PPN 12% Berpotensi Dukung Peningkatan Inflasi 2025: Pemerintah Bersikukuh!


Jakarta, MI - Rendahnya penerimaan pajak membuat pemerintah perlu mencapai peningkatan penerimaan perpajakan setidaknya 11,48% di tahun depan demi mencapai target APBN 2025.
Itu kenapa, pemerintah bersikukuh menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan kembali menerapkan tax amnesty jilid III. Maka untuk menggolkan rencana itu Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty sudah masuk daftar prioritas prolegnas dan besar kemungkinan lolos sehingga bisa berlaku pada 2025.
Tax amnesty merupakan pengampunan pajak yang ditawarkan pemerintah kepada wajib pajak perorangan dan badan yang mengemplang pajak dengan cara membayar uang tebusan.
PPN memang terlihat proporsional lantaran semua orang dikenakan besaran pajak yang sama. Tetapi, sesungguhnya tidak demikian.
Orang kelas pekerja yang pendapatannya pas-pasan bakal lebih berat kondisinya karena pengeluaran dan pendapatannya tak lagi berimbang. Untuk bertahan hidup, pilihan mereka bisa jadi menambah utang.
Pada Rabu (27/11/2024) lalu, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Panjaitan, mengklaim kebijakan PPN menjadi 12% akan diundur dari rencana awalnya berlaku pada 1 Januari 2025.
Penundaan pemberlakuan PPN 12% dilakukan karena pemerintah, katanya, ingin memberikan bantuan sosial atau stimulus terlebih dahulu kepada masyarakat kelas menengah dan bawah.
"Ya hampir pasti diundur, biar dahulu jalan tadi yang ini [stimulus]. Ya kira-kira begitulah," kata Luhut saat ditemui mencoblos Pilkada Jakarta di Jakarta Selatan pada Rabu.
Diketahui bahwa Presiden Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi di masanya bisa mencapai 8%. Di sisi lain, Prabowo baru saja mengumumkan kenaikan upah minimum 2025 sebesar 6,5 persen.
Namun kenaikan tersebut dinilai belum jelas rinciannya seperti apa. "Kenaikan tersebut diambil dan diumumkan tanpa adanya penjelasan lebih rinci tentang proses perhitungannya sehingga didapat angka 6,5 persen," kata Pengamat Ketenagakerjaan, Timboel Siregar kepada Monitorindonesia.com, Minggu (1/12/2024).
Menurutnya, pengumuman yang disampaikan Presiden Prabowo tersebut tentunya masih menyimpan banyak pertanyaan "apa landasan yuridis yang dipakai Pak Presiden untuk menentukan kenaikan angka 6,5 persen".
Pasca putusan MK no. 168 tahun 2023, Pemerintah cq. Kementerian Ketenagakerjaan menjanjikan terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan sebagai pengganti PP no. 51 Tahun 2023 sebagai landas yuridis penetapan kenaikan upah minimum 2025. Namun hingga hari ini pun belum ada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tersebut.
"Lalu apakah angka 6,5 persen tersebut adalah angka rata-rata kenaikan upah minimum, apakah itu angka minimal, atau angka yang berlaku untuk seluruh provinsi sehingga seluruh gubernur akan menetapkan kenaikan Upah minimum sebesar 6,5 persen, tentunya ini pun masih belum jelas," kata Timboel.
Mengacu pada ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 6 Tahun 2023, penetapan upah minimum itu kewenangan Gubernur, bukan Presiden, dan penggunaan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam menghitung kenaikan upah minimum adalah inflasi dan pertumbuhan ekonomi provinsi.
Dengan kepastian adanya perbedaan inflasi dan pertumbuhan ekonomi setiap provinsi maka kenaikan upah minimum setiap provinsi pasti berbeda.
"Saya menduga kenaikan 6,5 persen bila masih mengacu pada rumus kenaikan upah minimum di PP no. 51 Tahun 2023, dengan asumsi nilai inflasi sekitar 3 persen dan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen maka nilai alfa (indeks) yang dipakai adalah 0,7 sehingga perhitungannya menjadi 3 persen + (5 persen x 0,7) = 6,5 persen," beber Timboel.
Apakah nilai alfa 0,7 akan menjadi acuan bagi seluruh Dewan Pengupahan Daerah untuk merekomendasikan kenaikan upah minimum ke Gubernur? Timboel menyatakan tentunya ini juga yang akan ditunggu penjelasan dari Menteri Ketenagakerjaan.

Pemerintah berjanji merujuk Putusan MK no. 168 dalam penetapan upah minimum, yang salah satu poin putusannya adalah tentang penghasilan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar, yang dapat diinterpretasikan pada komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang saat ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan no. 18 Tahun 2020, yaitu sebanyak 64 komponen KHL.
Oleh karenanya, ungkap Timboel, seharusnya nilai inflasi provinsi yang digunakan adalah nilai inflasi untuk 64 komponen KHL tersebut, yang sebaiknya diukur berdasarkan survei pasar seperti yang dilakukan pada era UU Nomor 13 Tahun 2003 dan sebelum lahirnya PP no. 78 Tahun 2015.
Masalah kenaikan upah minimum tidak berhenti pada masalah angka persentase kenaikan, tetapi juga apa yang akan dilakukan Pemerintah setelah penetapan kenaikan upah minimum oleh Gubernur.
"Saya berharap pengumuman kenaikan upah minimum 2025 oleh Presiden Prabowo seharusnya dilanjutkan dengan kemauan dan komitmen Presiden untuk membenahi Pengawas Ketenagakerjaan untuk mengawal pelaksanaan upah minimum pasca ditetapkan Gubernur," harap Timboel.
Bahwa upah minimum yang seharusnya diberikan hanya untuk pekerja dengan masa kerja di bawah setahun, pada faktanya banyak diberikan kepada pekerja dengan masa kerja di atas satu tahun. Demikian juga, masih banyak pengusaha yang membayar upah di bawah ketentuan upah minimum yang berlaku.
Untuk meningkatkan kualitas kerja Pengawas Ketenagakerjaan, penting untuk digagas lahirnya Komisi Pengawas Ketenagakerjaan yang merupakan pengawas eksternal yang mengawasi kinerja pengawas ketenagakerjaan.
Demikian juga diharapkan komitmen Presiden untuk memastikan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) mampu mengendalikan inflasi sehingga kenaikan upah minimum 2025 masih lebih tinggi dari inflasi yang terjadi.
"Bila kenaikan upah minimum 2025 di bawah tingkat inflasi yang terjadi maka upah riil buruh akan menurun, yang berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan buruh," tuturnya.
Sementara adanya kenaikan PPN menjadi 12 persen (naik sebesar 9 persen), adanya pembatasan BBM khususnya penggunaan Pertalite dan solar, persoalan geopolitik internasional yang belum stabil, kata dia, merupakan kondisi yang berpotensi mendukung peningkatan inflasi lebih tinggi di tahun 2025.
"Saya berharap kenaikan PPN menjadi 12 persen dan pembatasan BBM ditangguhkan dahulu, sampai kondisi ekonomi mulai membaik dan stabil," katanya.
Sementara kenaikan upah minimum yang ditetapkan Gubernur, kata dia, akan menjadi pro-kontra bagi pekerja dan pengusaha, yang biasanya setiap tahun akan berlanjut pada gugat menggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.
"Saya berharap Pemerintah dapat membenahi sistem pengupahan nasional kita agar isu kenaikan upah minimum tidak menjadi masalah tahunan yang terus terjadi," harapnya.
Bila nanti ada penetapan kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen yang menyebabkan terganggunya cash flow Perusahaan, maka Pemerintah dapat mengintervensi dengan memberikan Bantuan Subsidi Upah (BSU) kepada Perusahaan yang memang benar-benar tidak mampu memberikan kenaikan 6,5 persen (melalui proses audit oleh Pemerintah).
"Misalnya hanya mampu menaikkan 4 persen maka 2,5 persennya ditanggung Pemerintah," tegasnya.
Demikian juga bila inflasi lebih tinggi dari kenaikan upah minimum maka Pemerintah pun dapat memberikan subsidi harga bagi pekerja dengan upah minimum untuk membeli kebutuhan pokoknya.
"Ke depan memang penting untuk membenahi sistem pengupahan kita, dengan pelibatan Pemerintah Pusat dan Daerah. Semoga Dewan Pengupahan Nasional dan LKS Tripartit Nasional bisa merumuskannya dengan baik," tutupnya. (wan)
Topik:
PPN Upah Minimum PPN 12 Persen Inflasi PrabowoBerita Sebelumnya
Daftar Harga BBM Per 1 Desember 2024
Berita Selanjutnya
Bahlil Jangan 'Acak-acak' Ojol
Berita Terkait

Program Rumah Subisidi Melebihi Target, Presiden Prabowo: Menteri Ara Pekerja Keras!
1 Oktober 2025 01:33 WIB

Soal Prabowo Kirim Surpres Pergantian Kapolri ke DPR, Istana: Tidak Benar!
13 September 2025 21:20 WIB