Jenderal Agus Secepat Kilat Menuju Panglima TNI, SETARA Institute: Preseden Tidak Baik!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 14 November 2023 19:01 WIB
Jenderal TNI Agus Subiyanto (Foto: Ist)
Jenderal TNI Agus Subiyanto (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Agus Subiyanto telah menjalani uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test di DPR RI pada Senin (13/11) sebagai calon Panglima TNI melanjutkan estafet kepemimpinan Laksamana Yudo Margono yang memasuki masa pensiun pada 26 November 2023. 

Jenderal Agus Subiyanto menjadi calon tunggal Panglima TNI yang diusulkan Presiden Joko Widodo melalui Surat Presiden (Surpres) yang dikirimkan ke DPR pada 31 Oktober lalu. 

Pengusulan tersebut menimbulkan tanda tanya besar lantaran Agus Subiyanto baru saja mendapatkan promosi kenaikan pangkat menjadi Jenderal bintang 4 berdasarkan Keputusan Presiden No 90/TNI/Tahun 2023 tentang Kenaikan Pangkat dalam Golongan Perwira Tinggi TNI, serta dilantik sebagai KSAD pada 25 Oktober lalu menggantikan Jenderal Dudung Abdurachman yang memasuki masa pensiun.

Meskipun pemilihan Panglima TNI merupakan hak preogratif Presiden, sebagaimana diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 13 ayat (2) dan (5), serta kenaikan pangkat Kolonel dan Perwira Tinggi yang juga ditetapkan oleh Presiden, sebagaimana diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 43 ayat (1) dan PP No. 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI Pasal 27 ayat (4), tetapi pelaksanaannya perlu dilakukan dengan akuntabel dan berdasarkan kepentingan organisasi TNI.

Sebagai evaluasi atas cepat kilatnya Jenderal Agus menuju jabatan Panglima TNI, SETARA Institute menilai bahwa dalam rentang waktu yang hanya satu minggu antara pelantikan sebagai KSAD dan pengusulan sebagai calon tunggal Panglima TNI terhadap Jenderal Agus Subiyanto mencerminkan kondisi terburu-buru dan tidak seharusnya terjadi. 

"Patut diduga, proses kilat tersebut nyata-nyata mengabaikan ketentuan Pasal 13 Ayat (3) UU TNI yang berbunyi: “Pengangkatan dan pemberhentian Panglima dilakukan berdasarkan kepentingan organisasi TNI," kata peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, Selasa (14/11).

Semestinya, tegas dia, kondisi-kondisi yang berkaitan dengan pergantian Kepala Staf Angkatan, Panglima TNI, serta usia pensiun para Jenderal yang menjabat telah tertata dalam sebuah sistem.

Menurut Ikhsan, proses kilat menuju jabatan Panglima TNI ini berpotensi menjadi preseden tidak baik bagi profesionalitas proses pemilihan Panglima TNI ke depannya. 

Sebab, tambah dia, Presiden sebagai Panglima TNI secara sengaja menjadikan posisi Kepala Staf Angkatan sebagai tempat persinggahan sesaat untuk memenuhi persyaratan sebagai Panglima TNI. 

"Hal ini sebagaimana dalam ketentuan UU TNI, yang mana Panglima TNI diangkat dari perwira tinggi aktif yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkat," ungkpanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan mengatakan bahwa penilaian terhadap kinerja Perwira Tinggi yang akan menduduki jabatan Panglima TNI seharusnya dilakukan secara berjenjang, bukan akumulatif, dengan waktu yang memadai, termasuk dalam hal ini kinerja selama menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan. 

"Rentang waktu 1 minggu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan jelas bukan waktu yang ideal untuk menjabat, serta berdampak tidak memiliki capaian apapun selama menjabat," ujarnya.

Selain itu, proses kilat menuju jabatan Panglima TNI ini juga berpotensi menimbulkan aroma mekanisme pemilihan Panglima TNI yang rentan diinfiltrasi kepentingan politik kekuasaan, ketimbang demi kepentingan organisasi TNI, terutama menimbang waktu pergantian yang mendekati kontestasi Pemilihan Umum.

Kemudian, Komisi I DPR RI seharusnya memperkuat fungsi pengawasan berkaitan dengan akuntabilitas proses pemilihan Panglima TNI.

"Termasuk proses cepat kilat dalam Jabatan Kepala Staf Angkatan yang hanya 1 minggu antara pelantikan sebagai KSAD dan pengusulan sebagai calon tunggal Panglima TNI ini, yang kontraproduktif dengan upaya membangun profesionalitas proses pemilihan Panglima TNI ke depannya," bebernya.

Selain menimbang arah dan fokus pertahanan negara ke depannya, pemilihan Panglima TNI seharusnya tetap menimbang rotasi antarmatra sebagai Panglima TNI. "Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 13 ayat (4) UU TNI, yang mencerminkan kesetaraan tiap matra dan menghindari dominasi salah satu matra dalam kesatuan TNI," tandasnya. (An)