Pajak Bumi Limo Depok Naik Enam Kali Lipat dalam Setahun, Layak Dapat "Guinness Book of Record"

Nicolas
Nicolas
Diperbarui 9 Maret 2023 02:54 WIB
Depok, MI - Pajak Bumi di Desa Limo, Depok, Jawa Barat naik enam kali lipat dalam setahun. Lompatan pajak fantastis tersebut membuat masyarakat terheran-heran apalagi saat ini sedang mancuat isu kemewahan pegawai dan pejabat pajak yang memiliki mutasi rekening hingga Rp 500 miliar. Lompatan pajak bumi itu diungkap oleh pemilik lahan di Desa Limo Fickner Sinaga. Dia menjelaskan akhir Februari 2023. "Kami yang juga orang biasa, tinggal di desa Limo, beroleh kejutan, membuat jantung berdegup kencang. Tentang apakah gerangan?. Lagi lagi tentang pajak," ujar Fickner Sinaga akhir pekan lalu. Dia mengatakan, kemacetan arah ke Jakarta menjadi pemicu dirinya dan keluarga membeli tanah di Limo. Keluarga besar memilih berdiam di pinggiran kota saja. Jika ingin ke Jakarta, Banten atau Jawa Barat, lewat pinggiran saja. Beruntung, ada jalan tol yang hampir rampung dari kota wisata ke Bandara Soekarno-Hatta. Hanya tersisa seksi 2, Pamulang-Cinere, 3,64 km. Plus 2,19 km, seksi 3 B Krukut-Limo. Total 5,83 km, konon akan dioperasikan menjelang lebaran nanti. Seakan hadiah lebaran tahun ini buat mereka yang tinggal di pinggiran, kawasan antara DKI Jakarta dan Jawa Barat. "Terima kasih kami buat pemerintah. Namun, kami sudah lebih dulu mendapat hadiah lebaran yang pahit luar biasa," ucap Fickner. Sejatinya, para warga terdampak pembebasan lahan tol  itu, sudah merasa fair atas ganti untung yang diberikan pengelola jalan tol. Lahan yang dibebaskan untuk tol, dekat jalan aspal, dibayar sekitar Rp 6 juta/m2 dan paling murah Rp 4 juta/m2. Warga tentu berharap dapat membeli lahan pengganti dengan harga yang sama dan syukur jika ada lebihnya. Tapi faktanya, tol belum operasi, NJOP lahan sekitarnya, naik tinggi sekali. "Kupikir, lompatan tertinggi yang pernah ada. Mungkin bisa masuk rekor dunia. Guinness Book of Record. NJOP lahan di desa jalan tak beraspal ini naik drastis dari Rp 1.032.000/m2 menjadi Rp 6.195.000/m2," ucap Ficner lagi. "Sungguh spektakuler. Kok tega amat ya. Sekejam itu. Mana nurani pejabat yang terlibat nenentukan lompat super tinggi itu," sambungnya. Kenaikan NJOP itu membuat masyarakat di Desa Limo kelabakan membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Masyarakat awamnya, hampir pasti, tak sanggup membayar NJOP bumi, Rp 1 juta/m2 saja, sulit. Apalagi masih ada residu dampak pandemi ke perekonomian rakyat. Dan kini selang setahun, harus bayar enam kalinya. "Kita lihat saja nanti. Bisa-bisa tak bayar pajak. Bukan karena pengaruh ajakan "boikot pajak". Murni karena memang tak mampu," ucapnya. Fickner pun bercerita awal mula membeli lahan itu dari obrolan sesama sahabat. Seniornya di kantor lama di usia senjanya, ingin beramal untuk umat. Khususnya keluarga duafa yang perlu dibantu. Selain buat keluarga intinya. Seniornya itu, punya lahan kebun sekitar 2.000 meter persegi. Sudah lama dimiliki.  Hampir tiga puluh tahun lalu. "Kami mau menjualnya, jika ada pembeli, ujar senior itu. "Mau dijual di harga berapa per meter persegi, tanyaku. Ikut harga pasar saja, jawabnya. Kebetulan Fickner memiliki keluarga besar. Berniat tinggal tak berjauhan. Rame-rame berdiam di desa itu. Nanti, akan dekat ke pintu jalan tol. Itu pertimbangannya. "Aku berminat. Lahan seluas 2.000 m2 itu, cocok untuk tujuh keluarga, pikirku waktu itu. Untuk saya dan 4 puteri dan 1 putera. Satu kaveling lagi untuk sahabat. Tentu sesudah mengalokasikan 40% nya untuk fasos dan fasum, antara lain untuk badan jalan. Jadi rata rata kaveling bersih, 150 m2," terang Ficner. Kala itu, agar diperoleh harga wajar, fair dan adil untuk kedua belah pihak, dilibatkan tetua kampung. Akhirnya, deal di angka Rp 1,5 juta/m2. Total Rp 3 milyar, termasuk pajak transaksi dan biaya notaris standar. "Jadi bersihnya, sebenarnya sekitar Rp 1,3 juta/m2.  Dana tunai kami terbatas. Sepakat dibayar dalam dua termin. Beres. Transaksi berlangsung di kantor notaris. Masing masing pihak membayar pajak transaksi," katanya. Sesuai aturan, Pajak penjual dikenakan 2,5 %. Pajak pembeli 5% dari nilai transaksi sesudah dikurangi Rp 60 juta. Semua berdasar ke NJOP sebesar Rp 1.032.000/m2.  Biaya notaris 1%, dibagi dua. Hingga disini, tak ada masalah. Puteri bontot Fickner memulai dengan membangun rumah di atas kaveling seluas 150 meter persegi. Baru saja tuntas. Dan ditempati. Nanti prosesnya, lewat mekanisme hibah atau diwariskan. Niat nya memang begitu. Rencana Fickner pun akan membangun rumah di kaveling sampingnya. Transaksi, tak perlu. Karena akan dibangun di atas lahan sendiri. Sertifikat sudah atas nama sendiri. Hasil pemecahan di BPN dengan biaya pemecahan sertifikat. Giliran transaksi dengan seorang sahabat untuk satu kaveling 180 m2. Satu satunya, di luar keluargaku. Deal di harga Rp 4 juta/m2 kurang dikit. Diposes di notaris. Dan malapetaka itu pun datang. Saat tanda tangan Akte Jual Beli, hari Senin 27 Februari 2023, notaris berujar, ada info bahwa NJOP naik drastis, menjadi Rp 6.195.000/m2. "Kemarin, sungguh aku masih tak percaya. Masak lompatnya setinggi itu. Namun, selang sehari, hari ini Selasa, 28 Februari 2023, terkonfirmasi sudah. Dipaksa Berbohong Diperoleh kepastian, bahwa sinyalemen itu betul. NJOP tahun ini, sebesar enam kali NJOP tahun sebelumnya. Bak tersambar petir. Namun masih berharap, semoga angka ini salah. Mistype.. Apa tak salah ya, negara akan "disubsidi wajib pajak". Nilai transaksi Rp 4 juta/m2. Juga sesuai harga pasar. Riil. Tapi kini, beban pajak pembeli dan penjual berdasar ke NJOP Rp 6 juta/m2," katanya. Dan kedua belah pihak harus berbohong?. Harga riil, Rp 4 juta, namun harus diakui (dengan bodohnya) seharga Rp 6 juta. Dipaksa berbohong, dan rugi lagi. Aneh bin ajaib. Jika pun nanti ada koreksi, kami sudah terlanjur terluka. Terzolimi. Masak lahan kebun rakyat dengan jalan tanah (tak beraspal) itu, NJOP sebesar Rp 6 juta/m2. Sementara rumah di komplek perumahan megapolitan, asri,  bagus, beraspal hotmix, yang kami tempati sekarang, tak sampai Rp 6 juta/m2. NJOP tanah di jalan Cinere Raya, saja sekitar Rp 3,1 juta/m2. "DPRD Kota Depok tolong turun tangan. Kami mengadu akan tindakan sewenang wenang ini. Silahkan dicek langsung di lapangan. Tak pantas wajib pajak yang patuh, mensubsidi negara," katanya. Bagi Fickner, patuh membayar pajak yang wajar saja, seharusnya sudah harus di apresiasi. Dia pun meminta pihak pajak yang terlibat dalam penentuan "NJOP aneh" ini, harus dicek integritasnya. Apa motifnya. Dimana etos kerja profesionalnya," tandas Fickner. (Lin) #Pajak Bumi #NJOP naik Enam Kali Lipat Setahun