Prof John Pieris Soal Hibah Rp 270 M ke Kejati DKI: Harus Dibiayai APBN, Tak Boleh Hibah dari Pemda

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 28 Maret 2023 02:56 WIB
Jakarta, MI - Pakar Hukum Tata Negara John Pieris menyoroti kucuran anggaran (APBD) oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk pembangunan gedung Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta sekitar Rp 270 miliar. Hibah itu terdiri dari Rp 212 miliar untuk pembangunan gedung dan pengawasan serta meubelairnya Rp 56,7 miliar. Menurutnya, tidak ada salahnya jika Pemprov DKI Jakarta merasa Kejati berada di wilayah DKI mau menghibahkan anggaran itu, sepanjang uang itu dimanfaatkan untuk pembangunan itu, tentunya lebih besar dari rancangan semula yang dibiayai oleh APBN. Akan tetapi, tegas dia, seharusnya publik mengetahui khususnya warga DKI Jakarta, agar tidak menimbulkan opini-opini liar yang tentunya juga berdampak pada Pemprov DKI Jakarta dan korps adiyaksa itu sendiri. "Tetapi kalau ada dugaan bahwa itu harus dibiayai Kejagung, tetapi ada hibah dari Pemprov DKI, itu harus dibuka dipublik, harus dibuka. Berarti ada double anggaran, sehingga anggaran dua kali lipat. Nah yang dua kali lipat itu larinya kemana harus dibuka. Atau kah bantuan dari pusat itu pemanfaatannya harus dibuka ke publik," kata John Pieris kepada Monitor Indonesia, Senin (27/3) malam. "Karena publik berhak untuk mengetahui mengenai good governance. Sehingga DPRD DKI mestinya meminta semacam pertanggungjawaban keuangan secara publik untuk mengatasi masalah ini." sambungnya. Pemprov DKI Jakarta sangat bangga atas dana hibah yang diperuntukkan ke institusi penegak hukum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta itu. Anggarannya pun dialokasikan ditengah pandemi Covid-19 lalu untuk membangun kantor megah tersebut. Padahal, seharusnya dimasa Covid-19 itu, Pemprov DKI Jakarta lebih memprioritaskan warga. John Pieris menduga ada implikasi dari pemberian hibah ini jor-joran kepenegak hukum ini. "Ewuh pakewuh itu pasti muncullah. Bisa saja pihak Kejaksaan sebagai penyidik terhadap masalah korupsi yang dilakukan pemprov DKI, dia bisa bermain mata dengan Pemda untuk menutupi kecurangan-kecurangan atau ketidak terbukaan anggaran yang harus dipertanggungjawabkan secara institusional kepada publik," bebernya. "Nah udah, kalau sudah seperti ini ada maksud tertentu. Pasti ada sesuatu udang dibalik batu. Mudah-mudahan saya salah ya. Misalnya ya, saya tidak menuduh," tambahnya. Misalnya, jelas dia, ada dugaan korupsi di lingkup Pemprov DKI bisa jadi Kejati merasa berutang budi. Lantas ini tidak dilanjutkan ke ranah pidana misalnya yang menjadi tanggungjawab Kejaksaan sebagai penyidik. "Ada beban moral yang tinggi dari pihak Kejati DKI Jakarta, karena dia sudah mendapatkan dana atau hibah dari Pemprov DKI begitu. Jadi dia harus ditertibkan sebetulnya," ungkapnya. John Pieris kembali menegaskan, bahwa sebenarnya kalau instansi vertikal itu biayanya harus APBN, tidak boleh dari APBD. "Gak boleh dalam hibah sekalipun sebetulnya gak boleh. Tapi tergantung dari Kajati DKI kan begitu mau terima hibah itu gitulah," ujarnya. Diketahui, sebagai pemenang tender dalam pembangunan Gedung Kejati DKI Jakarta adalah PT Amarta Karya (Persero) yang memenangkan tender ini senilai Rp 208.788.827.912,21 dari pagu Rp 255.653.411.643. Dengan jangka waktu pelaksanaan 394 hari kalender. Kontraktor BUMN ini didampingi konsultan pengawas dengan anggaran Rp 4 miliar. Sehingga anggaran untuk kantor megah ini menyedot APBD DKI Rp 212 miliar lebih. John Pieris milihat dari sisi penawaran kontraktor yang dimenangkan 99,59% tersebut kuat dugaan sarat KKN. "Indikator tersebut bukti kuat dugaan KKN diproyek hibah ini dari fakta penawaran yang 99,59% dari HPS. Jadi indikator ini sudah sangat jelas ya. Saya kira orang orang gak usahlah, orang orang yang elit ini berkelit. Semua juga bisa memaknai fakta itu," tutup Guru Besar hukum tata negara UKI ini. (Sabam Pakpahan)