Zulhas Ingin Kaji Ulang Bansos: Masyarakat Tak Boleh Terus Bergantung

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 1 November 2025 4 jam yang lalu
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas) (Foto: Istimewa)
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas) (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan bantuan sosial (bansos). Ia menilai program bansos yang digulirkan pemerintah selama ini berpotensi menumbuhkan ketergantungan masyarakat.

Zulhas mengatakan, kemajuan bangsa tidak bisa dicapai hanya dengan pemberian bantuan, melainkan harus bertumpu pada produktivitas rakyatnya.

"Karena kami meyakini negara itu akan maju, bangsa itu akan maju kalau dia produktif. Tidak mungkin bangsa itu maju kalau tidak produktif rakyatnya. Kami bukan tidak setuju bantuan sosial, tentu itu bagus. Tapi kalau bantuan sosial orang susah kasih beras, orang susah kasih uang berpuluh-puluh tahun, saya kira itu kita mesti kaji," kata Zulhas dalam Festival Ekonomi dan Keuangan Digital Indonesia & Indonesia Fintech Summit & Expo 2025 (FEKDI x IFSE) di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (1/11/2025).

Zulhas menilai bahwa meski Indonesia telah mencatat kemajuan sejak era reformasi, kecepatan pertumbuhannya masih tertinggal dibandingkan sejumlah negara di kawasan. Ia menyebut pada 1980-an, posisi ekonomi Indonesia bahkan berada di atas China.

"Nah, selama 28 tahun kita reformasi ini, memang kita maju, kita dibanding 28 tahun yang lalu Indonesia maju. Tapi dibanding teman-teman kita yang lain, negara-negara yang lain, pada saat bersamaan kita jauh tertinggal. Tahun 80-an dibanding dengan China, GDP kita lebih tinggi," jelas Zulhas.

Ia juga mengingatkan bahwa Indonesia pernah berada pada fase pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi, dengan rata-rata sekitar 7,5 persen selama bertahun-tahun. Masa tersebut ditandai pula dengan kemajuan industri strategis nasional, seperti pesawat terbang, baja, petrokimia, hingga kehadiran satelit Palapa.

Oleh karena itu, menurut Zulhas, mengejar pertumbuhan ekonomi di kisaran 7-8 persen bukanlah sesuatu yang tidak mungkin.

"Jadi kalau kita punya target pertumbuhan 7-8 persen, dikatakan mustahil, kita pernah mengalami puluhan tahun. Sekarang jangankan dibanding dengan China, apalagi China dan Korea Selatan, dengan Malaysia saja kita sudah kalah. Malaysia sekarang income per capita US$12 ribu, Thailand hampir US$8 ribu, kita masih US$4 ribu lebih," tuturnya.

Zulhas menyebut salah satu penyebab ketertinggalan Indonesia adalah rendahnya produktivitas sektor pangan dan pertanian. Ia menilai, meski memiliki wilayah luas dan jumlah penduduk besar, Indonesia masih bergantung pada impor sejumlah komoditas pokok.

"Tadi saya bicara sama Gubernur BI (Perry Warjiyo), pangan kita penduduk lebih banyak, negara kita jauh lebih luas, tapi kita impor beras tahun lalu hampir setengah juta (ton), kita impor gula 6 juta (ton), kita impor gandum 13 juta (ton). Kita impor kedelai 3 juta (ton), kita impor garam 3 juta lebih, ton. Kita impor jagung 2,8 juta (ton). Penduduk lebih banyak, tanah lebih luas, kalah sama Thailand," imbuhnya.

Ia mencontohkan tingkat efisiensi di beberapa negara, seperti Thailand, yang mampu menekan biaya produksi meski memiliki kondisi geografis yang sama dengan Indonesia.

"Thailand tanam tebu, tanahnya sama, airnya sama, tanahnya sama ciptaan Tuhan, airnya ciptaan Tuhan. Tanah Tuhan yang kasih air, tanah Tuhan yang kasih. Tapi mereka tanam tebu, ongkos 1 kilogram Rp3.000. Kita tanam tebu, ongkos 1 kilogram Rp10 ribu," jelasnya.

Zulhas menyatakan optimismenya bahwa kebijakan yang akan lahir di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto yang menurutnya berpotensi membawa perubahan mendasar dalam pengelolaan pangan dan produktivitas nasional.

"Nah, oleh karena itu, saya rasa sekalian, maka di bawah kepimpinan Pak Prabowo lahirlah kebijakan-kebijakan baru yang mendasar dan berdampak luas. Karena skalanya besar sekali," pungkasnya. 

Topik:

zulhas bantuan-sosial