'OTT' Ganti Istilah Saja, Alur Tangkap Koruptor tetap Sama!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 2 Desember 2024 18:40 WIB
Enam tersangka OTT di Kalimantan Selatan berjalan menuju ruang konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (8/10/2024).
Enam tersangka OTT di Kalimantan Selatan berjalan menuju ruang konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (8/10/2024).

Bali, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mengganti istilah Operasi Tangkap Tangan (OTT) dengan sebutan 'kegiatan penangkapan'.

Perubahan istilah ini muncul di tengah kontroversi wacana penghapusan OTT yang sebelumnya diutarakan Wakil Ketua KPK Yohanis Tanak saat mengikuti tes kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR RI pada November 2024 lalu.

Johanis Tanak saat itu menganggap OTT tidak relevan dengan KUHAP dan bahkan menyebut bahwa dirinya berniat menghentikan kegiatan tersebut jika memungkinkan.

Terkait istilah OTT tidak termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Yang ada hanyalah istilah "tertangkap tangan", sedangkan OTT adalah terminologi yang diciptakan media saat melaporkan kasus-kasus penangkapan koruptor oleh KPK.

"Sudah saya instruksikan pakai (istilah) 'kegiatan penangkapan' yang didahului dengan penyelidikan. (Istilah) itu lebih pas," Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam acara ASEAN-PAC di Denpasar, Bali, Senin (2/12/2024).

Penangkapan itu sendiri telah melalui serangkaian proses, mulai dari penyelidikan, penerbitan surat perintah, pengawasan, hingga penyadapan terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat.
 
Alex menegaskan bahwa 'kegiatan penangkapan' memiliki dasar hukum yang kuat karena diawali dengan serangkaian penyelidikan yang matang. Penangkapan dilakukan setelah alat bukti dinyatakan cukup dan adanya informasi konkret terkait aktivitas penyerahan uang atau kejahatan lainnya.
 
"Kalau ini bukan seketika. Karena ada proses, ada kegiatan dan operasi untuk menangkap yang bersangkutan," jelasnya.

Pun, pihaknya memastikan bahwa perubahan istilah tidak akan mengurangi intensitas penangkapan koruptor. Menurut Alex kegiatan tersebut dimulai dengan penyelidikan untuk menemukan alat bukti yang cukup, bukan tindakan yang dilakukan secara tiba-tiba.

"Kegiatan tangkap tangan di KPK dimulai dengan penyelidikan, bukan suatu kejadian yang seketika tiba-tiba," kata Alex.

Alex mengatakan dalam mengungkap kasus dugaan korupsi, KPK terlebih dahulu menerbitkan surat perintah penyelidikan (Sprindik) terhadap pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Kemudian, KPK melakukan penyadapan, pengintaian terhadap terduga pelaku. Setelah mengumpulkan bukti berupa rekaman, gambar dan alat bukti lainnya, barulah surat perintah untuk melakukan kegiatan penangkapan dikeluarkan.

"Sehingga kita punya keyakinan terjadinya suatu peristiwa pidana dan setelah kita dapat informasi misalnya ada penyerahan duit pada H tertentu, kemudian kita terbitkan surat perintah untuk melakukan penangkapan," jelasnya.

Sehingga Alex menyimpulkan diksi OTT dalam hal itu merujuk pada kegiatan penangkapan karena merupakan ujung dari kegiatan penyelidikan.

"Jadi mungkin lebih tepatnya kegiatan penangkapan, itu ujung dari proses penyelidikan. Tentu dari penyelidikan telah diperoleh kecukupan alat bukti," katanya.

Alex menegaskan pihaknya akan tetap melaksanakan kegiatan OTT setelah melalui serangkaian tindakan penyelidikan. Sejauh ini, kata dia, langkah tersebut tidak dapat dihapuskan mengingat hal tersebut sudah diatur dalam Pasal 12 ayat (1) UU KPK yang mengatur tentang kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan dalam tugas penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e.

"Nggak ada (penghapusan OTT), kalau seperti itu kan ada Pasal 12 ayat 1 KPK di dalam proses penyidikan sudah bisa melakukan penyadapan. Bahwa alat bukti itu termasuk juga alat bukti elektronik, rekaman suara, rekaman gambar dan sebagainya," katanya saat ditanya terkait kemungkinan penghapusan OTT di KPK.

Bahkan menurut Alex, OTT dinilai efektif dalam pemberantasan korupsi. "Sejauh ini efektif. Cuma saya lihat makin ke sini orang makin hati-hati, orang makin belajar dari peristiwa sebelum-sebelumnya," katanya.

Dia menyatakan indeks persepsi korupsi di Indonesia masih tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh masyarakat yang masih permisif terhadap perilaku koruptif dan tidak terbangunnya integritas dalam diri pejabat penyelenggara negara. "Budaya anti korupsinya belum terbangun dengan baik. Penyakit-penyakit kita masih seperti itu," katanya.

Topik:

KPK OTT