Modus Direksi BUMN Kejar Bonus Terbongkar, Erick Thohir Disorot


Jakarta, MI - Chief Operating Officer (COO) Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia), Dony Oskaria, mengungkapkan adanya praktik manipulasi bottom line dalam laporan keuangan oleh direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) demi meraih bonus atau tantiem.
Kegagalan sejumlah perusahaan BUMN di masa lalu utamanya disebabkan oleh ketiadaan visi jangka panjang dan lemahnya pengawasan terhadap operasional perusahaan.
"Makanya saya selalu menyampaikan, saya tidak terlalu suka laba yang dibesar-besarkan, biaya yang ditunda-tunda hanya untuk mendapatkan bottom line yang bagus, kemudian diikuti dengan tantiem. Menurut saya itu ada manipulasi yang menyebabkan perusahaan itu jatuh," tutur Dony dalam acara IKA Fikom Unpad Executive Breakfast Meeting di Hutan Kota by Plataran, Jakarta, Rabu (18/6/2025)
Pengamat BUMN dari NEXT Indonesia, Herry Gunawan, menyebut fenomena ini tak lepas dari kultur yang berkembang di lingkungan Kementerian BUMN.
Ia menilai kementerian yang dipimpin Erick Thohir selama ini justru memberikan ruang bagi manipulasi dengan terus membesar-besarkan capaian BUMN melalui angka laba dan setoran dividen yang fantastis.
"Kementerian tersebut selalu bikin gimmick soal laba dan dividen BUMN, yang seolah-olah besar. Dividen besar ini pun semu, karena rasio dividen terhadap labanya yang dinaikkan (dividend payout ratio), bukan karena kinerjanya secara riil lebih baik dari tahun sebelumnya," katanya kepada media, Jumat (20/6/2025).
Dengan target laba yang besar dari Kementerian BUMN, model "rekayasa" bottom line pun kemudian terjadi. Hal ini, lanjut Herry, membuat BUMN pada ujungnya kehilangan ruh untuk ikut mendorong perekonomian nasional serta mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
"Ini persoalan klasik BUMN yang belum tuntas. Efeknya, kita sebagai masyarakat dihadapkan oleh hasrat mengejar laba BUMN, termasuk BUMN yang diberi fasilitas monopoli," ungkapnya.
Ia menyampaikan bahwa secara hukum memang tidak ada yang dilanggar dalam merekayasa bottom line laporan keuangan, namun hal ini akan membuat masyarakat dihadapkan pada realitas bahwa BUMN hanya mengejar laba semata.
Herry menjelaskan, rekayasa semacam ini lazim dilakukan dengan menunda pembayaran jatuh tempo ke vendor agar pengeluaran/beban di pembukuan lebih rendah dari seharusnya. Hasil akhirnya: angka laba tampak tinggi, dan direksi pun punya dalih untuk mengantongi tantiem. Padahal, kata dia, kondisi keuangan perusahaan sudah keropos.
Mental korup semacam inilah, menurut Herry, yang harus segera diatasi oleh Danantara. Dalam hal ini, Danantara sebagai pengelola BUMN dapat melakukan audit ulang terhadap laporan keuangan BUMN dan memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang melakukan rekayasa bottom line.
"Selain itu, Kedeputian Keuangan dan Manajemen Risiko Kementerian BUMN juga perlu dimintai pertanggungjawaban. Temuan rekayasa bottom line oleh Danantara itu, tidak bisa dilepaskan dari peran Kedeputian Manajemen Risiko tersebut, karena mereka yang selama ini mengawasi," imbuh Herry.
Di sisi lain, Kementerian BUMN sebagai regulator tak bisa lepas tangan. Pengawasan yang ketat mutlak diperlukan, termasuk melalui keterlibatan Kantor Akuntan Publik (KAP) yang kredibel untuk menelaah laporan keuangan secara objektif.
Selain itu, peran komisaris sebagai pengawas internal perusahaan juga harus diperkuat agar praktik manipulasi bisa dicegah sejak dini.
"Tantiem tidak hanya untuk direksi, tapi juga komisaris. Jadi, komisaris pun punya kepentingan. Pasti kerugian finansial (berpotensi timbul), juga akan mempengaruhi reputasi dari BUMN. Oleh karena itu, pengawasan oleh komisaris itu sangat penting," pungkas Executive Director Sinergi BUMN Institute, Achmad Yunus.
Topik:
bumn keuangan direksi-bumn erick-thohir