Wilmar Group 'Alumni' Kasus CPO Diduga Terlibat Kasus Beras Oplosan Rp 99 T, Izin Usahanya Kudu Dicabut!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 11 Juli 2025 15:16 WIB
Ilustrasi - Wilmar Group (Foto: Dok MI/Aswan)
Ilustrasi - Wilmar Group (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Wilmar Group yang disebut sebagai 'alumni' kasus dugaan korupsi korupsi terkait pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya kini diduga terlibat dalam kasus beras oplosan Rp 99 triliun yang kini ditangani oleh pihak kepolisian.

Pakar hukum pidana dari Universitas Borobudur (Unbor) Hudi Yusuf, begitu disapa Monitorindonesia.com, Jumat (11/7/2025) menilai praktik tersebut sangat merugikan masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit.

"Praktek ini dapat mengakibatkan biaya hidup menjadi tinggi. Perbuatan ini tidak pantas dilakukan saat ekonomi sedang tidak baik-baik saja," kata Hudi sembari menegasakan Wilmar Group harus diberikan sanksi tegas jika terbukti bersalah dalam kasus beras oplosan. 

Mirisnya, Wilmar Group sebelumnya pernah terjerat kasus korupsi terkait pemberian fasilitas ekspor CPO dan produk turunannya pada 2022, termasuk suap dalam pengkondisian perkara putusan lepas (onslag) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang ditangani Kejaksaan Agung.

Hudi Yusuf
Pakar Hukum Pidana Universitas Bung Karno (UBK), Hudi Yusuf (Foto: Dok MI/Pribadi)

"Karena itu, seyogyanya kepada 'alumni' kasus CPO ini diberikan sanksi yang berbeda dari hukuman yang pernah ada agar memiliki efek jera bila terbukti bersalah. Banyak pengusaha yang memiliki uang banyak dapat saja melakukan sesuatu untuk meringankan putusan," katanya.

Maka, tegasnya, Wilmar Group yang melakukan dugaan pelanggaran secara berulang harus diberi hukuman yang benar-benar memberi efek jera. Bahklan pencubatan izin usahanya kudu dilakukan.

"Seyogyanya diberikan putusan yang berbeda seperti tidak dapat izin untuk berusaha di bidang yang sama, pembubaran perusahaan, dan lain-lain tanpa ada keringanan dalam bentuk apa pun. Saya berpendapat sepakat dengan hal itu," tandas Hudi.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman sebelumnya membongkar praktik kecurangan dalam distribusi beras itu. Selanjutnya Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri langsung memeriksa sejumlah produsen atas dugaan pelanggaran mutu dan takaran. 

Total ada empat produsen yang diperiksa. "Betul, masih dalam proses pemeriksaan," kata Dirtipideksus Bareskrim Polri, Brigjen Helfi Assegaf, kepada wartawan di Jakarta, Kamis (10/7/2025).

Keempat produsen tersebut adalah WG, FSTJ, BPR, dan SUL/JG, tanpa merinci materi pemeriksaan yang didalami. 

Berdasarkan informasi yang dihimpun Monitorindonesia.com, bahwa produsen itu mengacu pada Wilmar Group, Food Station Tjipinang Jaya, Belitang Panen Raya (BPR), dan Sentosa Utama Lestari (Japfa Group). Ia membenarkan bahwa pemeriksaan ini turut didasari informasi dari Menteri Pertanian Amran.

Wilmar Group (WG) diperiksa terkait produk Sania, Sovia dan Fortune. Pemeriksaan dilakukan setelah Satgas Pangan Polri melakukan pengecekan dan pemeriksaan 10 sampel dari Aceh, Lampung, Sulawesi Selatan, Yogyakarta, dan Jabodetabek.

Lalu PT Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ) terkait produk merek Alfamidi Setra Pulen, Beras Premium Setra Ramos, Beras Pulen Wangi, Food Station, Ramos Premium, Setra Pulen, dan Setra Ramos. Pemeriksaan dilakukan setelah mengambil sembilan sampel dari Aceh, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Jawa Barat.

Kemudian PT Belitang Panen Raya (BPR) dengan produk Raja Platinum, dan Raja Ultima. Pemeriksaan setelah tim penyidik mengambil tujuh sampel yang bersumber dari Sulawei Selatan, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Aceh, dan Jabodetabek.

Sementara PT Sentosa Utama Lestari/Japfa Group (SUL/JG). Pemeriksaan dilakukan usai mengambil tiga sampel dari Yogyakarta dan Jabodetabek. 

Menteri Amran telah mengambil langkah tegas dengan melaporkan 212 produsen beras yang diduga melakukan praktik pengoplosan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung. 

Temuan itu berdasarkan investigasi terhadap 268 merek beras, yang dilakukan bersama berbagai pemangku kepentingan. "Temuan ini telah dilaporkan secara resmi ke Kapolri dan Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti," ujar Amran di Jakarta, Jumat (27/6/2025).

Amran menjelaskan, dari hasil pemeriksaan 13 laboratorium di 10 provinsi, ditemukan 85,56 persen beras premium tidak sesuai mutu, lalu sebanyak 59,78 persen dijual di atas harga eceran tertinggi (HET), dan 21 persen tidak sesuai berat kemasan. "Ini sangat merugikan masyarakat," tegas Amran.

Ia menambahkan, kenaikan harga beras ini menjadi anomali karena terjadi saat produksi nasional justru meningkat. Berdasarkan data FAO, produksi beras Indonesia diperkirakan mencapai 35,6 juta ton pada 2025/2026, melampaui target nasional sebesar 32 juta ton.

Amran juga menyebut potensi kerugian konsumen akibat praktik curang ini bisa mencapai Rp99 triliun. "Kalau dulu harga naik karena stok sedikit, sekarang tidak ada alasan. Produksi tinggi, stok melimpah, tapi harga tetap tinggi. Ini indikasi adanya penyimpangan," terangnya.

Topik:

Beras Oplosan Wilmar Group CPO Korupsi Minya Goreng Korupsi CPO