Harga Minyak Terjun Bebas, Trump Guncang Pasar Lewat Ancaman Tarif

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 11 Juli 2025 07:54 WIB
Harga Minyak Dunia Melemah 2 Persen (Foto: Ist)
Harga Minyak Dunia Melemah 2 Persen (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Harga minyak dunia turun pada Kamis (10/7/2025), setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali memicu kekhawatiran pasar dengan ancaman tarif baru. Investor mulai mencermati potensi perlambatan ekonomi global akibat kebijakan dagang agresif AS.

Minyak mentah Brent ditutup merosot 2,21 persen ke level USD68,64 per barel. Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) AS turun lebih dalam, terkoreksi 2,65 persen ke USD66,57 per barel.

Sentimen negatif dipicu oleh pernyataan Trump sehari sebelumnya yang mengancam akan mengenakan tarif hingga 50 persen terhadap produk ekspor dari Brasil, negara dengan ekonomi terbesar di Amerika Latin. 

Langkah itu disebut sebagai tekanan politik terhadap Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, yang tengah menghadapi situasi politik dalam negeri yang rumit.

Ancaman tersebut muncul di tengah persidangan mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro, yang didakwa merancang kudeta untuk menggagalkan pelantikan Lula pada awal 2023. 

Pada Kamis (10/7/2025), Lula menggelar rapat bersama para menteri, sehari setelah memberi sinyal bakal membalas langkah AS lewat unggahan di media sosial.

Trump juga mengumumkan rencana tarif untuk tembaga, semikonduktor, dan produk farmasi. Pemerintahannya bahkan mengirimkan surat pemberitahuan tarif ke Filipina, Irak, serta sejumlah negara lain, termasuk Korea Selatan dan Jepang yang merupakan pemasok utama bagi AS.

Kepala Riset Grup di Onyx Capital Group, Harry Tchilinguirian, mengatakan pasar kini tak lagi terlalu reaktif terhadap ancaman tarif dari Trump, mengingat rekam jejaknya yang kerap membatalkan kebijakan serupa.

"Sebagian besar pelaku pasar memilih bersikap wait and see, mengingat arah kebijakan yang tak menentu serta fleksibilitas pemerintahan dalam soal tarif," kata Tchilinguirian.

Di sisi lain, para pembuat kebijakan masih khawatir terhadap tekanan inflasi akibat tarif Trump. Risalah rapat Federal Reserve (The Fed) pada 17-18 Juni menunjukkan hanya beberapa pejabat yang menilai suku bunga bisa diturunkan secepat bulan ini, sementara mayoritas masih berhati-hati.

Suku bunga yang lebih tinggi biasanya membuat biaya pinjaman naik, sehingga bisa menekan permintaan minyak.

Produsen minyak OPEC+ dikabarkan siap menyetujui tambahan besar produksi pada September, seiring selesainya pengurangan produksi sukarela oleh delapan negara anggota, termasuk Uni Emirat Arab yang mendapat kuota lebih besar.

Namun, Analis Senior Price Futures Group, Phil Flynn, menilai bahwa OPEC+ memberi sinyal kemungkinan menghentikan penambahan produksi pada Oktober mendatang. Hal ini disebabkan oleh indikasi bahwa permintaan minyak global bisa segera mencapai titik tertinggi.

"Ketakutan akan mencapai 'peak oil' sebelumnya belum terbukti. Kenaikan harga justru mendorong penemuan sumber minyak baru, baik di dalam negeri maupun lepas pantai," kata Flynn.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengadakan pertemuan terbuka dengan Menlu Rusia Sergei Lavrov. Dalam kesempatan tersebut, Rubio menyuarakan kekecewaan Washington atas lambannya proses penyelesaian konflik di Ukraina.

Presiden Trump juga mengungkapkan bahwa ia tengah mempertimbangkan rancangan undang-undang baru yang akan memperketat sanksi terhadap Rusia.

Topik:

minyak harga-minyak-dunia