Ekonom Dorong Audit Investigasi Dugaan Patgulipat Pengambilalihan BCA oleh Djarum Group

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 27 Agustus 2025 09:17 WIB
Skandal BLBI-BCA kembali mencuat, menyisakan banyak pertanyaan. Salah satunya terkait dugaan manipulasi harga saat Djarum Group mengakuisisi 51 persen saham BCA, yang disebut-sebut dibeli jauh di bawah nilai sebenarnya. Gedung PT Bank Central Asia (BCA) Tbk. Foto: Dok MI/Aan
Skandal BLBI-BCA kembali mencuat, menyisakan banyak pertanyaan. Salah satunya terkait dugaan manipulasi harga saat Djarum Group mengakuisisi 51 persen saham BCA, yang disebut-sebut dibeli jauh di bawah nilai sebenarnya. Gedung PT Bank Central Asia (BCA) Tbk. Foto: Dok MI/Aan

Jakarta, MI - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) didorong melakukan audit investigasi atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) soal dugaan patgulipat pengambilalihan PT Bank Central Asia (BCA) oleh Djarum Group.

Pasalnya, pada 2001 Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) mengendus adanya kejangalan permainan harga. Namun, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengetuk palu dengan menetapkan pemenang tender divestasi BCA. Adapun BCA terjual seharga Rp5 triliun dibawah nilai appraisal Rp10 triliun.

"Jalan tengahnya jelas, minta BPK melakukan PDTT terbatas dan terukur untuk menguji kewajaran harga 2002 terhadap kondisi pasar saat itu, menelaah pola transaksi 2001, serta merekonstruksi arus kas negara dengan metodologi NPV (net present value)," kata Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin dikutip Rabu (27/8/2025).

Tak hanya kepada BPK, Syafruddin juga mendorong, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) agar  menindaklanjuti temuan Bapepam. 

Meskipun saat itu, BPPN menjual dengan cara strategic placement, maka yang memberikan penawaran harga tidak bisa lebih rendah dari harga 90 hari terakhir. Disini lah ada dugaan permainan harga.

"Bila ada temuan pelanggaran, proses hukum harus menyasar pelakunya dengan remediasi yang adil. Bila tidak, hentikan wacana ekspropriatif. Kebijakan yang rasional lahir dari data, prosedur, dan penghormatan pada rule of law," ungkapnya.

Sejatinya, memang ada yang aneh dalam proses akuisisi BCA yang jatuh ke tangan konsorsium Farallon Capital Partners yang ternyata milik Robert Budi Hartono (Djarum Group) pada 2002. 

Adapun Bapepam sempat mengidentifikasi 14 pemodal yang melakukan transaksi dalam jumlah signifikan terhadap saham BCA melalui 15 perusahaan efek anggota bursa.

Pemeriksaan dilakukan karena adanya dugaan pelanggaran atas peraturan perundangan-undangan di bidang pasar modal, Bapepam mengumumkan hasilnya pada 3 Agustus 2001. Pemeriksaan kemudian menyasar 20 perusahaan efek anggota bursa efek.

Pemeriksaan Bapepam tidak hanya meliputi 20 perusahaan efek yang semula terindikasi terlibat dalam pembentukan harga saham BCA, tetapi juga terhadap ke-152 perusahaan efek yang menjadi anggota bursa. Perlu diingat, pembentukan harga secara manipulatif terhadap saham BCA itu dilakukan selama dua periode, periode 15 Mei s/d 12 Juni 2001 dan 13 Juni s/d 29 Juni 2001.

"Terdapat bukti awal yang mengidentifikasi kemungkinan terjadinya manipulasi pasar, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan atau Pasal 92 Undang-undang Pasar Modal, yang mengarah pada pembentukan harga saham BCA periode 15 Mei s/d 12 Juni 2001 dan 13 Juni s/d 29 Juni 2001," jelas Ketua Bapepam Herwidayatmo kala itu.

Herwidayatmo menolak untuk menyebutkan siapa saja ke-14 investor dan ke-15 perusahaan efek yang diduga terlibat dalam pembentukan harga saham BCA tersebut. Ia hanya menyebutkan bahwa para pemodal tersebut meliputi pemodal institusi (korporat) dan perorangan.

Di tengah investigasi, Kepala BPPN I Putu Gede Ary Suta menyatakan bahwa pihaknya telah memilih strategic investor yang akan membeli 30 persen saham BCA dari pemerintah.

Disayangkan, antara Bapepam dan BPPN tidak ada kerja sama untuk menuntaskan kasus ini, keduanya berjalan sendiri-sendiri. Semestinya, Bapepam bersama-sama dengan BPPN melakukan investigasi mengenai kasus saham BCA.

Siap aktor utamanya?

Memang skandal BLBI-BCA tengah menyisakan banyak pertanyaan. Salah satunya yakni soal dugaan manipulasi harga saat Djarum Group mengakuisisi 51 persen saham BCA, yang disebut-sebut dibeli jauh di bawah nilai sebenarnya.

Proses akuisisi tercatat senilai Rp5 triliun, padahal hasil penilaian appraisal pada saat itu menetapkan nilai aset BCA mencapai Rp10 triliun. Selisih yang signifikan ini menimbulkan sorotan tajam dari berbagai pihak.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menilai kemunculan isu lama ini tak lepas dari dinamika politik dan ekonomi nasional saat ini. 

“Itu yang harus dicari tahu (aktornya), ini urusan lebih dari 20 tahun yang lalu. Ada yang memainkan isu ini, sekaligus pengalihan isu atas kondisi ekonomi yang sedang sekarat. Kalau harga kemurahan pasti yang untung pembeli,” kata Anthony saat dihubungi di Jakarta, Selasa (26/8/2025).

Sementara anggota Komisi III DPR, Abdullah, menekankan perlunya pemerintah menuntaskan megaskandal BLBI-BCA. Ia menyoroti dugaan manipulasi dalam akuisisi 51 persen saham BCA oleh Djarum Group yang disebut dibeli dengan harga terlalu murah.

Menurut Abdullah, untuk mengusutnya tidaklah rumit. "Karena sudah ada temuan Pansus BLBI yang dibentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD)-RI. Dalam hal ini, KPK jangan tumpul mengusut kasus ini. Mulai lakukan penyelidikan dan penyidikan dugaan korupsi BLBI-BCA," katanya.

Bantahan BCA
Sekretaris Perusahaan BCA, I Ketut Alam Wangsawijaya, membantah kabar yang menyebut pembelian 51 persen BCA hanya Rp5 triliun, disebut juga angka penjualan itu merugikan karena nilai pasar perusahaan Rp117 triliun.

“Angka Rp 117 triliun yang sering disebut dalam narasi merujuk pada total aset BCA, bukan nilai pasar perusahaan. Nilai pasar ditentukan oleh harga saham perusahaan di bursa efek, dikalikan dengan jumlah total saham yang beredar. Seiring BCA yang sudah melaksanakan Initial Public Offering (IPO) pada tahun 2000, maka harga saham BCA terbentuk berdasarkan mekanisme pasar,” jelasnya dalam keterangan ke Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (20/8/2025).

Ia menegaskan, nilai pasar sejatinya dihitung dari harga saham di bursa dikalikan dengan total saham beredar. Sejak resmi tercatat di bursa pada tahun 2000, harga saham BCA sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme pasar.

“Pada saat proses strategic private placement dilakukan, nilai pasar BCA berdasarkan harga saham rata-rata di Bursa Efek Indonesia adalah sekitar Rp10 triliun. Angka inilah yang menjadi acuan valuasi saat transaksi berlangsung, bukan sekitar Rp117 triliun. Dengan demikian, nilai akuisisi 51 persen saham oleh konsorsium FarIndo yang menang melalui tender, merupakan cerminan dari kondisi pasar saat itu,” tuturnya.

Ketut menyampaikan, tender dilakukan Pemerintah RI melalui BPPN dengan cara transparan dan akuntabel. Dia juga turut meluruskan soal tudingan adanya utang kepada negara sebesar Rp60 triliun.

“Terkait informasi BCA yang memiliki utang kepada negara Rp60 triliun yang diangsur Rp7 triliun setiap tahunnya adalah tidak benar. Di dalam neraca, BCA tercatat memiliki aset obligasi pemerintah senilai Rp60 triliun, dan seluruhnya telah selesai pada tahun 2009 sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku,” jelasnya.

Dorongan agar pemerintah mengambil alih paksa saham BCA disampaikan oleh Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN), Sasmito Hadinegoro. Gagasan ini kemudian mendapat dukungan dari Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi Teknologi DPP PKB Ahmad Iman Syukri.

Isu tersebut berkaitan dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat krisis 1998, yang berujung pada pelepasan 51 persen saham oleh pemerintah yang saat itu dipimpin Megawati Soekarnoputri.

Tak hanya itu, anggota Komisi III DPR, Abdullah, juga mendesak pemerintah menuntaskan skandal BLBI-BCA, termasuk mengungkap dugaan permainan dalam akuisisi 51 persen saham BCA oleh Djarum Group.

Topik:

BCA BLBI BPK Djarum Group