Kejagung Korek Kesaksian Kusumo Martanto Bos Blibli soal Korupsi Chromebook

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 13 September 2025 22:36 WIB
Kusumo Martanto (KM), Presiden Direktur PT Global Digital Niaga (GDN) (Foto: Istimewa)
Kusumo Martanto (KM), Presiden Direktur PT Global Digital Niaga (GDN) (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Penyidik gedung bundar Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) mengorek kesaksian Kusumo Martanto (KM), Presiden Direktur PT Global Digital Niaga (GDN), perusahaan yang membawahi Blibli dan Tiket.com terkait dengan kasus dugaan korupsi Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, Teknologi (Kemendikbudristek) pada tahun 2019-2022, pada Selasa (9/9/2025).

"KM selaku Presiden Direktur PT Global Digital Niaga," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna dikutip Sabtu (13/9/2025).

Kejagung memeriksa ANW selaku Direktur PT Tritunggal Jaya Komputindo; Manager Sales dari PT Aneka Sakti Bakti (ASABA) berinisial AK; dan Consultant Specialist PT Tera Data Indonesia Tbk, LSL.

Adapun Blibli adalah bagian dari grup bisnis Djarum yang telah menjadi perusahaan publik sejak tahun 2022. Perusahaan GDN beroperasi dengan model bisnis omnichannel, mengintegrasikan layanan daring (e-commerce) dan luring (toko fisik) untuk berbagai jenis konsumen.

Pemeriksaan keempat orang saksi tersebut berkaitan dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi pada Kemendikbudritek RI dalam Program Digitalisasi Pendidikan tahun 2019-2022 atas nama tersangka MUL. "Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud," tandas Anang.

Sebelumnya, Kejagung menetapkan lima tersangka dalam kasus ini, yakni Jurist Tan (JT) eks Staf Khusus Mendikbudristek, Ibrahim Arief (IBAM) mantan konsultan teknologi Warung Teknologi Kemendikbudristek, Mulyatsyah (MUL) eks Direktur SMP Kemendikbudristek, Sri Wahyuningsih (SW) eks Direktur SD Kemendikbudristek, serta Nadiem Anwar Makarim (NAM) eks Mendikbudristek. 

Mulyatsyah dan Sri Wahyuningsih ditahan di rutan, Ibrahim Arief menjadi tahanan kota karena sakit jantung kronis, sementara Jurist Tan masih buron setelah kabur ke luar negeri. Nadiem sendiri ditetapkan sebagai tersangka pada 4 September 2025 dan ditahan di Rutan Salemba, cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Kasus ini berawal pada Februari 2020 ketika Nadiem, saat itu menjabat Mendikbudristek, menggelar pertemuan dengan pihak Google Indonesia. Pertemuan tersebut membahas produk Google, salah satunya Google for Education dengan perangkat Chromebook. 

Dari serangkaian pertemuan, disepakati bahwa produk Google seperti ChromeOS dan Chrome Devices Management (CDM) akan digunakan sebagai standar dalam pengadaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Kesepakatan itu ditindaklanjuti pada 6 Mei 2020 melalui rapat tertutup via Zoom yang dipimpin Nadiem bersama jajarannya, termasuk Dirjen PAUD Dikdasmen, Kepala Badan Litbang, serta dua staf khusus Jurist Tan dan Fiona Handayani. Rapat tersebut membahas rencana pengadaan TIK menggunakan Chromebook sesuai instruksi Nadiem, padahal program pengadaan belum dimulai.

Nadiem juga menjawab surat Google terkait partisipasi pengadaan TIK. Surat serupa sebelumnya tidak pernah direspons oleh Mendikbud pendahulu, Muhadjir Effendy, karena uji coba Chromebook pada 2019 dinilai gagal di sekolah-sekolah daerah 3T (terluar, tertinggal, terdalam). Atas instruksi Nadiem, pejabat Kemendikbud seperti Sri Wahyuningsih dan Mulyatsyah menyusun juknis dan juklak dengan spesifikasi yang mengunci sistem ChromeOS. Tim teknis juga membuat kajian teknis yang menetapkan ChromeOS sebagai standar.

Pada Februari 2021, Nadiem menerbitkan Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021 tentang Petunjuk Operasional Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2021. Dalam lampirannya, spesifikasi ChromeOS kembali dipertegas sehingga semakin mengunci pengadaan pada produk tertentu.

Perbuatan tersebut diduga melanggar Peraturan Presiden Nomor 123 Tahun 2020, Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 jo. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021, serta Peraturan LKPP Nomor 7 Tahun 2018 jo. Peraturan LKPP Nomor 11 Tahun 2021 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Kerugian negara akibat pengadaan Chromebook ini diperkirakan mencapai Rp1,98 triliun, meski angka pasti masih menunggu hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Catatan: Redaksi Monitorindonesia.com mencantumkan foto dan nama saksi menjunjung asas equality before the law. Bahwa prinsip fundamental negara hukum yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, tanpa memandang status, jabatan, atau kekuasaan. Maka pihak bersangkutan jika keberatan, redaksi Monitorindonesia.com terbuka melayani hak jawab dan/atau bantahan.

Topik:

Kejagung Korupsi Chromebook Kusumo Martanto