Calon Petahana Berpotensi Korupsi untuk Ongkosi Pilkada: Pasca Gubernur Bengkulu Rohidin, Siapa Menyusul?


Jakarta, MI - Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebut praktik korupsi untuk mengongkosi dana kampanye Pilkada seperti yang dilakukan tersangka Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, menjadi hal yang "sudah biasa terjadi" ketika petahana atau calon kepala daerah yang sedang menjabat kembali bertarung.
Tapi pada Pilkada 2024 ini, kasus Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah menjadi yang pertama terungkap.
Peneliti ICW, Seira Tamara, mengungkapkan ada beberapa faktor penyebab mengapa praktik tersebut terus saja langgeng.
Pertama, gara-gara mahalnya biaya politik untuk maju sebagai calon kepala daerah. Litbang Kemendagri pada 2020 pernah mengungkap biaya pencalonan bupati dan wali kota bisa mencapai Rp20-Rp30 miliar.
Sedangkan pencalonan gubernur diperkirakan antara Rp20-Rp100 miliar. Untuk memenuhi dana politik tersebut, kata Seira, para calon kepala daerah akan menggelontorkan uang dari kantong pribadi, partai politik, dan biasanya sumbangan dari perorangan atau badan swasta.
Tapi sepanjang pengamatan ICW, dana dari partai politik sangat kecil. Itu kenapa calon kepala daerah bakal mengocek dana pribadi dan meminta sumbangan dari donatur.
"Jadi sumbangan dari parpol bukan yang utama atau mendominasi, ini bisa jadi faktor si calon kepala daerah harus mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, dan salah satu caranya korupsi," kata Seira kepada wartawan, Selasa (26/11/2024).
Menurut dia, bagi calon kepala daerah petahana, praktik yang biasa berlangsung untuk menambah dana kampanyenya adalah dengan "memeras" anak buahnya.
Pemerasan itu pun disertai ancaman mutasi jabatan atau demosi. "Sebagai gantinya para kepala dinas akan diminta untuk mengumpulkan dukungan suara dan juga uang," katanya mengklaim.
Modus seperti ini menurutnya sudah menjadi "rahasia umum" dan pernah menjerat beberapa incumbent di pilkada-pilkada sebelumnya.
Pada 2018 misalnya, KPK menangkap delapan kepala daerah yang akan mencalonkan diri kembali dalam pilkada serentak.
Mereka antara lain Bupati Subang, Imas Aryumningsih yang diduga menerima suap Rp1,4 miliar; Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman yang istrinya berencana maju dalam pilkada menerima gratifikasi Rp2 miliar; Wali Kota Batu, Eddy Rumpoko yang istrinya akan maju menggantikan dirinya menerima suap Rp500 juta.
Faktor kedua, karena peraturan KPU tahun 2017 tidak mengharuskan calon petahana yang ingin maju kembali dalam pilkada untuk mundur dari jabatannya.
Calon petahana hanya diwajibkan mengambil cuti di luar tanggungan negara selama masa kampanye. Cuti ini bertujuan untuk memisahkan antara aktivitas kampanye dengan pelaksanaan tugas sebagai kepala daerah, sehingga diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.
Hal lain yang diatur calon petahana dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya dalam kegiatan kampanye. Ini termasuk kendaraan dinas, rumah dinas, atau fasilitas negara lainnya untuk kepentingan kampanye.
Seira bilang aturan yang tak mengharuskan calon petahana mundur menjadi biang kerok adanya praktik pemerasan. Sebab bagaimanapun, katanya, pasti ada konflik kepentingan. "Potensi penyalahgunaan kewenangan pasti ada dan sangat besar ketika incumbent maju. Apalagi dengan wewenang yang dipunya," bebernya.
Pengamatan ICW, dana yang biasanya diselewengkan oleh calon petahana adalah dana bantuan sosial dan hibah. Dua pos anggaran itu rawan dikorupsi karena datanya mudah direkayasa.
Namun, tidak menutup kemungkinan sumber dana yang diselewengkan itu berasal dari potongan-potongan biaya operasional.
Pengendara sepeda motor melintas di depan spanduk tolak politik uang pada Pilkada 2024 di Temanggung, Jawa Tengah, Senin (25/11/2024).
Faktor ketiga, tidak tegasnya aturan KPU soal pelaporan dana kampanye.
Tiap-tiap pasangan calon kepala daerah memang disebutkan wajib melaporkan dana kampanye yang sah. Tetapi, dalam praktiknya pelaporan itu hanya bersifat normatif, kata Seira.
Tidak ada audit investigatif yang serius oleh penyelenggara pemilu terhadap sumber dana kampanye. Padahal ada kemungkinan sumber dana yang dilaporkan para kandidat berasal dari suap lantaran nama donaturnya disamarkan.
Selain itu bagi pasangan calon yang tidak menyerahkan laporan dana kampanye tidak dijatuhi sanksi diskualifikasi dan hanya dikenakan sanksi administratif.
"Contohnya saya mau mencalonkan diri, ada ketentuan lapor dana kampanye, maka idealnya mengupayakan sumber-sumber legal... masalahnya para calon kepala daerah karena merasa sanksinya tidak berat, tidak melaporkan dengan benar."
"Ada peluang tidak melaporkan secara aktual dan faktual."
"Itu menjadi celah yang sangat besar untuk kemungkinan para kandidat tidak sepenuhnya menyajikan data yang benar terkait sumber-sumber pendanaan mereka."
Untuk diketahui Rohidin-Meriani diusung oleh empat partai politik di antaranya Hanura, PKS, Golkar, dan PPP. Adapun lawannya adalah pasangan calon Helmi-Mian yang didukung tujuh partai politik yakni PAN, PDI Perjuangan, Partai Gelora Indonesia, Partai Demokrat, NasDem, PKB, dan Gerindra. (an)
Topik:
KPK Pilkada Gubernur Bengkulu Rohidin Rohidin Mersyah