Kejagung Periksa 6 Saksi Korupsi Impor Gula


Jakarta, MI - Kejaksaan Agung melalui Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) memeriksa 6 orang saksi, terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015-2016, Rabu (12/3/2025).
"6 saksi yang diperiksa yakni PI selaku Senior Manager Bahan Pokok PT PPI (Persero) tahun 2015-2016; ALV selaku Direktur CV Putra Benteng; DSHG selaku Legal PT Sentra Usahatama Jaya/Semora Group," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, Rabu (12/3/2025).
"HG selaku Direktur PT Berkah Manis Makmur tahun 2011- 2017; KAK selaku Manager Accounting PT Berkah Manis Makmur; dan EW selaku Marketing PT Berkah Manis Makmur," timpal Harli.
Kata Harli, keenam orang saksi tersebut diperiksa terkait dengan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015- 2016 atas nama tersangka TWN dkk.
"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud," tandas Harli.
Sebelumnya sebanyak sembilan bos perusahaan swasta ditetapkan sebagai tersangka baru dalam kasus korupsi ini.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan dikaitkan dengan alat bukti yang telah kami peroleh selama penyidikan maka tim Jampidsus memiliki bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan sembilan tersangka," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Senin (20/1/2025).
9 tersangka itu adalah TWNG selaku Direktur Utama PT AP; WN selaku Presdir PT AF; AS selaku Direktur Utama PT SUC; IS selaku Direktur Utama PT MSI; TSEP selaku Direktur PT MP; HAT selaku Direktur PT BSI; ASB selaku Direktur Utama PT KTM; HFH selaku Direktur Utama PT BFM; dan ES selaku Direktur PT PDSU.
Sembilan tersangka dikenai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana dan korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2020.
Sebelumnya, Kejagung menetapkan Tom Lembong dan Charles Sitorus sebagai tersangka. Dalam kasus ini ada beberapa istilah yang harus dipahami, yaitu gula kristal mentah (GKM), gula kristal rafinasi (GKR), dan gula kristal putih (GKP).
Mudahnya, GKM dan GKR adalah gula yang dipakai untuk proses produksi, sedangkan GKP dapat dikonsumsi langsung.
Berdasarkan aturan yang diteken Tom Lembong sendiri saat menjadi Mendag, hanya BUMN yang diizinkan melakukan impor GKP, itu pun harus sesuai kebutuhan dalam negeri yang disepakati dalam rapat koordinasi antarkementerian serta dalam rangka mengendalikan ketersediaan dan kestabilan harga GKP.
Sedangkan dalam perkara ini pada 2016 Indonesia mengalami kekurangan stok GKP seharusnya bisa dilakukan impor GKP oleh BUMN. Namun, menurut jaksa, Tom Lembong malah memberikan izin ke perusahaan-perusahaan swasta untuk mengimpor GKM, yang kemudian diolah menjadi GKP.
Kejagung mengatakan Tom Lembong menekan surat penugasan ke PT PPI untuk bekerja sama dengan swasta mengolah GKM impor itu menjadi GKP. Total ada sembilan perusahaan swasta yang disebutkan, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, PT MSI, dan terakhir PT KTM.
"Atas sepengetahuan dan persetujuan tersangka TTL (Thomas Trikasih Lembong), persetujuan impor GKM ditandatangani untuk sembilan perusahaan swasta. Seharusnya, untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP secara langsung," kata Abdul Qohar selaku Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.
Setelah perusahaan swasta itu mengolah GKM menjadi GKP, PT PPI seolah-olah membelinya. Padahal yang terjadi, menurut jaksa, GKP itu dijual langsung oleh perusahaan-perusahaan swasta itu ke masyarakat melalui distributor dengan angka Rp 3.000 lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET).
"Dari pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP, PT PPI mendapatkan fee sebesar Rp 105/kg. Kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut senilai kurang lebih Rp 400 miliar, yaitu nilai keuntungan yang diperoleh perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara," tandas Abdul Qohar.
Sementara itu, Menurut hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tanggal 20 Januari 2025, Qohar mengatakan negara mengalami kerugian sebesar Rp578 Miliar akibat kebijakan tersebut.
Sebagai bagian dari upaya pemulihan aset negara, tim penyidik telah menyita dana yang dikembalikan oleh sembilan tersangka, yaitu TWN (PT Angels Products) – Rp150,8 Miliar; WN (PT Andalan Furnindo) – Rp60,9 Miliar; HS (PT Sentra Usahatama Jaya) – Rp41,3 Miliar; IS (PT Medan Sugar Industry) – Rp77,2 Miliar; TSEP (PT Makassar Tene) – Rp39,2 Miliar; HAT (PT Duta Sugar International) – Rp41,2 Miliar; ASB (PT Kebun Tebu Mas) – Rp47,8 Miliar; HFH (PT Berkah Manis Makmur) – Rp74,5 Miliar; serta ES (PT Permata Dunia Sukses Utama) – Rp32 Miliar.
Meskipun tak ada uang hasil sitaan ke Tom Lembong dalam kasus ini, ia tetap dinyatakan sebagai tersangka karena merupakan regulator yang memberikan kebijakan izin impor gula tanpa rekomendasi dan koordinasi dari pihak K/L terkait. “Ini adalah pengembalian dari sembilan tersangka. Mereka beritikad baik untuk mengembalikan,” katanya.
Meski pengembalian kerugian negara dilakukan secara sukarela, kata dia, hal tersebut tidak menghapuskan perbuatan pidana seseorang, sebagaimana diatur di Pasal 4 UU Tindak Pidana Korupsi. “Artinya bahwa walaupun ada pengembalian kerugian yang secara nyata diakibatkan perbuatan pelaku, proses hukum tetap berjalan,” jelas dia.
Adapun seluruh uang yang disita saat ini dititipkan di Rekening Penampung Lainnya (RPL) pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus di Bank Mandiri.
Sekadar tahu, dari para tersangka itu, baru Tom Lembong yang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis (6/3/2025).
Tom Lembong didakwa merugikan negara Rp 578 miliar.
Topik:
Korupsi Impor Gula Kejagung Tom Lembong