Prabowo Menutup-nutupi Dugaan Korupsi Whoosh?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 10 November 2025 07:43 WIB
Presiden Prabowo Subianto (tengah) didampingi Menteri Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (kiri) dan Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi (kanan) memberi sambutan saat meresmikan Stasiun Tanah Abang Baru di Jakarta, Selasa (4/11/2025).
Presiden Prabowo Subianto (tengah) didampingi Menteri Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (kiri) dan Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi (kanan) memberi sambutan saat meresmikan Stasiun Tanah Abang Baru di Jakarta, Selasa (4/11/2025).

Jakarta, MI - Di tengah proses penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, Presiden Prabowo Subianto justru membuat pernyataan mengejutkan. Bahwa, proyek kereta cepat besutan pendahulunya Joko Widodo bukanlah masalah. Karenanya pemerintah bakal membayar cicilan uang kereta cepat sebesar Rp1,2 triliun setiap tahun.

"Pokoknya enggak ada masalah, karena itu kita bayar mungkin Rp1,2 triliun per tahun," kata Prabowo di sela-sela kunjungannya meresmikan Stasiun Tanah Abang Baru di Gambir, Jakarta, Selasa (4/11/2025).

Ia juga menyatakan, uang untuk membayar utang ke pihak China sejatinya ada. Uang tersebut, sebutnya, berasal dari hasil rampasan korupsi yang semestinya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Presiden pun meminta masalah Whoosh tidak hanya dilihat dari aspek untung-rugi. Melainkan melihat manfaat yang dirasakan masyarakat, semisal mengurangi kemacetan dan polusi.

"Duitnya ada. Duit yang tadinya dikorupsi [setelah diambil negara] saya hemat. Enggak saya kasih kesempatan. Jadi, Saudara, saya minta bantu saya semua. Jangan kasih kesempatan koruptor-koruptor itu merajalela. Uang nanti banyak untuk kita, untuk rakyat semua," kata Prabowo.

Pun, sejumlah pengamat ekonomi menilai pernyataan Presiden Prabowo Subianto seakan mencoba menutup-nutupi atau membungkam dugaan korupsi proyek Whoosh yang menelan biaya hingga Rp118 triliun itu.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menyatakan bahwa dugaan korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung sangat terang benderang.

Hal itu bisa dilacak dari keputusan mantan Presiden Joko Widodo yang tiba-tiba menunjuk China—ketimbang Jepang—sebagai pemenang proyek tersebut. Padahal kalau merujuk pada tawaran suku bunga yang diajukan China lebih mahal, ketimbang Jepang.

Pada waktu itu, Jepang menawarkan investasi kereta cepat buatannya sebesar US$6,2 miliar, di mana 75% dibiayai oleh Jepang berupa pinjaman bertenor 40 tahun dengan bunga 0,1% per tahun.

Sedangkan China, mengajukan nilai investasi lebih murah sebesar US$5,5 miliar. Tapi proposal itu belakangan berubah menjadi US$6,071 miliar dengan skema 75% didanai dari pinjaman China Development Bank dan 25% sisanya adalah modal dari konsorsium Indonesia-China. Tenor pinjamannya 40 tahun dan bunga 2% per tahun.

Dalam pengerjaannya terjadi pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1,2 miliar dengan bunga utang sebesar 3,4%.

"Yang satu [Jepang] bunganya hanya 0,1%, sedangkan yang satunya [China] bunga utangnya 2% atau 20 kali lipat lebih besar. Ini tanpa bicarakan cost overrun ya. Tanpa itu, proyek dari Jepang ini seharusnya lebih meringankan. Kenapa proyek dari China bisa dimenangkan? Ini yang seharusnya diusut," jelas Anthony Budiawan kepada Monitorindonesia dikutip pada Senin (10/11/2025).

Sementara pengamat ekonomi politik, Ichsanuddin Noorsy, sependapat. Dia menyebut "bau" dugaan korupsi kereta cepat Whoosh sangat menyengat.

Itu bisa ditelisik dari kejanggalan pertama—sama seperti yang diduga Anthony—ketika pemerintahan Joko Widodo lebih memilih China dengan dalih tidak meminta jaminan dari APBN untuk pembiayaan, tapi memasang suku bunga lebih tinggi.

"Nah, kajian keuangan ini siapa yang memutuskan sehingga berani mengambil keputusan politik memilih China? Ini yang saya bilang, timnya harus dibongkar," kata Ichsanuddin Noorsy.

Kejanggalan kedua, adalah saat terjadi pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1,2 miliar gara-gara perubahan konstruksi dan ketidakstabilan tanah.

"Pertanyaan besarnya seberapa jauh tim yang memutuskan memilih China, melakukan kajian secara mendalam sehingga argumentasi pembengkakan biaya itu bisa diterima?" ungkapnya.

Kejanggalan ketiga, adanya dugaan pihak luar yang sengaja mengambil keuntungan dari perubahan keputusan pemerintah.

"Dalam bisnis biasa ada sunk cost, tapi siapa yang menikmati dalam konteks perubahan [keputusan] itu? Maka dalam konteks pergeseran dari Jepang ke China, saya menangkap ada asimetric information yang sangat besar," katanya.

Asimetri informasi adalah kondisi di mana salah satu pihak dalam suatu transaksi memiliki informasi yang lebih banyak, lebih baik, atau lebih relevan daripada pihak yang lainnya.

Kondisi itu menciptakan ketidakseimbangan kekuatan yang bisa menyebabkan keputusan yang tidak efisien. Ichsanuddin Noorsy tak mau menuduh siapa-siapa saja pihak yang patut bertanggung jawab atas dugaan penyalahgunaan kekuasan dalam proyek kereta cepat Whoosh.

KPK, menurutnya, harus segera menggandeng tim audit seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk membongkar ada-tidaknya kerugian negara maupun kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari keputusan itu. Dan, jika terdapat kerugian, seberapa besar angkanya.

"Makanya saya minta ada audit finansial. Meskipun audit untuk masuk ke China akan susah luar biasa, karena begitu mengaudit China Development Bank (CDB) kemungkinan akan tertutup. Karena ini menyangkut soal reputasi dan kredibilitas BUMN mereka [China]," pungkasnya.

Penyelidikan KPK

Setelah mantan Menko Polhukam Mahfud MD mengungkap ada dugaan tindak pidana proyek Whoosh di kanal YouTube pribadinya pada 14 Oktober lalu, KPK lantas mengumumkan tengah menyelidiki dugaan rasuah itu sejak awal 2025.

Di situ, dia mengklaim ongkos pembangunan per satu kilometer kereta cepat di Indonesia terlalu mahal, alias ada potensi penggelembungan harga.

Begitu isu dugaan mark up kereta cepat Whoosh mencuat, publik mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut kasus tersebut.

Pada awal November kemarin, KPK mengaku sudah mulai memanggil sejumlah pihak terkait penyelidikan dugaan korupsi proyek Whoosh. Namun demikian, KPK tidak bisa mengungkap siapa saja pihak yang telah dimintai keterangan.

Akan tetapi, kata juru bicara KPK Budi Prasetyo, pihak yang dimintai keterangan adalah mereka yang diduga mengetahui konstruksi perkara tersebut. Harapannya, setiap informasi yang disampaikan akan membantu lembaga anti-rasuah mengungkap dugaan korupsi dari proyek senilai Rp118 triliun itu.

"Terkait dengan materi atau pihak-pihak yang diundang untuk dimintai keterangan, saat ini kami belum bisa menyampaikan detailnya secara lengkap seperti apa. Karena ini memang masih di tahap penyelidikan,"kata Budi.

"Kami tentunya mengimbau kepada siapa saja pihak yang diundang dan dimintai keterangan terkait dengan perkara KCIC agar kooperatif dan menyampaikan informasi, data, dan keterangan yang dibutuhkan," katanya menambahkan, Senin (3/11/2025).

Topik:

KPK Whoosh Kereta Cepat Prabowo Korupsi Kereta Cepat Korupsi Whoosh