Prabowo Perlu Tarik Pajak dari Orang Super Kaya untuk Dukung Program Unggulan

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 27 Januari 2025 17:56 WIB
Presiden RI, Prabowo Subianto [Foto: Istimewa]
Presiden RI, Prabowo Subianto [Foto: Istimewa]

Jakarta, MI - Pengamat pajak mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk lebih serius menarik pajak tambahan dari orang-orang super kaya, menyusul kesulitan pemerintah dalam mencari dana untuk membiayai program-program unggulan, termasuk program makan bergizi gratis.

Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengkritik target penerimaan pajak sebesar Rp2.189,3 triliun dalam APBN 2025, yang dianggapnya terlalu optimistis. Angka tersebut mengalami lonjakan 10,07% dibandingkan dengan target penerimaan pajak dalam APBN 2024.

Fajry menyatakan bahwa angka target yang tinggi ini tampaknya mencerminkan tekad Presiden Prabowo untuk tetap memenuhi janji politik terkait program makan bergizi gratis, meskipun biaya yang dibutuhkan sangat besar. 

Merujuk pada realisasi APBN 2024, maka pemerintah butuh tambahan penerimaan pajak sebesar Rp256,9 triliun untuk memenuhi target APBN 2025.

"Pertanyaannya adalah, dari mana tambahan penerimaan sebesar itu? Untuk mencapai realisasi 2024 saja sudah susah payah. Terlebih pemerintah telah membatalkan kenaikan tarif PPN yang berpotensi menghasilkan penerimaan kurang lebih Rp80 triliun," ujar Fajry, dikutip Senin (27/1/2025). 

Dia mengatakan tidak heran apabila kemudian Prabowo memerintahkan penghematan anggaran hingga Rp306,69 triliun lewat Instruksi Presiden (Inpres) No. 1/2025. Fajry menilai efisiensi belanja saja tidak akan cukup memenuhi berbagai kebutuhan pemerintahan ke depan. Oleh sebab itu, dia mengatakan pemerintah perlu menggali sumber penerimaan baru. 

"Dengan kondisi politik yang ada perlu kebijakan pajak yang progresif. Pajak minimum bagi kelompok super kaya bisa menjadi opsi," ujarnya. 

Fajry menyampaikan bahwa opsi ini dapat diterapkan pada wajib pajak super kaya yang belum patuh. Sementara itu, wajib pajak super kaya yang telah patuh tidak akan dikenakan pajak tambahan.

Selain itu, Fajry mencatat ada piutang pajak tak tertagih dalam kisaran Rp39 triliun sampai dengan Rp44 triliun selama periode 2018-2022. Menurutnya, pemerintah perlu tegas menagih piutang pajak tersebut di tengah keterbatasan fiskal. 

"Ini perlu evaluasi, ada apa? Apakah perlu sokongan dalam penagihan?" tanyanya. 

Dia turut menagih janji politik penggalian penerimaan pajak dari sektor informal. Fajry melihat kunci kesuksesan rencana tersebut adalah kesiapan data. Dengan demikian, pembagian data antar kementerian/lembaga atau antar pemerintah dengan swasta harus berjalan dengan baik. 

Fajry juga menekankan pentingnya penerapan kebijakan non-pajak, khususnya dalam bidang kebijakan perdagangan dan industri. Dia meyakini bahwa kedua kebijakan tersebut dapat berkontribusi pada peningkatan penerimaan pajak secara tidak langsung.

Menurutnya, industri manufaktur adalah salah satu sumber pajak utama bagi negara. Namun, sektor ini tengah menghadapi tantangan besar, salah satunya akibat masuknya produk murah dari China yang mempersulit persaingan usaha.

Selain itu, keberlangsungan industri manufaktur padat karya yang berada di persimpangan bakal berpengaruh pada struktur tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja formal yang berkurang bakal membuat pemerintah makin sulit menggali sumber penerimaan pajak. 

"Sudah saatnya pemerintah tegas pada produk-produk super murah dari China. Ini berdampak secara tidak langsung terhadap penerimaan pajak," imbuhnya.

Fajry juga mengingatkan Presiden Prabowo untuk berhati-hati dalam mengeluarkan keputusan yang dapat memicu kemarahan publik, seperti penerbitan kebijakan tax amnesty atau pembebasan pajak untuk family office, mengingat salah satu basis dukungan politik Prabowo berasal dari kelas menengah-bawah.

Topik:

prabowo-subianto pajak mbg