Alat Bukti Jerat Nadiem Tersangka Tak Cukup Kuat


Jakarta, MI - Tim hukum mantan Menteri Pendidikan, Riset, dan Kebudayaan (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim (NAM) menolak proses penetapan tersangka yang dilakukan oleh Kejagung terhadap kliennya.
Hal itu disampaikan tim hukum Nadiem, Dodi S Abdulkadir dalam replik atas jawaban yang disampaikan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam sidang lanjutan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (7/10/2025).
Menurutnya, alat bukti yang digunakan Kejagung untuk menetapkan tersangka tidak cukup kuat. "Kami dengan tegas membantah dalil Termohon (Kejagung) yang menganggap tindakannya telah sesuai prosedur. Penetapan tersangka terhadap klien kami tidak memiliki dasar hukum yang kuat karena syarat utama, yaitu dua alat bukti yang sah, belum terpenuhi," kata Dodi.
Salah satu pilar utama dalam hukum acara pidana adalah penetapan tersangka harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah. Ia menuding, Kejagung dalam penetapan tersangka pada 4 September 2025, tidak pernah menjelaskan secara rinci bukti yang dimiliki dan kaitan langsung bukti tersebut dengan Nadiem.
Kata dia, tidak adanya hasil audit resmi dari lembaga negara yang berwenang untuk menghitung kerugian negara, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Tanpa perhitungan resmi dari BPK atau BPKP, maka unsur utama dari Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor tidak terpenuhi. Artinya, penetapan tersangka ini menjadi prematur dan cacat secara materiil," lanjutnya.
Menurutnya, asumsi atau audit internal sementara tidak dapat dijadikan dasar hukum yang sah untuk menuduh seseorang telah merugikan negara.
Sementara Kejagung sebelumnya hanya menyatakan dari hasil audit sementara dan keterangan saksi internal kementerian yang hanya bersifat dugaan atau persepsi administratif, bukan bukti tindak pidana.
Menurutnya, lemahnya bukti diperkuat dengan adanya dugaan pelanggaran prosedur hukum lainnya. Dodi menjelaskan, Nadiem tidak pernah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Padahal, SPDP merupakan surat pemberitahuan resmi kepada seseorang bahwa dirinya sedang dalam proses penyidikan, yang merupakan hak konstitusional terlapor untuk mempersiapkan pembelaan diri sejak dini.
"Pemohon tidak pernah menerima SPDP dari Termohon. Ketiadaan SPDP tersebut mengakibatkan seluruh proses penyidikan menjadi cacat formil, karena melanggar hak konstitusional Pemohon untuk mengetahui dan membela diri sejak dini," jelas Dodi.
Berdasarkan kelemahan pada aspek pembuktian dan serangkaian cacat prosedur tersebut, tim kuasa hukum Nadiem memohon kepada hakim praperadilan untuk mengabulkan permohonan seluruhnya.
"Kami juga meminta hakim memerintahkan Kejaksaan Agung untuk menghentikan seluruh proses penyidikan dan memulihkan hak-hak, kedudukan, serta martabat klien kami," tandasnya.
Adapun, permohonan praperadilan ini dilayangkan setelah Nadiem Anwar Makarim ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam Program Digitalisasi Pendidikan periode 2019–2022.
Nadiem terjerat proyek pengadaan 1,2 juta unit laptop untuk sekolah di seluruh Indonesia, khususnya wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), dengan nilai anggaran mencapai Rp 9,3 triliun.
Kejagung menemukan bahwa pengadaan laptop tersebut menggunakan sistem operasi Chrome atau Chromebook. Meski demikian, kebijakan ini dinilai tidak efektif untuk menunjang pembelajaran di daerah 3T yang sebagian besar belum memiliki akses internet memadai.
Selain Nadiem, Kejagung juga menetapkan empat tersangka lainnya. Mereka adalah Mulyatsyah selaku Direktur SMP Kemendikbudristek 2020–2021, Sri Wahyuningsih selaku Direktur SD Kemendikbudristek 2020–2021, mantan staf khusus Mendikbudristek Jurist Tan, serta mantan konsultan teknologi di Kemendikbudristek Ibrahim Arief.
Menurut hasil perhitungan awal, akibat perbuatan para tersangka, negara diduga mengalami kerugian hingga Rp 1,98 triliun. Kerugian itu terdiri dari dugaan penyimpangan pada pengadaan item software berupa Content Delivery Management (CDM) sebesar Rp 480 miliar dan praktik mark up harga laptop yang diperkirakan mencapai Rp 1,5 triliun.
Topik:
Nadiem Makarim Kejagung Korupsi ChromebookBerita Sebelumnya
PNS BPPKB Way Kanan Ngaku Jaksa kini Tersangka Korupsi
Berita Selanjutnya
Tangkap Mafia Tambang di WIUP PT Bososi Pratama Konut!
Berita Terkait

Usai Eks Dirut PLN Fahmi Tersangka di Polri, Muncul Desakan Kejagung Tuntaskan Korupsi Tower Transmisi PLN Rp 2,2 T
12 jam yang lalu

Kejagung Usut Dugaan Penyelundupan Logam Tanah Jarang di Kasus Timah Rp 300 T
6 Oktober 2025 17:15 WIB