dan menyabet samurai pendek berbentuk pipa ke tubuh Rizky, Dani menusuknya ke bagian perut sebelah kiri sehingga "Rizky meninggal dunia di tempat".
Dani, Pegi, dan Andi juga disebut terlibat memperkosa dan melecehkan Vina. Polda Jabar telah merilis ciri-ciri fisik ketiganya, namun tidak ada foto atau sketsa wajah pelaku yang disertakan.
Ketiga DPO disebut sebagai warga Desa Banjarwangun, Mundu, Kabupaten Cirebon. Namun Kepala Desa Banjarwangun, Sulaeman mengatakan tidak ada warganya yang sesuai dengan ciri-ciri tersebut.
Sementara itu, Kombes Surawan mengaku kesulitan memburu ketiga buronan karena delapan terdakwa lainnya mencabut keterangan mereka untuk tidak mengakui keterlibatan mereka, termasuk soal tiga buronan tersebut.
Pencabutan keterangan itu terjadi ketika berkas perkara kedelapan terdakwa dilimpahkan dari Polres Cirebon ke Polda Jawa Barat. "Mereka beramai-ramai mencabut keterangannya dan tidak mengakui perbuatannya, termasuk keterangan soal tiga DPO ini," kata Surawan.
"Itu kesulitan kita. Jadi saat di Cirebon, mereka kooperatif. Tapi saat dilimpahkan ke Polda, para tersangka mencabut keterangannya baik terhadap dirinya sendiri maupun ketiga DPO itu. Sehingga kita susah menelusuri di situ," ujar Surawan.
DPR: Kenapa harus tunggu 8 bulan?
Aggota Komisi III DPR RI Taufik Basari, menyoroti pihak kepolisian yang baru menangkap Pegi setelah delapan tahun kasus berlalu dan mendapat sorotan publik usai kasusnya diangkat dalam sebuah film layar lebar yang kemudian viral.
“Ini menjadi janggal juga jika benar pada 2016 lalu ternyata pihak kepolisian sudah pernah ke rumah Pegi. Jika saat itu memang ada bukti kuat kenapa tidak langsung ditangkap, kenapa harus menunggu delapan tahun setelah kasus kembali heboh?" tanya Tobas, Kamis (30/5/2024).
Lebih lanjut kata politikus Nasdem itu, yang perlu dikritisi adalah pengakuan dari orang-orang yang sudah ditangkap dan disiksa.
“Terpidana Saka Tatal yang sudah dibebaskan mengaku terpaksa mengakui terlibat pembunuhan Vina dan Eky karena tidak kuat disiksa polisi. Ucil atau Rivaldi juga mengaku sebenarnya dia adalah pelaku tindak kejahatan lain yang tidak ada hubungannya dengan kasus Vina,” bebernya.
Untuk itu, Tobas mendorong agar Kejaksaan Tinggi Jawa Barat sebagai instansi yang memiliki kewenangan pengendalian terhadap perkara (Dominus Litis) juga dapat meneliti proses penuntutan yang dahulu dilakukan dalam kasus Vina dan Eky sebagai tanggung jawab penanganan perkara.

"Tentu kita berharap jangan pernah ada lagi peradilan sesat terjadi di negeri ini. Dari peradilan sesat pada kasus Sengkon-Karta di Bekasi, Lingah-Pacah di Ketapang, Risman Lakoro-Rostin di Boalemo Gorontalo, Devit-Kemat di Jombang, Andro-Benges di Cipulir, semestinya jadi pelajaran bagi kita untuk memperbaiki penegakan hukum,” punkasnya.
Penting diketahui dan digarisbawahi, bahwa yang membuat kasus ini berlarut-larut tak kunjung berakhir adalah pencarian tokoh utama pembunuhan Vina yang sampai bertahun-tahun dan baru ditemukan tahun 2024.
Lalu tidak adanya dilakukan test genetik DNA terhadap korban yang membuat penyelidikan semakin panjang. Dan integritas aparat kepolisian Polda Jawa Barat diuji.
Sebagai pelayan masyarakat, integritas kejujuran menjadi nilai utama yang dijunjung tinggi tanpa memihak dan menutup-nutupi. Keresahan keluarga alm Vina mendapatkan kejelasan dan keadilan tentunya menjadi sebuah aspirasi hukum yang layak disuarakan hingga tuntas.
Tidak ada orangtua yang ingin kehilangan anaknya dengan cara mengenaskan dan tak kunjung usai, itulah empati publik. Semoga kasus Vina berakhir dengan kejujuran, keadilan, dan kebenaran. (an)
Topik:
Vina Cirebon Vina Polda JabarBerita Sebelumnya
Respons KPK Soal Pansel Pilihan Jokowi
Berita Terkait

Kapolda Jabar Bebaskan Mahasiswa yang Sempat Diamankan dalam Aksi Unras Anarkis
6 September 2025 11:42 WIB

Kompolnas Desak Polda Jabar Beri Kejelasan Hukum Kasus Kericuhan Pernikahan Anak KDM
26 Agustus 2025 18:58 WIB

Aksi Heroik Personel Ditlantas Polda Jabar Berhasil Selamatkan Seorang Lansia di Jalan Tol Cisumdawu
5 Agustus 2025 15:15 WIB