MAKI Menyayangkan Kejagung Belum Jemput Paksa Nistra Yohan, Perantara Duit Korupsi BTS Rp 70 M ke Komisi I DPR

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 7 Juni 2024 13:42 WIB
Nistra Yohan yang merupakan merupakan staf ahli Sugiono selaku Anggota Komisi I DPR RI Bidang Pertahanan DPR. Nistra diduga menerima aliran dana pada Desember 2021 dan pertengahan 2022. (Foto: Dok MI/Aswan)
Nistra Yohan yang merupakan merupakan staf ahli Sugiono selaku Anggota Komisi I DPR RI Bidang Pertahanan DPR. Nistra diduga menerima aliran dana pada Desember 2021 dan pertengahan 2022. (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Penyidikan kasus korupsi BTS 4G BAKTI Kominfo Rp 8 triliun terhadap Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Dito Ario​tedjo, dan Nistra Yohan masih menggantung hingga kini. 

Padahal, pengusutan terhadap pihak-pihak lain yang diduga turut bertanggung jawab sudah lebih maju. Kejaksaan Agung (Kejagung) sempat berjanii akan kembali memanggil Dito ke depan hakim terkait dana Rp27 miliar yang diterimanya dari terdakwa Irwan Hermawan. Sementara Nistra Yohan diduga perantara uang korupsio BTS Rp 70 miliar ke Komisi I DPR RI hingga kini belum juga dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) oleh Kejagung.

Padahal, sudah beberapa kali dipanggil, namu tak kunjung hadir di gedung budar Jampidsus Kejagung. Langkah Kejagung mengusut dugaan keterlibatan kedua orang tersebut seakan tergantung dengan dinamika persidangan. 

Dito merupakan politikus Partai Golkar, sedangkan Nistra disebut-sebut kader Partai Gerindra. Pasangan calon (paslon) nomor 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang didukung kedua partai itu, bisa dipastikan memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Koordinator Maryarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman turut menyayangkan Kejagung yang tak kunjung menjemput paksa Nistra Yohan itu.  "Aku sangat menyayangkan Kejagung blm jemput paksa Nistra," kata Boyamin Saiman kepada Monitorindonesia.com, Jum'at (7/6/2024).

Sementara itu, pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar berpandangan, Dito mestinya sudah menjadi tersangka sejak dahulu. Alasannya, pengembalian uang Rp27 miliar kepada jaksa melalui kuasa hukum Irwan, Maqdir Ismail, menjadi bukti kuatnya. "Khusus untuk Menpora, seharusnya sejak awal sudah ditetapkan sebagai tersangka," tegasnya. 

Fickar menilai, berlarut-larutnya proses penetapan tersangka terhadap Dito justru akan mencoreng citra kejaksaan. Sebab, bukti yang kuat tersebut tidak bisa ditindaklanjuti. 

Apabila kejaksaan tidak mampu, ia mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih kasus ini. Pangkalnya, lambannya penuntasannya menyebabkan kasus menjadi basi.

"Karena itu, saya mengimbau agar KPK mengambil alih kasus tersebut dari kejaksaan sesuai dengan UU Tipikor (Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi)," tukasnya.

Wakil Ketua Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) Kurniawan Adi Nugroho tak menampik kecurigaan terhadap Nistra Yohan dalam kasus ini. 

Menurutnya, keterlibatan Nistra Yohan telah terang benderang. Pun dia mendesak Kejagung menetapkan Nistra dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). “Jika dalam dua minggu ke depan tidak ada pergerakan pasti dari penyidik terhadap Nistra, pal­ing lambat akhir November, LP3HI akan mengugat,” ancamnya.

Sejauh ini, Kejagung baru mengajukan pencekalan terhadap Nistra. Hal ini diakui Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Kuntadi.  “Mereka-mereka yang dicegah itu tidak kooperatif dalam menyelesaikan persoalan,” dalihnya.

Hingga kini tim penyidik Kejaksaan Agung terus mencari Nistra Yohan. Ke manapun perantara tersebut kabur, termasuk ke luar negeri sekalipun, dipastikan bakal terus dikejar.

"Orangnya kabur, masih kita cari. Pasti kita cari," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana.

Begitu sosok Nistra dan keterangannya diperoleh, maka tim penyidik akan mempertimbangkan untuk memanggil pihak Komisi I DPR. Peluang pemanggilan Komisi I DPR setelah mendapatkan Nistra dimaksudkan untuk menguatkan alat bukti terlebih dahulu. "Kita kalau sudah menyiapkan semua alat bukti, terang semua pembuktiannya, pasti kita panggil. Kenapa? Dia (Komisi I DPR) pasti membantah ketika kita panggil," ujarnya.

Adapun fakta mengenai aliran dana ke Komisi I DPR disampaikan oleh terdakwa Irwan Hermawan yang merupakan teman eks Dirut BAKTI Kominfo Anang Achmad Latif pada persidangan Selasa (26/9/2023).

Total yang diserahkan kepada Komisi I DPR melalui Nistra Yohan mencapai Rp 70 miliar sebanyak dua kali. "Berapa diserahkan ke dia?" tanya Hakim Ketua, Fahzal Hendri kepada Irwan Hermawan dalam persidangan. "Saya menyerahkan dua kali, Yang Mulia. Totalnya 70 miliar," kata Irwan.

Meski mengetahui adanya saweran ke Komisi I DPR, Irwan tak langsung mengantarnya. Dia meminta bantuan kawannya, Windi Purnama untuk mengantar uang tersebut kepada Nistra Yohan.

Windi pun mengakui adanya penyerahan uang ke Nistra. Namun pada awalnya, dia hanya diberi kode K1 melalui aplikasi Signal.

"Pada saat itu Pak Anang mengirimkan lewat Signal itu K1. Saya enggak tahu, makanya saya tanya ke Pak Irwan K1 itu apa. Oh katanya Komisi 1," ujar Windi Purnama dalam persidangan yang sama.

Uang tersebut, kata Windi diserahkan di sebuah rumah di Gandul Depok dan Hotel Aston Sentul kepada sosok perantara bernama Nistra Yohan. "Serahkan di mana?" tanya Hakim Ketua, Fahzal Hendri. "Yang pertama di rumah di Gandul, yang kedua diserahkan di hotel Aston di Sentul," ujar Windi Purnama.

Topik:

Kejagung