Apa Bisa Arman Hanis Cs 'Selamatkan' Vonis Mati Ferdy Sambo?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 19 Februari 2023 22:12 WIB
Jakarta, MI - Saat terjadi kasus dugaan tindak pidana, seorang tersangka atau terdakwa biasanya didampingi pengacara atau advokat. Meski demikian, dibenak masyarakat tersirat pertanyaan mengapa pengacara masih membela orang yang salah. Pertanyaan tersebut muncul lantaran tersangka atau terdakwa tampak benar-benar melakukan kesalahan, meski pengadilan belum menjatuhkan putusan. Berangkat dari hal tersebut, Monitor Indonesia merangkum apa yang sebenarnya tugas dari seorang pengcara tersebeut. Tujuannya agar masyarakat tidak memandang pengacara itu membela kepada mereka yang bersalah atau terseret suatu tindak pidana. Pengertian pengacara atau advokat itu sendiri tertuang dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Menurut UU tersebut, advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU Advokat. Adapun jasa hukum yang dimaksud, antara lain: .Memberikan konsultasi hukum .Memberikan bantuan hukum .Menjalankan kuasa .Mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien Soal istilah klien, perlu juga dikathui bahwa; Klien lebih tepat diterapkan pada kasus perdata, sedangkan untuk kasus pidana adalah terdakwa . Yang bisa dinyatakan bersalah adalah terdakwa, bukan klien. Pengacara yang membela terdakwa disebut Penasehat Hukum, sedangkan pengacara yang membela klien dalam kasus perdata disebut Kuasa Hukum. Jadi peranan seorang Pengacara atau Advokat di Pengadilan itu bisa berfungsi sebagai penasehat hukum untuk kasus pidana , bisa juga berfungsi sebagai kuasa hukum untuk kasus pidana. Kalau pengacara berfungsi sebagai penasehat hukum, maka saat bertugas di ruang sidang. Ia juga harus mengenakan jubah hitam dengan kalun sleyer warna putih. Sedangkan kalau sedang menjalankan tugasnya sebgai kuasa hukum, ia harus mengenakan pakaian setelan Jas dengan dasi atau baju tanpa jas dengan dasi. Menjadi seorang pengacara tentunya tidak begitu mudah. Pasalnya, dalam masa kerjanya, seorang pengacara dibutuhkan jasanya untuk mendampingi klien mendapatkan hak-haknya terlepas ia bersalah atau tidak di depan hukum. Selain berhak menyatakan pendapat dan membela klien, pengacara harus mematuhi kode etik profesinya. Lebih dari itu, untuk menjadi seorang pengacara harus melewati tahapan pendidikan serta ujian tertent. Lalu, apakah mampu menyelamatkan klien? Perlu diketahui, bahwa tugas seorang pengacara sebagai penasehat hukum bagi terdakwa adalah membela hak hak dan kepentingan seorang Terdakwa berdasarkan Hukum Acara Pidana ( KUHAP ). Di antaranya; Mendengarkan Surat Dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum, mengajukan eksepsi atau sanggahan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum, mengajukan permohonan penangguhan bagi terdakw, kalau terdakwanya ditahan oleh Kejaksaan . Kemudian, menanyakan kepada saksi saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tentang hal hal yang berkaitan dengan isi dakwaan demi kepentingan terdakwa, memeriksa barang barang bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum yang terkait dengan perbuatan terdakwa. Tak hanya itu saja, kuasa hukum juga harus mengajukan pembelaan sekaligus sanggahan terhadap Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang ditujukan kepada terdakwa atas perbuatan yang dilakukan terdakwa. Kemudian, menunggu putusan hakim. Jika sudah ada putusan hakim, ia memeriksa dan meneliti dengan cermat bunyi amar putusan tersebut, apakah menerima putusan atau menolak putusan. Dan jika di rasa hukumanannya tidak sesuai dengan harapan terdakwa, maka atas persetujuan terdakwa dapat mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan yang lebih tinggi. Mengajukan upaya banding, seorang pengacara harus menyusun memori banding dan kemudian memori banding tersebut disampaikan ke Pengadilan Tinggi melalui pengadilan Negeri tempat perkara disidangkan. Jika tidak puas atas putusan Pengadilan Tinggi, maka dapat mengajukan upaya hukum permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pengacara harus menyusun dan memasukkan Memori Kasasi ke Mahkamah Agung RI melalui pengadilan tempat perkara disidangkan. Hal ini, merupakan syarat utama untuk mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung RI, Tak sampai disitu saja, namun setelah perkara pidananya diputus oleh Mahkamah Agung RI, masih ada lagi upaya hukum luar biasa yaitu yang disebut permohonan Peninjauan Kembali. Permohonan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI tetap ditujukan ke MA, namun tetap pada prosedurnya melalui pengadilan Negeri tempat perkaranya disidangkan. Setelah ada putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung RI, jika tetap dinyatakan bersalah, maka terdakwa harus menjalani masa hukumannya hingga dengan status barunya yaitu sebagai Narapidana. Jika belum atau sedang menjalani masa penangguhan penahanan, maka setelah diputus bersalah terdakwa dieksekusi untuk menjalani masa hukumannya. Misalnya dijatuhi hukuman perjara selama 5 tahun, maka dapat menjalani hukumannya selama lima tahun dengan potongan masa hukumanan selama di dalam penjara, mungkin karena kelakuan di dalam perjara baik atau sudah menjalani masa hukuman selama 2/3 masa hukuman. Lalu bagaimana dengan soal divonis mati seperti yang telah dijatuhkan kepada terdakwa pembunuhan Brigadi Yosua, Ferdy Sambo? Vonis mati untuk mantan jenderal bintang dua, Ferdy Sambo belum final. Mantan Kadiv Propam Mabes Polri disebut telah mengajukan banding atas putusan majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Yakni melalui kuasa hukumnnya Arman Hanis Cs. Selain itu, Ferdy Sambo juga memiliki kesempatan untuk melakukan upaya hukum selanjutnya seperti kasasi hingga mengajukan permohonan grasi ke Presiden. Upaya hukum lain di luar jalur yudikatif adalah meminta keringanan hukuman dari presiden melalui grasi. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden. Hal ini tertuang dalam UU Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi. Permohonan grasi bagi terpidana merupakan hal yang umum. Presiden Joko Widodo pernah memberikan grasi kepada lima tahanan politik Papua. Tetapi di saat bersamaan, Jokowi juga pernah menolak grasi terpidana mati dalam kasus narkoba. Ferdy Sambo memiliki hak yang sama dengan narapidana mati lainnya untuk mengajukan grasi. 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879); Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Pada saat ini pengaturan mengenai grasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi. Undang-Undang tersebut dibentuk pada masa Republik Indonesia Serikat sehingga tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yang berlaku pada saat ini dan substansinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat. Dalam mengatur tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi, Undang-Undang tersebut di samping tidak mengenal pembatasan putusan pengadilan yang dapat diajukan grasi, juga melibatkan beberapa instansi yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system) dan mengatur pula penundaan pelaksanaan putusan pengadilan jika diajukan permohonan grasi. Hal tersebut mengakibatkan begitu banyak permohonan grasi yang diajukan dan adanya penyalahgunaan permohonan grasi untuk menunda pelaksanaan putusan sehingga penyelesaian permohonan grasi memakan waktu yang lama dan terlalu birokratis. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 perlu diganti dengan Undang-Undang yang baru. Pembentukan Undang-Undang ini bertujuan menyesuaikan pengaturan mengenai grasi dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa Presiden memberikan grasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana. Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai prinsip-prinsip umum tentang grasi serta tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi. Ketentuan mengenai tata cara tersebut dilakukan dengan penyederhanaan tanpa melibatkan pertimbangan dari instansi yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana. Untuk mengurangi beban penyelesaian permohonan grasi dan mencegah penyalahgunaan permohonan grasi, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembatasan putusan pengadilan yang dapat diajukan grasi paling rendah 2 (dua) tahun serta ditegaskan bahwa permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan, kecuali terhadap putusan pidana mati. Di samping itu, ditentukan pula bahwa permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali untuk pidana tertentu dan dengan syarat tertentu pengajuan permohonan grasi dapat diajukan 1 (satu) kali lagi. Pengecualian tersebut terbuka bagi terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut, atau bagi terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima. (La Aswan) #Apa Bisa Arman Hanis Cs 'Selamatkan' Vonis Mati Ferdy Sambo?