Rupiah Nyaris Tembus Rp17.000 per Dolar AS, INDEF: Sinyal Bahaya bagi Ekonomi Nasional

Rizal Siregar
Rizal Siregar
Diperbarui 7 April 2025 12:00 WIB
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Sugiono. (Dok.MI)
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Sugiono. (Dok.MI)

Jakarta, MI -   Nilai tukar rupiah terus menunjukkan tren melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Hingga awal April 2025, kurs rupiah nyaris menyentuh level psikologis Rp17.000 per dolar AS—tertinggi sejak krisis global 2008. Kondisi ini memantik kekhawatiran berbagai pihak, termasuk kalangan ekonom.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Sugiono, menyebut pelemahan rupiah yang terjadi belakangan ini sebagai alarm peringatan atas memburuknya fondasi ekonomi nasional.

“Rupiah yang mendekati Rp17.000 per dolar AS menunjukkan depresiasi signifikan. Ini bukan sekadar fluktuasi biasa, tapi cerminan dari melemahnya kepercayaan pasar terhadap ketahanan ekonomi Indonesia,” ujar Sugiono,  Senin (7/4/2025).

Situasi ini diperparah dengan gejolak di pasar modal. Dalam sepekan terakhir, Bursa Efek Indonesia (BEI) mengalami dua kali penghentian sementara perdagangan (trading halt) akibat tekanan jual besar-besaran dari investor asing. Arus keluar dana asing (capital outflows) tercatat menembus Rp5,3 triliun hanya dalam lima hari perdagangan.

Menurut Sugiono, capital outflows ini tak hanya menekan nilai tukar, tetapi juga menjadi indikasi bahwa para investor meragukan stabilitas ekonomi jangka pendek Indonesia.

“Kalau pemerintah belum juga memberikan sinyal kuat tentang ketahanan sistem ekonomi dan perbankan, tekanan ini bisa berlanjut. Fundamental ekonomi harus diperkuat, dan risiko-risiko seperti net interest margin (NIM) negatif di sektor perbankan harus segera diatasi,” tegasnya.

Dari sisi eksternal, kebijakan proteksionis AS turut memperburuk tekanan terhadap mata uang negara berkembang. Kenaikan tarif impor oleh pemerintahan Joe Biden pada awal April membuat dolar AS kian perkasa di pasar global, mendorong pelemahan mata uang seperti rupiah, ringgit, dan baht secara serentak.

Sugiono menambahkan, fenomena keluarnya "hot money" saat momentum libur panjang seperti Lebaran bukanlah kejutan. Ia mengingatkan bahwa pola serupa pernah terjadi dalam sejarah krisis besar.

“Kita sudah pernah melihat ini di 1996–1998 saat krisis Asia, dan juga pada 2008 serta 2010 ketika terjadi gejolak keuangan global. Polanya sama: saat risiko meningkat dan keyakinan menurun, modal asing langsung hengkang,” jelasnya.

Menutup pernyataannya, Sugiono mendorong tim ekonomi Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk segera mengambil langkah konkret, sebelum situasi ini berkembang menjadi krisis yang lebih dalam.

“Jangan tunggu pasar panik. Pemerintah harus segera merespons dengan kebijakan fiskal dan moneter yang terkoordinasi, dan menyampaikan pesan tegas bahwa Indonesia tetap aman untuk investasi,” pungkasnya. ***

Topik:

Ekonomi Indef Ekonom