OECD: Penerimaan Pajak Indonesia Terendah di ASEAN

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 29 November 2024 12:44 WIB
Penerimaan Pajak Indonesia Terendah di ASEAN (Foto: Ist)
Penerimaan Pajak Indonesia Terendah di ASEAN (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengungkapkan bahwa penerimaan pajak Indonesia merupakan yang terendah di ASEAN. Secara historis, rendahnya penerimaan pajak ini membatasi kemampuan pemerintah untuk membiayai program-program prioritas.

Pernyataan tersebut disampaikan dalam Survei Ekonomi OECD Indonesia 2024, yang dirilis pada November 2024. OECD menilai bahwa rasio pajak Indonesia perlu terus ditingkatkan.

Menurut OECD, sebagian besar penerimaan pajak Indonesia saat ini masih bergantung pada pajak penghasilan badan (PPh badan) dan pajak atas barang dan jasa (PPN).

"Sebagaimana disampaikan dalam Economic Surveys OECD terdahulu dan oleh IMF, strategi pendapatan jangka menengah akan memfasilitasi peningkatan rasio pajak terhadap PDB. Reformasi lebih lanjut atas PPN, cukai, pajak penghasilan, dan pajak properti serta jaminan sosial perlu menjadi perhatian utama," demikian bunyi laporan OECD.

Untuk mengatasi masalah rendahnya penerimaan pajak, OECD memberikan sejumlah saran kepada pemerintah Indonesia.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Laporan OECD mencatat bahwa bisnis dengan omzet di bawah US$300 ribu masih dibebaskan dari PPN. Ambang batas ini lebih tinggi daripada di kebanyakan negara OECD, serta jauh lebih tinggi dari ambang batas Thailand dan Filipina, yang hanya sekitar US$50 ribu,

"Penurunan ambang batas PPN, serta pengurangan jumlah sektor yang tidak dikenakan PPN, akan meningkatkan penerimaan PPN dari sektor-sektor yang baru maupun yang sudah dikenakan," imbuh tim OECD.

Pajak lain atas barang

OECD juga menilai bahwa pajak lainnya atas barang, seperti cukai, masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.

Tim menyarankan ada peluang yang menguntungkan bagi lingkungan maupun pajak terkait polusi di Indonesia. Peluang penerimaan pajak itu adalah dengan menaikkan cukai BBM dan mengurangi subsidi BBM.

Selain itu, Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), yang disasarkan pada rumah tangga kaya, dinilai memiliki perhitungan yang rumit, sehingga menyebabkan pelaporan pajak yang tidak sesuai atau tidak optimal.

"Pengenaan pajak atas kepemilikan mobil, bukan atas pembelian mobil, dapat menurunkan risiko pelaporan yang tidak lengkap," ungkap laporan itu.

Hal lain, tim OECD juga memandang cukai rokok perlu dinaikkan demi peningkatan pendapatan dan capaian kesehatan. Sebab, merokok masih menjadi tantangan kesehatan yang amat besar di Indonesia dan menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan.

PPh Orang Pribadi (Pajak Penghasilan)

OECD menilai bahwa ambang batas PPh orang pribadi di Indonesia terlalu tinggi, sehingga banyak masyarakat kelas menengah yang tidak terkena kewajiban pajak ini. Saat ini, penghasilan tidak kena pajak sebesar Rp54 juta, setara dengan 65 persen dari PDB per kapita. Selain itu, tarif PPh sebesar 25 persen baru berlaku bagi pendapatan di atas Rp250 juta per tahun.

"Hasilnya, kelas menengah yang sedang tumbuh sebagian besarnya tidak terkena PPh orang pribadi," jelasnya.

Menurut laporan OECD, kondisi ini menyebabkan hanya sebagian kecil masyarakat yang membayar PPh orang pribadi. Pada tahun 2017, hanya 10 persen wajib pajak aktif membayar PPh orang pribadi, jauh di bawah rata-rata negara ASEAN yang mencapai 15 persen.

Rekomendasi OECD

Lapisan pertama PPh orang pribadi harus dibekukan sehingga turun secara riil. Sementara, ambang batas yang lebih tinggi harus diturunkan nilainya.

"Pendapatan pemerintah juga dapat ditingkatkan dengan memastikan kepatuhan pajak dan menanggulangi penghindaran pajak di kalangan masyarakat berpenghasilan tinggi," tulis OECD.

PPh Badan (Pajak Penghasilan Badan)

Untuk Tarif PPH Badan di Indonesia saat ini sebesar 22 persen, sejajar dengan rata-rata internasional sebesar 21 persen. OECD menilai bahwa alih-alih menaikkan tarif, pemerintah memiliki peluang untuk memperluas basis pajak.

jak dinilai perlu dihapuskan atau dibuat lebih terjangkau. Selain itu, insentif yang diberikan harus tetap mematuhi ketentuan Pajak Minimum Global sesuai perjanjian internasional.

Pajak properti (PBB)

Sejak 2012, pajak bumi dan bangunan (PBB) sebagian besar diserahkan kepada pemerintah daerah (pemda) sejalan dengan praktik internasional.

Namun tarif PPB Indonesia sebesar 0,3 persen dari PDB dinilai tergolong rendah dibandingkan rata-rata ASEAN, di mana tarif PBB adalah 0,5 persen dari nilai appraisal.

Selain itu, OECD juga menilai penegakan hukum pajak yang lebih tegas perlu dilakukan. Sebab, penghindaran pajak masih kerap dilakukan
perusahaan besar dan individu berpenghasilan tinggi.

"Namun peningkatan kapasitas perpajakan juga diperlukan jika ambang batas pengecualian diturunkan untuk perusahaan kecil dan individu kelas menengah (terutama untuk PPN dan PPh orang pribadi), sebagaimana dijelaskan di atas," tulis OECD.

OECD menyebut Presiden Prabowo Subianto mengisyaratkan perbaikan lebih lanjut adalah prioritas. Hal ini terutama akan melibatkan upaya-upaya digitalisasi dan penggunaan data pihak ketiga.

 

Topik:

oecd ppn pph-badan pajak-penghasilan pajak-properti