BPS Ubah Cara Hitung Kemiskinan, Kini Pakai Standar Bank Dunia

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 25 Juli 2025 12:28 WIB
Badan Pusat Statistik (Foto: Dok MI)
Badan Pusat Statistik (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan telah mengadopsi metode penghitungan baru untuk mengukur tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia, merujuk pada standar global yang ditetapkan oleh Bank Dunia. Perubahan metodologi ini menjadi salah satu alasan utama di balik penundaan rilis data kemiskinan terbaru.

Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menjelaskan bahwa Bank Dunia baru-baru ini memperbarui pendekatan dalam menghitung garis kemiskinan, khususnya terkait penghitungan purchasing power parity (PPP) tahun 2017.

“Bank Dunia mengadopsi metode baru untuk penghitungan PPP 2017, dan kami langsung mengkomunikasikan dan mengadopsinya,” ujarnya dalam konferensi pers, Jumat (25/7/2025).

Sebagai informasi, BPS menetapkan penduduk miskin sebagai mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Sementara itu, kategori miskin ekstrem merujuk pada individu yang pengeluarannya per kapita per hari berada di bawah US$2,15 dalam skala PPP.

Pada Maret 2025, BPS mencatat jumlah penduduk miskin ekstrem sebanyak 2,38 juta orang atau turun sebanyak 0,40 juta orang dibandingkan September 2024. Jika dibandingkan dengan Maret 2024, jumlah penduduk yang masuk kategori miskin ekstrem telah turun 1,18 juta orang. 

Secara persentase terhadap total populasi, penduduk miskin ekstrem pada Maret 2025 mencapai 0,85% atau turun sekitar 0,14% jika dibandingkan dengan September 2024. Bila membandingkan dengan Maret 2024, telah turun 0,41%.

Ateng juga menyampaikan bahwa metode sebelumnya BPS hanya menggunakan pertumbuhan Indeks Harga Konsumen (IHK). Sementara pada metode baru, dilakukan dengan mengadopsi komponen deflator. 

Direktur Statistik Ketahanan Sosial, Nurma Midayanti, menjelaskan bahwa spatial deflator digunakan untuk mencerminkan perbedaan tingkat harga antarwilayah di Indonesia, bahkan hingga ke tingkat kabupaten dan kota.

“Itu kami mengadopsi untuk kemiskinan ekstrem, karena di sini BPS merilis pertama kalinya,” katanya.

Ia menambahkan, BPS telah melakukan konsultasi dengan Bank Dunia terkait hal ini. Menurutnya, ada sejumlah komponen yang harus diperhatikan secara cermat, karena tidak dapat membandingkan langsung dengan pengeluaran dari Survei Ekonomi Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas). 

Oleh karena itu, angka pengeluaran perlu terlebih dahulu disesuaikan atau di-deflate ke kondisi tahun 2017 sebelum digunakan dalam analisis.

Ia juga mengakui bahwa penundaan rilis data kemiskinan oleh BPS, yang semula dijadwalkan pada 15 Juli 2025, disebabkan oleh proses konsultasi dengan Bank Dunia.

“Salah satunya iya, karena kan kami tadinya berusaha untuk mengeluarkan, karena masih butuh waktu kajian, jadi ditunda,” pungkasnya.

Topik:

data-kemiskinan bps bank-dunia angka-kemiskinan