Draft RUU Penyiaran Larang Penayangan Jurnalisme Investigasi Dinilai Inkonstitusional

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 14 Mei 2024 08:36 WIB
Emrus Sihombing (Foto: Dok MI/Ist)
Emrus Sihombing (Foto: Dok MI/Ist)

Jakarta, MI - Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran terbaru memang menimbulkan kontroversi di tengah pembuatannya. Ada beberapa poin pasal yang dinilai membungkam kebebasan pers di Indonesia. 

Salah satunya, larangan untuk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi yang dimuat pada pasal 50 B Ayat (2) RUU Penyiaran pada 27 Maret lalu.

Emrus Sihombing, Komunikolog Indonesia begitu disapa Monitorindonesia.com, Selasa (14/5/2024) menilainya inkonstitusional karena tidak sejalan dengan kemerdekaan mengemukakan pendapat.

"Tidak sesuai dengan nilai demokrasi karena media tidak dapat lagi melakukan fungsi kontrol sosial," katanya.

Lalu, menurut dia, berpotensi melahirkan kewenangan atau kekuasaan semena-mena.

Kemudian, juga mendorong maraknya perilaku koruptif oleh pejabat publik karena masyarakat tidak berdaya melakukan kontrol sosial.

Tak hanya itu, menurut Emrus, memusnakan salah satu karya jurnalistik yaitu investigation reporting.

Maka dari itu, dia mengusulkan kepada pemerintah pusat agar menolaknya.

"Saya usul agar larangan penayangan jurnalisme investigasi ini ditolak pemerintah," tutupnya.

Diketahui RUU Penyiaran ini pertama kali diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Salah satu anggota Komisi I DPR bidang Komunikasi dan Informatika, Dave Laksono mengatakan RUU ini hanyalah masukan demi memperkaya, memperkuat dan menyempurnakan undang-undang yang sudah ada.

Menurutnya, pembahasan RUU Penyiaran ini sebenarnya telah berlangsung hampir 12 tahun atau sejak 2012.

Dia pun berpendapat bahwa DPR tidak ada niat sama sekali untuk membungkam kebebasan pers.

"Tiada niat sedikit pun baik dari pemerintah hari ini di bawah Presiden Jokowi ataupun nantinya di bawah Presiden Prabowo dan juga DPR akan memberangus hak-hak masyarakat dan kebebasan untuk menyampaikan pendapat, apalagi informasi terhadap masyarakat," ujarnya.

Sementara anggota Komisi I DPR, Sukamta mengungkapkan latar belakang pengaturan soal larangan penayangan jurnalistik investigas dalam RUU itu untuk mencegah terjadinya monopoli penayangan eksklusif jurnalistik investigasi yang hanya dimiliki oleh satu media atau sekelompok media saja.

"Tayangan investigasi memang diperlukan bagi pemirsa untuk mendapatkan informasi yang penting.

"Contohnya membongkar bisnis makanan atau minuman yang ternyata tidak sehat atau tayangan yang membongkar praktik kejahatan yang terjadi di masyarakat, seperti judi online atau sindikat narkoba". 

'Tayangan seperti ini justru sangat edukatif dan berguna. Tapi tayangan lainnya seperti acara pesta seseorang rasanya tidak perlu karena tidak edukatif," jelasnya.

Lewat RUU tersebut, tayangan jurnalistik investigasi bisa punya batasan. Intinya karya tersebut diperlukan, tetapi harus punya batasnya, sehingga poin yang melarang maksudnya adalah topik pembahasannya dibatasi.

Perlu dicatat dan diingat baik-baik, bahwa penayangan jurnalistik investigasi menjadi salah satu karya jurnalistik yang mengupas suatu topik secara lebih mendalam dengan metode pendekatan yang intens. 

Tak ayal, terkadang dalam prosesnya para jurnalis menemui banyak kendala, mulai dari sulitnya mendapatkan narasumber utama, bahaya yang mengintai dibalik pengumpulan data, hingga tidak jarang mendapatkan persekusi dari oknum-oknum tertentu.

Artinya, untuk menyajikan sebuah tayangan atau tulisan jurnalistik investigasi tidaklah mudah. Prosesnya memakan waktu dan effort yang harus diberikan oleh si jurnalis haruslah totalitas. 

Misalnya terpaksa harus menyamar demi mendapatkan informasi, sampai menyikap kehidupan pribadi. 

Namun soal hasil akhirnya, karya jurnalistik investigasi bisa sampai mengungkap informasi terdalam sampai sisi-sisi gelap yang tak pernah bisa terjamah oleh masyarakat.

Sementara itu, pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan jurnalisme investigasi dapat membantu pengungkapan kasus hukum.